Metafisika; Kajian Antara Ada dan Tiada Menurut Platonis

 


Kita sering menyatakan ada (existence), namun ada yang kita maksudkan ‘ada’ tersebut belum tentu juga ‘ada’ dalam benak orang lain. Sehingga harus ada cara untuk menyamakan persepsi tentang apa itu ‘ada’.  Oleh karena itu, tidak heran dalam tradisi filsafat, ada pembahasan serius tentang apa yang dimaksud dengan ada. Sebagaimana para filsuf, setelah berkontemplasi, mereka menulis, jadilah sebuah karya tentang metafisika yang dikarang oleh Aristoteles.

Aristoteles adalah orang yang agak cukup terganggu dengan kita yang selalu mempertanyakan tentang yang ada. Mengapa kita jarang mempertanyakan tentang yang tidak ada. Sebab Aristoteles  yakin bahwa yang ada ini mungkin belum tentu ada sementara yang tidak ada itu mungkin adalah ada yang sebenarnya. Oleh karena itu,  sebaiknya kita jangan terpaku dengan yang ada sehingga melupakan yang tidak ada. Cara fikir seperti ini tidak terlepas dari pengaruh gurunya Plato yang memperkenalkan kepada kita tentang konsep ideos (ide-ide).

Dunia yang ada sekarang ini adalah dunia yang terus berubah. Aku yang semula di Simalungun kini ada di California.  Dan aku yang dulu semula di California kini kembali ke Simalungun.  Dunia yang ditandai oleh perubahan dan pergerakan. Di antara yang terus berubah ini, adakah sesuatu yang tetap? kalau ada, apakah yang tetap itu?

Kalau kita abstraksikan segala macam objek yang ada di depan kita, kita buang warnanya, kita buang aromanya. Maka kita akan sampai ke pada suatu sifat dasar dari objek itu. Dan inilah yang disebut Plato sebagai idea. Idea ini bukan hanya sesuatu yang ada dalam pikiran subjektif kita semata. Idea ini sebetulnya menurut Plato hadir secara objektif inherent di dalam objek yang kita pikirkan itu. Misalnya dalam kenyataan sehari-hari kita sering melihat bentuk -bentuk segitiga atau persegi.

Plato bertanya, di antara berbagai bentuk segitiga dan persegi yang dapat dijelaskan dengan berbagai cara itu, pasti ada definisi dasar yang menjadikan segitiga sebagai segitiga dan persegi menjadi persegi. Harus ada penentuan tetap, mana yang merupakan segitiga dan mana yang bukan segitiga. Tentu saja Segitiga disebut segitiga karena mempunyai tiga sisi.

Dalam pencarian bentuk ini, Plato juga sampai pada pencarian realitas angka. misalnya Kalau bunganya ada dua  dan kalau lebahnya ada lima, lalu apa yang disebut dua dan apa yang disebut lima? Jika tidak ada lebah di dunia ini, apakah kelima lebah itu hilang? Tentu saja lebahnya hilang, tapi apakah angka lima itu juga ikutan hilang bersama lebahnya? Ini sebenarnya yang ditanyakan Plato.

Bilangan angka adalah bentuk lain dari apa yang disebut Plato sebagai ide. Menurut Plato, suatu ide tidak terikat oleh waktu. Bersifat atemporal, tidak ada hubungannya dengan segala macam perubahan yang terjadi di dunia ini.

Pemikiran tentang bilangan angka sebagai ide, dilanjutkan oleh Galileo galilei. Beliau bilang bahwa segala macam benda di dunia ini memiliki hitungan matematisnya masing-masing. Perhitungan Angka adalah elemen dasar dari alam semesta. Matematis  adalah dasar cetakan alam semesta ini.

Dalam banyak hal, teori Galileo dibuktikan dengan penemuan ilmu pengetahuan modern. Sekarang kita tahu bahwa yang disebut warna sebenarnya hanyalah panjang gelombang. Yang membedakan merah dan biru sebenarnya hanya pada panjang gelombangnya saja. Rentang panjang Gelombang inilah yang nantinya masuk dalam perhitungan angka-angka. Panjang gelombang adalah matematis, berkaitan dengan angka, rasio, logika dan sebagainya.  

 Banyak filsuf kontemporer, terutama dari tradisi analitis, yang memberikan tempat khusus bagi matematika dalam metafisika.  Karena matematika merupakan ilmu yang membahas segala macam aspek secara umum,  maka erat kaitannya dengan metafisika. Ada jembatan antara matematika dan metafisika. Terdapat tiga segitiga emas yang menghubungkan metafisika, matematika, dan logika. Perubahan kecil dalam matematika akan membuat perubahan dalam logika dan metafisika. Demikian pula logika dan metafisika. Hubungan inilah yang kita sebut sebagai ilmu logika atau mantiq.

Dengan logika filsafat analitis seperti ini, kita akhirnya menyadari persoalan metafisik lain. Misalnya tentang keberadaan benda yang mungkin ada tetapi tidak ada. Bukankah fisika kuantum hari ini pada akhirnya juga membahas tentang hal-hal yang Metafisis. Misalnya  hari ini kita mulai membahas tentang dunia Multiverse.  dan tentang adanya  efek quantum entanglement untuk menjelaskan bagaimana sihir itu terjadi.

Oleh: Julhelmi Erlanda (Mahasiswa Doktoral Pendidikan Kader Ulama & Universitas PTIQ Jakarta)


Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال