Hari Buruh Internasional: Ledakan Setiap Awal Mei dan Tuntutan Buruh

Penulis: Muhammad Ja'far Shodiq* 

Sejarah Hari Buruh Internasional

Hari Buruh atau May Day lahir dari berbagai rentetan perjuangan kelas pekerja untuk meraih kendali ekonomi-politis hak-hak industrial. Perkembangan kapitalisme industri di awal abad 19 menandakan perubahan drastis ekonomi-politik. 


Pengetatan disiplin dan pemasifan jam kerja, minimnya upah, dan buruknya kondisi kerja di tingkatan pabrik sehingga melahirkan perlawanan dari kalangan kelas pekerja dalam bentuk agenda. 

Agenda tersebut ialah hari buruh sedunia yang dimulai pada Kongres Internasional Pertama, yang diselenggarakan pada September 1866 di Jenewa, Swiss, yang dihadiri berbagai elemen organisasi pekerja belahan dunia. 

Pada perkembangannya gerakan kelas pekerja mulai menjadi fokus dan merasa perlu diperhatikan hak-haknya. Salah satu bentuk aksi massa yang dilakukan pada tanggal 5 September 1882 yaitu adanya parade Hari Buruh pertama yang diadakan di kota New York dengan peserta 20.000 orang yang membawa spanduk bertulisan 8 jam kerja, 8 jam istirahat, 8 jam rekreasi.

Penetapan 1 Mei sendiri ditetapkan sebagai hari perjuangan kelas pekerja dunia pada Kongres 1886 oleh Federation of Organized Trades and Labor Unions untuk memberikan momen tuntutan 8 jam sehari dan memberikan semangat baru bagi perjuangan kelas pekerja yang pada saat itu mencapai titik masif di era tersebut. 

Tanggal 1 Mei dipilih karena pada 1884 Federation of Organized Trades and Labor Unions terinspirasi dari kesuksesan aksi buruh di Kanada 1872 yang menuntut delapan jam kerja seperti buruh di Amerika Serikat, dan mereka berhasil. Delapan jam kerja di Kanada resmi diberlakukan mulai tanggal 1 Mei 1886. 

Kongres ini menetapkan sebuah tuntutan mereduksi jam kerja menjadi delapan jam sehari, kemudian pada tahun yang sama telah dilakukan oleh National Labour Union di AS mengenai batasan-batasan yang mewakili tuntutan umum kelas pekerja Amerika Serikat, maka kongres merubah tuntutan tersebut menjadi landasan umum kelas pekerja seluruh dunia. 

Pada bulan Juli 1889, Kongres Sosialis Dunia yang diselenggarakan di Paris menetapkan peristiwa di AS tanggal 1 Mei itu sebagai hari buruh sedunia dan mengeluarkan resolusi berisi:

Sebuah aksi internasional besar harus diorganisir pada satu hari tertentu dimana semua negara dan kota-kota pada waktu yang bersamaan, pada satu hari yang disepakati bersama, semua buruh menuntut agar pemerintah secara legal mengurangi jam kerja menjadi 8 jam per hari, dan melaksanakan semua hasil Kongres Buruh Internasional Prancis.

Resolusi ini mendapat sambutan yang hangat dari berbagai negara dan sejak tahun 1890, tanggal 1 Mei, yang diistilahkan dengan “May Day”, diperingati oleh kaum buruh di berbagai negara, meskipun selalu mendapatkan tekanan keras dari pemerintah. 

Peristiwa itu bagaikan hujan deras yang membanjiri ke beberapa wilayah negara dan secara langsung melejit hingga mendunia serta secara alamiah menjadi sebuah momentum besar dalam menyampaikan aspirasi kepada pemangku kebijakan. Begitu juga dengan Indonesia, secara berkelanjutan gerakan buruh setiap saat muncul dalam periode yang sama yaitu setiap tanggal 1 Mei.

Sejarah Hari Buruh di Indonesia 

Di Indonesia sendiri, peringatan Hari Buruh dimulai pada 1 Mei 1918 oleh Serikat Buruh Kung Tang Hwee. Gagasan ini muncul setelah seorang tokoh kolonial yang bernama Adolf Baars yang mengkritik harga sewa tanah milik kaum buruh yang terlalu murah untuk dijadikan perkebunan. 

Selain itu, para buruh juga melakukan protes karena mereka bekerja dengan upah yang tak layak. Setelah masa kolonial, momen peringatan Hari Buruh kembali digaungkan di era kemerdekaan. Pada 1 Mei 1946, Kabinet Sjahrir menganjurkan agar peringatan Hari Buruh ini ditetapkan di Indonesia. Akhirnya pada tahun 1948, lewat UU Nomor 12 Tahun 1948 diatur bahwa setiap 1 Mei buruh tidak diperbolehkan bekerja.

Tetapi pada era Soeharto, Hari Buruh disebut identik dengan ideologi komunisme yang saat itu sangat dilarang. Akibatnya, peringatan Hari Buruh Internasional setiap 1 Mei pada masa Orde Baru pun sempat ditiadakan. Langkah awal pemerintahan Soeharto untuk menghilangkan May Day adalah mengganti nama Kementerian Perburuhan menjadi Departemen Tenaga Kerja. 

Hingga kini, kata "Tenaga Kerja" masih tersemat dalam Kementerian Ketenagakerjaan. Bukan hanya mengganti nama, Presiden menempatkan Awaloedin Djamin untuk mengisi jabatan menteri di Departemen Tenaga Kerja karena latar belakangnya sebagai perwira polisi.

Pada Mei 1966, Awaloedin mengusahakan agar para buruh tidak merayakan Hari Buruh karena berkonotasi kiri. Namun, usaha yang dilakukannya masih gagal, barulah setahun kemudian dia berhasil menghapus peringatan Hari Buruh Internasional di Indonesia. 

Caranya dengan melemparkan gagasan bahwa peringatan May Day selama ini telah dimanfaatkan oleh SOBCI/PKI. Serikat buruh kemudian digiring untuk berorientasi ekonomis dengan menyatukan seluruh serikat buruh yang tersisa dari huru-hara 1965 ke dalam Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI). Kemudian mengubah namanya menjadi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI).

Meski demikian, nasib buruh tidak banyak berubah. Organisasi ini dekat dengan pemerintah dan dinilai tidak independen karena didanai oleh pemerintah. Tuntutan pun kembali dimulai saat era reformasi. Tak hanya buruh yang berdemo, tapi juga ribuan mahasiswa yang menuntut agar 1 Mei kembali dijadikan Hari Buruh dan hari libur nasional. 

Demo kian berkembang dan meledak dimana mana, hingga akhirnya dikabulkan pada era Susilo Bambang Yudhoyono. Penetapan May Day sebagai hari libur nasional melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2013 pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yakni pada 1 Mei 2013.

Tuntutan Kesejahteraan Buruh 

Defenisi buruh sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh juncto Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, maka siapapun yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain, maka ia adalah seorang buruh. Berdasarkan definisi tersebut, maka segala profesi yang memperoleh upah dikategorikan sebagai buruh.

Untuk meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan bagi buruh atau tenaga kerja, maka diperlukan regulasi untuk menjamin hal tersebut. Norma yang diberlakukan dalam UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja diharapkan dapat menjawab keresahan-keresahan yang dialami oleh buruh. 

Namun pada kenyataannya beberapa pasal pada UU Cipta Kerja malah membuat buruh serta kelompok rentan lainnya menjadi tambah resah. Beberapa pasal dalam UU Cipta Kerja yang dinilai bermasalah diantaranya:

Penghitungan Upah Minimum 

Pengaturan mengenai penghitungan upah minimum dalam UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja yang menjadi polemik karena adanya diksi yang menimbulkan pertanyaan akibat kurang jelasnya penggunaan kata yang dapat bermuara pada kesalahan dalam melakukan penafsiran. Dapat dilihat pada pasal 88D ayat (2); 

(2) “Formula penghitungan Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu.” 

Tidak dapat dipungkiri penggunaan diksi indeks tertentu dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Pasal lain mengenai penghitungan upah minimum terdapat pada pasal 88F perubahan atas UU Ketenagakerjaan yang dijelaskan bahwa dalam keadaan tertentu Pemerintah dapat menetapkan formula penghitungan upah minimum yang berbeda dengan formula penghitungan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88D ayat (2) perubahan atas UU Ketenagakerjaan. Dengan hadirnya diksi keadaan tertentu pada pasal 88F yang membuat pemerintah dapat merubah formula upah minimum sewaktu-waktu berdasarkan keadaan tertentu.

Cuti Panjang Bagi Buruh Menjadi Tidak Wajib 

Ketentuan mengenai cuti panjang tidak diatur secara jelas dalam UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Yang diatur secara jelas dalam UU Cipta Kerja Pasal 79 hanyalah ketentuan mengenai cuti tahunan, istirahat antar jam kerja, dan libur mingguan yang wajib diberikan oleh perusahaan. 

Jika melihat UU Ketenagakerjaan yang sebelumnya dijadikan rujukan dalam memberikan hak pekerja terkait pemberian cuti panjang. Hal tersebut sebelumnya diatur dalam Pasal 79 ayat (2) huruf d UU Ketenagakerjaan yang menjelaskan bahwa perusahaan memiliki kewajiban untuk memberikan hak cuti atau istirahat panjang selama dua bulan per 6 tahun. 

Namun, pasal tersebut dihapus dalam UU Cipta Kerja, sehingga pekerja yang telah mengabdikan hidupnya pada perusahaan selama 6 (enam) tahun tidak dapat mengambil hak cuti panjang kecuali ditentukan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian bekerjasama sebagaimana yang termaktub di dalam UU Cipta Kerja. 

Pasal 79 ayat (5): Selain waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2l., dan ayat (3), Perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama. 

Dengan dijadikannya UU Cipta kerja sebagai rujukan dalam memberikan hak buruh terkait cuti panjang, maka perusahaan tidak memiliki kewajiban dalam memberikan cuti panjang tersebut atau dapat dikatakan bahwa cuti panjang hanya bersifat opsional. Hal tersebut tentunya memberikan kerugian bagi buruh karena memungkinkan perusahaan untuk tidak memberikan hak cuti panjang tersebut dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Beberapa penjelasan pasal yang dinilai bermasalah bermuara pada belum terpenuhinya hak atas pekerjaan yang layak, UUD 1945 pasal 27 ayat (2) menegaskan: “Tiap-tiap Warga Negara  berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”

Dalam perspektif HAM, negara dalam hal ini pemerintah Indonesia memiliki tanggung jawab dan kewajiban yakni meliputi: to respect (menghormati); to protect (melindungi); dan to fulfil (memenuhi). Dalam konteks hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, negara atau pemerintah berkewajiban to protect; negara melindungi dan menjamin hak sosial-ekonomi warganya (hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak), menjamin pihak ketiga dalam hal ini pengusaha memberi sanksi terhadap pihak ketiga yang melanggar hak individu warganya, termasuk di dalamnya memastikan tersedianya peraturan yang memberi perlindungan hak-hak individu warganya, khususnya hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. 

Penerapan undang-undang Cipta Kerja dalam rangka mewujudkan kesejahteraan pada buruh di Indonesia pun masih dianggap belum memberikan rasa kesejahteraan kepada buruh, sehingga atas hal tersebut pemerintah perlu untuk menekankan kembali mengenai amanah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia pada pasal 27 ayat (2) bahwa seharusnya suatu regulasi yang dibuat oleh pemerintah sudah sepatutnya menjalankan amanah dari ketentuan UUD yang semata-mata untuk mewujudkan  kesejahteraan bagi para buruh.

*) Bidang Hikmah, Politik dan Kebijakan Publik PC IMM Bekasi Raya.

Editor: Adis Setiawan

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال