Faktor Munculnya Radikalisme Penafsiran dalam Alqur’an (1)

Hubungannya dengan akar radikalisme dalam tubuh agama, sesungguhnya tidak lain berasal dari berbagai persoalan penafsiran, pemahaman, aliran, bahkan sekte yang ada di dalam satu agama. Radikalisme Islam sendiri menurut pandangan Azyumardi Azra lebih banyak dipengaruhi oleh pemahaman keagamaan yang tekstual (literal), sepotong-sepotong dan Ad Hoc terhadap ayat-ayat Alqur’an.




Pemahaman tekstual tersebut, dapat dirujuk pada sejarah fenomena radikalisme Islam awal, dalam rentang sejarah yang panjang sejak zaman Nabi SAW di era awal sahabat Nabi SAW akan upaya-upaya pembunuhan yang didalangi oleh sekte Khawarij terhadap sahabat Nabi, seperti Ali ibn Abu Thalib, Muawiyah, Amr ibn Ash sebagai rangkaian lanjutan dari peristiwa tahkim (merupakan cikal bakal kelahiran gerakan radikalisme fundamentalisme).

Argumentasi yang dijadikan pembenaran oleh Khawarij atas tindakan-tindakan kekerasan mereka, yang berawal dari persoalan politik hingga akhirnya membawa kepada persoalan teologi, dan berakhir dengan pentakfiran kepada para sahabat Nabi. Menurut mereka, persoalan umat Islam harus diselesaikan dengan didasarkan pada kitab suci Alqur’an sebagai satu-satunya sumber kebenaran.

Sementara itu, menurut Ibn Taimiyah, Khawarij adalah kelompok pertama yang melakukan perpecahan dan perbuatan bid’ah dalam Islam setelah kematian Uthman ibn Affan, dan memecah belah kaum Muslimin. Ketika Ali ibn Abu Talib dan Muawiyah sepakat untuk melakukan al-Tahkim, maka Khawarij mengingkarinya.

Mereka berkata tidak ada hukum kecuali hukum Allah SWT. Lalu mereka pun berpisah dari kelompok kaum Muslimin, hingga diutuslah Ibn Abbas untuk mendebat mereka. Sebagian dari mereka kembali pada kelompok kaum Muslimin, dan sebagian yang lain menyerbu ternak manusia dan menghalalkan darahnya, hingga mereka membunuh Ibn Khubab. 

Sebenarnya, mereka memuliakan Alqur’an, akan tetapi mereka keluar dari Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah. Sejarah pemikiran Islam awal menunjukkan dalil pentakfiran sahabat Nabi berdasarkan tafsir literal mereka dalam Alqur’an surat Al-Maidah [5]: 44, Allah SWT berfirman:
اِنَّآ اَنْزَلْنَا التَّوْرٰىةَ فِيْهَا هُدًى وَّنُوْرٌۚ يَحْكُمُ بِهَا النَّبِيُّوْنَ الَّذِيْنَ اَسْلَمُوْا لِلَّذِيْنَ هَادُوْا وَالرَّبَّانِيُّوْنَ وَالْاَحْبَارُ بِمَا اسْتُحْفِظُوْا مِنْ كِتٰبِ اللّٰهِ وَكَانُوْا عَلَيْهِ شُهَدَاۤءَۚ فَلَا تَخْشَوُا النَّاسَ وَاخْشَوْنِ وَلَا تَشْتَرُوْا بِاٰيٰتِيْ ثَمَنًا قَلِيْلًا ۗوَمَنْ لَّمْ يَحْكُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْكٰفِرُوْنَ 

Artinya: “Sungguh, Kami yang menurunkan Kitab Taurat, di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya. Yang dengan Kitab itu para nabi yang berserah diri kepada Allah memberi putusan atas perkara orang Yahudi, demikian juga para ulama dan pendeta-pendeta mereka, sebab mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu jual ayat-ayat-Ku dengan harga murah. Barang siapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir.” (QS. Al-Ma’idah [5]: 44).

Ayat ini oleh kelompok Khawarij mampu menghakimi sahabat yang dianggap menyelisihi Alqur’an. Di antara sahabat yang menurut mereka kafir adalah Ali ibn Abi Thalib, Amr ibn Ash, Muawiyah ibn Abi Sofyan, dan Abu Musa al-Asyari. Merekalah yang melakukan tahkim (perdamaian) dalam perang Siffin pada 37 H/ 657 M. dengan mengangkat Alqur’an di atas ujung tombak.

Ali dan sahabat lainnya dianggap telah keluar dari Islam, maka mereka dianggap telah murtad dan mesti dibunuh. Khawarij yang kemudian lambat laun pecah menjadi beberapa sekte (versi al-Baghdadi 20 sekte), dan konsep kafir mereka turut pula mengalami perubahan. 

Konsep kafir menurut mereka bukan hanya orang yang tidak berhukum dengan Alqur’an, tetapi orang yang berbuat dosa besar atau Murtakib al-Kabair, juga dipandang kafir.
Pemahaman yang dibangun oleh Khawarij dengan perkembangan corak pemikirannya dan sekte-sekte di dalamnya, setidaknya dapat dipahami melalui identitas yang sama yaitu membatasi dalil agama hanya Alqur’an dan hadis saja. 

Oleh karenanya, terjadi penolakan atas ijma’ (kesepakatan para ulama) dan qiyas (analogi).
Keduanya sangat dekat dengan penggunaan akal atau logika dalam penentuan hukum yang tidak terdapat di dalam Alqur’an dan hadis, terutama menyangkut urusan duniawi. 

Menurutnya, metodologi ta’wil yang menggunakan akal hanya akan membuat agama tidak murni lagi. Kenapa demikian? Karena terkontaminasi pendapat-pendapat manusia yang tidak memiliki wewenang menetapkan syariat.

Tak berhenti di sini, pendapat-pendapat mereka di antaranya, bahwa pelaku dosa besar adalah kafir, keluar dari kepemimpinan Imam (bahkan kepemimpinan negara) adalah wajib, apabila sang Imam dianggap sudah tidak sesuai dengan ajaran-ajaran Islam. Selain itu, orang yang tidak sepaham dengan mereka adalah kafir dan boleh ditawan, dijadikan budak atau bahkan dibunuh.

Di Indonesia kelompok atau jaringan teroris yang tergabung dalam Jamaah Islamiyah (JI) khususnya yang berafiliasi dengan ISIS termasuk ke dalam aliran ini. Jika ditelusuri tentang Khawarij dalam buku klasik dan kontemporer, maka dapat ditemukan banyak label negatif yang melekat padanya. Di antara label negatif ini setidaknya terdapat tiga aspek negatif yang seringkali disoroti dari kelompok ini.

Pertama, kelompok yang dalam sejarah Islam berani meninggalkan jumhur kaum Muslimin, sehingga banyak sejarawan yang menganggap Khawarij adalah kelompok bughat (pemberontak). 

Kedua, kelompok ini memiliki pemahaman radikal dan dalam memahami agama secara tekstual, dengan pemahaman ini mereka dengan mudah menipu sahabat yang terlibat arbitrase. 

Ketiga, kelompok ini cenderung meninggalkan sunnah dan memahami Alqur’an secara global. Oleh karena itu, wajar jika golongan Khawarij ini tidak memiliki kitab tafsir seperti kelompok Syi’ah, Mu’tazilah dan kelompok-kelompok lain.

Mengapa Khawarij dinilai demikian? Hal ini ada hubungannya dengan keberadaan golongan tersebut ditengah-tengah masyarakat. Setidaknya, adh-Dhahabi menjelaskan mengapa bisa terjadi demikian, di antaranya: pertama, kelompok Khawarij berasal dari Arab Badui dan sangat sedikit dari mereka yang pernah tinggal di Kufah dan Basrah. Akibatnya, mereka menjadi kelompok yang jauh dari peradaban agama.

Kedua, keseharian Khawarij lebih disibukkan dengan peperangan, baik pada masa Ali, masa Umayyah dan Dinasti Abbasiyah. 

Ketiga, Khawarij sebagai kelompok yang sangat menganut prinsip-prinsip keimanan, bahkan dalam keyakinannya berbohong adalah dosa besar dan pelakunya dapat keluar dari Islam. Konsep teologi yang kaku tersebut, menjadikannya memilih pendekatan tekstual dalam memahami Alqur’an, dan dianggap satu-satunya cara untuk tidak berbohong atas nama Alqur’an. 

Bersambung.

Salman Akif Faylasuf

Salman Akif Faylasuf. Alumni Ponpes Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang nyantri di Ponpes Nurul Jadid, sekaligus kader PMII Universitas Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال