Islam Yes Politik Islam Yes

Ilustrasi gambar (ist)

Belakangan ini pembahasan politik Islam (Syiasah Syar’iah) oleh para Alim Ulama/Dai/Ustadz kepada masyarakat baik di pengkajian Islam, khutbah jum’at dan Khutbah Id Fitri dan Adha dianggap sebagai tindakan radikalisme, memecah belah ummat, tidak santun, tabu dan melawan pemerintahan berkuasa yang sah. Hal ini menimbulkan di sebagaian masyarakat timbul  rasa penyakit kejiwaan yaitu idephobia (takut ide atau gagasan pembaharuan) dan phronemophobia (takut berfikir rasional) terhadap pemnahasan politik Islam.

Kalau bicara tentang Islam maka kita tidak bisa menyampingkan tentang politik karena politik itu bagian dari Islam, sebaliknya kalau bicara politik, kita tidak bisa menyampingkan Islam karena Islam itu bagian dari politik yang biasa disebut Adab Syiasah. Kecurigaan terhadap politik Islam sebenarnya akibat dari sisa-sia doktrin pendangkalan akidah umat oleh kolonialisme Hinda Belanda. Menurut Prof.Dr. Alwi Shihab dalam bukunya “Islam Inklusif” menyebutkan bahwa Snouck Hurgronje merumuskan kebijakannya mengenai Islam. Hurgronje berkata : “yang perlu dimusuhi bukanlah Islam sebagai agama tetapi Islam sebagai doktrin politik”.

Hurgronje dalam bukunya “Verspreide Gerschriften” meletakan tiga prinsip dasar bagi umat Islam di Indonesia. Pertama, dalam segala menyangkut aspek ritual atau aspek ibadah Islam, orang Muslim bebas menjalankannya. Hongronje sering melemparkan diktum : “penguasa kafir namun adil lebih baik daripada penguasa Muslim tapi zalim”. Mohammad Natsir menyebut berdasarkan diktum ini, kolonial walau kafir tetap bisa berkuasa selama memberikan persamaan hak dan keadilan, bebas dari intimidasi dan kezaliman.

Kedua, bahwa urusan yang berkaitan masalah muamalah seperti lembaga sosial, warisan, perkawinan, pemerintah harus menjaga dan menghormatinya akan tetapi pemerintah harus berupaya agar orang Indonesia tertarik pada budaya Barat sehingga lembaga-lembaga sosial keislaman semakin tertinggal. Ketiga, dalam masalah politik umat Islam, pemerintah disarankan untuk tidak ikut bertoleransi, pemerintah harus mengkontrol ketat aliran pemikiran politik umat Islam, penghapusan politik Islam akan melanggengkan kekuasaan kolonial.

Mengapa Politik Islam Begitu Ditakuti Kolonialisme ?

Sejarah telah membuktikan Islam sebagai kekuatan politik dapat mengubah masyarakat jahiliyah menjadi peradaban yang kuat dan berada dalam puncak tertinggi di dunia yang belum ada kejayaan menandingi peradaban Islam hingga kini. Kemudian, kita harus menyadari juga bahwa  Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam juga politisi dan pemimpin ummat sekaligus membawa risalah (Al-Qur’an). Politik Islam pada hakikatnya berlandaskan pada prinisip rahman dan rahim, atau dengan kata lain Islam memegang teguh kasih sayang, pengasih, dan menjunjug tinggi nilai kemanusiaan dengan tujuannya adalah menciptakan masyarakat  lemah (miskin) mendapatkan keadilan secara ekonomi, hukum dan sosial kemasyarakatan sesuai Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.

Konsep keadilan dalam Al-Qur’an menurut Murthada Muthahari memiliki empat kategori yaitu keadaan sesuatu yang seimbang, persamaan dan penafikan atas segala bentuk diskriminasi, pemberian hak bagi yang menerimanya dan memelihara hak bagi kelanjutan eksistensi. Malangnya seperti yang disebutkan Karen Amstrong dalam bukunya “Muhammad Sang Nabi (2001) menyatakan setelah Khulafa ar-Rasyidin, para pemimpin tidak dapat memenuhi cita-cita ini, kaum Muslimin menyebut para pemimpin yang tidak layak itu sebagai munafik.

Untuk itu para Ulama terdahulu seperti Imam Al-Mawardi dengan kitabnya “ Al Ahkam Sultaniyah”, Ibnu Taimiyah dengan kitabnya “Syiasah Syar’iyah”, Al-Farabi, Izzuddin Abd Sallam dan Ulama kontemporer saat ini semisal Dr. Sayid Quthub, Syekh Hasan al-banna (Mesir), Abdul A’la almaududi (Pakistan), Malik ben Nabi dan tokoh Islam lainnya ingin kembali menyadarkan umat Muslim tentang politik Islam karena Islam memiliki tatanan politik sendiri namun kalah bersaing dengan berbagai agenda politik barat baik dengan Machiavelli, liberalismenya yang ditancapkan kolonial untuk melanggengkan penjajahannya di atas dunia.

Kolonialisme Barat melakukan penjajahan ke negeri-negeri Muslim dengan mengeruk kekayaan alamnya dan melakukan perbudakan modern. Dalam konteks Indonesia yang berpedoman Pancasila tidak membenarkan perilaku perbudakan modern. Dalam pancasila, sila pertama tentang Ketuhanan yang maha esa, yang dalam Islam disebut sebagai “Tauhid”. Konsekuensi Tauhid ini adalah berpolitik harus disandarkan pada Tuhan oleh karenanya kita harus menyadari setiap perilaku akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan Allah (Q.S Al-Isra ayat 36).

Kesadaran Bertauhid politik ini mengalami pergeseran besar-besaran ke arah paham politik Dajjalisme yaitu orang-orang politisi  memberikan banyak uang atau makanan (sembako) bukan hanya agar dipilih menjadi pemimpin tetapi agar ia dipuja dan dipuji bahkan para pemujanya dalam memuji politisi tersebut melebihi memuji Tuhannya yang memberikan kenikmatan padanya. Politisi ketika memberikan suap maka akan diterima dengan riang gembira sementara Tuhannya telah memberikan banyak kenikmatan tidak pernah ia gembira dan bersyukur.

Strategi Dajjalisme ini menyerupai politik gagasan Shang Yang yaitu “ bila ingin membuat negara kuat dan makmur maka rakyat harus dijadikan lemah, kalau rakyat kuat maka negara lemah”. Ketika rakyat bergantung pada bantuan penghidupan dari penguasa negara maka rakyat akan tutup mata terhadap kemungkarannya, penguasa negara tersebut akan menjadi berhala bagi mereka yang  terus meraka puja dan puji.

Kemudian Pancasila sila ke dua yaitu Kemanusiaan yang adil dan beradab. Islam merupakan agama (din) yang memanusiakan manusia oleh karenanya Islam berhasil menghapuskan perbudakan jahiliyah seperti sistem kerja paksa dan menghapuskan pekerja tunduk patuh pada majikan tanpa batasan dan aturan yang adil yang berlandaskan kemanusiaan. Tetapi karena terjadinya Revolusi Industri modren menciptakan kapitalisme dan komunisme dan neo liberalisme sehingga melahirkan sistem perbudakan modren akibatnya terjadi rantai ekonomi lingkaran setan yakni yang kaya semakin kaya dan miskin menjadi melarat.

Di indonesia tidak menghendaki perbudakan modren karena hal itu bertentangan  dengan  Pancasila sila kedua, tetapi realitanya dengan adanya kontrak kerja waktu tertentu, honorer bahkan ada beberapa sektor pekerjaan yang untuk melakukan ibadah saja sesuai Pasal 29 UUD sangat dipersulit majikan ketika mereka berusaha memperoleh haknya, alih-alih mendapatkan hukum yang manusiawi malah dikucilkan oleh negara.

Kemudian penggunaan industri bidang teknologi tanpa aturan dan batasan  juga  menyingkirkan peranan manusia dan memperlemah rasa kemanusiaan. Inilah perlunya kesadaran berpolitik Islam untuk setiap Muslim bahwa pemimpin yang hanya memperkaya dirinya sendiri namun dipilih kembali sama dengan bekerjasama dalam kemungkaran. Para Ulama harus mengingatkan bahaya kemungkaran yang amat besar ini karena akan mendatangkan azab dari Allah.

Sila ketiga Pancasila yaitu Persatuan Indonesia. Politik Islam menghendaki adanya persatuan. Yang dikehendaki politik Islam adalah persatuan dalam hal mewujudkan cita-cita kebangsaan dan kemajuan agama. Cita-cita bangsa Indonesian terpatri dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Para Ulama dan Dai harus aktif menyuarakan di mimbar-mimbar ataupun dalam berbagai kesempatan agar mengingatkan penguasa agar benar-benar mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia yakni mencerdaskan bangsa, artinya negara harus menjamin setiap anak yang lahir di Indonesia mendapatkan akses, fasilitas, mutu pendidikan yang terbaik bukan hanya makan siang gratis untuk memenuhi janji politik.

 Tidak cukup dengan makan siang gratis tetapi pendidikan gratis agar generasi bangsa Indonesia memiliki daya saing tinggi dalam upaya mewujudkan Rakyat Indonesia Emas bukan Indonesia Emas karena kalau Indonesia Emas sementara rakyat merosot ekonomi, pendidikannya, penegakan hukum, yang ada bukan lagi berpedoman Pancasila namun paham semua untuk negara seperti negara Komunis.

Persatuan Indonesia juga maksudnya adalah, Ulama dan Dai harus aktif mengingatkan Ulil Amri agar tidak hanya berdiri di satu pihak yang menguntungkan bagi kekuasannya tetapi berdiri pada semua pihak. Kalau kita lihat belakangan ini, Pemilu 2019 dan 2024 membuat masyarakat terbelah dari mulai istilah kecebong versus kampret,  isu rasisme yaitu  keAraban, politisasi agama, anak haram konstitusi dan lainnya. Sementara para elit Partai Politik usai Pemilu belum tentu memikirkan nasib rakyat kecil yang merana padahal mereka ini menaruh harapan besar terhadap pemimpin politik pilihannya, namun alih-alih pemimpin harapan mereka dapat mengubah hidup mereka yang ada para elit politik hanya sibuk mengubah posisi jatah kursi-kursi kekuasaan.

Untuk itu perlunya para Ulama dan pendakwah agar membuka kesadaran berpikir masyarakat agar bersikap kritis, perbedaan pilihan politik sebaiknya disikapi dengan lapang dada, tidak memburukan atau fitnah satu pendukung dengan pendukung lain yang sama-sama rakyat biasa. Ulama dan pendakwah harus berada di titik tengah antara penguasa dan rakyat.

Sila keempat Pancasila yaitu Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyarawatan/perwakilan. Disini Ulama dan pendakwah Islam harus tampil sebagai pemimpin rakyat dan memberikan mereka nasihat-nasihat bijaksana yang penuh hikmah tentang kebaikan dan kemungkaran agar rakyat tidak tutup mata atas kemungkaran namun berlomba-lomba dalam perbaikan bangsa dan negara.

 Figur Ulama dan Dai sebagai pemimpin ummah dewasa ini   kita mengalami krisis hal ini disebabkan Ulama ikut terlibat langsung dalam kursi kekuasaan. Para Ulama dan Dai harus totalitas mengadakan musyawarah dan dialog tentang masalah keummatan dan mencari solusi yang efektif sesuai Al-Qur’an dan Sunnah. Masjid harus menjadi basis utama dialog atau musyawarah keumataan.

 Sila kelima Pancasila yaitu Keadilan sosial bagi masyarakat Indonesia. Dalam Al-Qur’an kata “adil” disebutkan sebanyak 28 kali dalam Al-Qur’an. Keadilan dalam Islam dipandang sebagai kebajikan yang tinggi, oleh karennya setiap Khutbah Jumat, para Ulama dan Dai menyerukan keadilan sesuai Q.S An-Nahl ayat 90 :

إِنَّ ٱللَّهَ يَأْمُرُ بِٱلْعَدْلِ وَٱلْإِحْسَٰنِ وَإِيتَآئِ ذِى ٱلْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ ٱلْفَحْشَآءِ وَٱلْمُنكَرِ وَٱلْبَغْىِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

 

Arab-Latin: Innallāha ya`muru bil-'adli wal-iḥsāni wa ītā`i żil-qurbā wa yan-hā 'anil-faḥsyā`i wal-mungkari wal-bagyi ya'iẓukum la'allakum tażakkarụn.Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.

Sejarah telah membuktikan betapa banyak bangsa dan negara yang berdiri ratusan hingga ribuan tahun runtuh karena tidak tercipta keadilan sosial. Dalam sejarah Islam, tahun 1924 Dinasti Turki Usmani runtuh akibat para Sultan yang berkuasa hanya memikirkan keluarganya, utang negara melambung, akibatnya bangsa Arab melakukan pemberontakan atas nama demokrasi, di Eropa juga tercatat meletusnya Revolusi Prancis sehingga Raja Louis VVI tahun 1793 dipenggal rakyat di alun-alun kota karena ia menyatakan L'etat c'est moi (negara adalah saya) sehingga ia tidak adila hanya memikirkan kekuasaannya. Bahkan di Indonesia pada saat awal kemerdekaan RI, banyak tokoh pejuang di daerah yang berupaya melepaskan diri dari NKRI seperti yang dilakukan Kartosuwirjo dengan NII yang hal itu karena faktor ketidak adilan yang dilakukan kekuasaan.

Pancasila sila kelima mengharuskan penguasa bersikap adil.Dalam konteks industri bersikap adil pada para buruh dan pengusaha, jangan sampai buruh dianggap hanya beban pada negara padahal ketidakadilan terhadap para buruh jika kemarahan atas ketidakadilan meledak akan mengguncang negara seperti yang tejadi di China pada masa Revolusi China yang dipelopori Mao Zedong terhadap Kekaisaran Tiongkok.

Kemudian adil terhadap setiap warganya yang berbeda pandangan (berpemikiran kritis) dan keadilan sosial lainnya. Penguasa harus menyadari bahwa berdirinya bangsa dan negara bukan hanya jasa para pejabat, bukan hanya jasa para jendral dan tentara atau polisi namun ada  jasa setiap masyarakat khususnya Ulama. Ketidakadilan terhadap masyarakat pada akhirnya menjadi ledakan yang dahsyat yang mampu menganggu stabilitas negara tinggal.

Ulama dan Dai harus berperan aktif mengingatkan penguasa agar bersikap adil dan bijaksana. Jika Ulama lalai dalam tugasnya untuk menyadarkan tentang pentingnya keadilan maka alih-alih ia di akhirat disambut para Malaikat, ia akan dibenamkan ke dalam murka Allah bersama Iblis dan Firaun.Jadi Ulama dan Dai harus aktif berbicara politik Islam yang rahim, rahman dan mencegah kemungkaran serta menaburkan kebaikan demi keutuhan NKRI sesuai Pancasila dan UUD 1945 sehingga negara Indonesia menjadi negara yang diridhai Allah.

Politik Islam Bukan Politik Radikalisme

Politik Islam bukan merupakan politik radikalisme tetapi politik Islam adalah politik yang menghendaki adanya perubahan dan perbaikan masyarakat (Tajdid) dari jahiliyah menjadi Tauhid. Sebagai buktinya politik Islam bukan radikalisme adalah umat Islam terdepan mengamalkan Pancasila dalam setiap kehidupannya.

Sila pertama : Ketuhanan yang maha esa. Disini umat Islam diperintahkan Allah untuk menyembah Allah dan mentauhidkannya. Setiap lima waktu, ummah Islam melaksanakan ibadah shalat fardhu (Fajr, Dzuhur, Ashar, Magrib dan Isya) disamping shalat sunnah lainnya. Artinya setiap waktu umat Islam dituntut Allah memperbaharui Tauhidnya dan dalam shalat, umat Islam juga  ketika posisi tahsyahut akhir mengucapkan salam ke kanan dan kekiri artinya adalah umat Islam selain harus bertauhid, juga harus menebarkan kedamaian (salam) baik di barat maupun timur.

Sila kedua : Kemanusiaan yang adil dan beradab. Pasal ini mendidik manusia agar punya rasa kemanusiaan. Islam terdepan dalam memanusiakan manusia, sebagai bukti ajaran Islam ada zakat, infak/sedekah dan Haji yang bahkan dana-dana tersebut juga dikelola negara untuk kemajuan dan kemanfataan bagi bangsa dan negara.

Sila ketiga : Persatuan Indonesia. Dalam Islam adanya perintah shalat berjamaah yang mendidik ummat Islam agar menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Sila keempat : yaitu Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawartan/perwakilan. Umat Islam selalu mengedepankan musyawarah. Sila Kelima; Kelima yaitu keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia. Umat Islam diajarkan untuk melaksanakan zakat dan infak, sedekah untuk menciptakan keadilan ekonomi dan sosial.

Jadi, politik Islam bukanlah radikalisme. Ciri-ciri radikalisme menurut Prof.Dr. Yusuf Al-Qardhwai dalam bukunya “ Fikih Prioritas (1996)” yaitu buruk sangka terhadap semua orang, memegang agama secara kokoh dan keras, merasa besar terhadap diri yang mengakibatkan kecenderungan sikap unggul atas masyarakat, memiliki cakrawala yang sempit dalam pemahaman agama, terburu-buru mencapai sesuatu sebelum waktunya, cepat mengkafirkan orang lain tanpa bersikap hati-hati, mencapai tujuan dengan cara menggunakan kekuatan.

Sebagai kesimpulan bahwa Islam dan politik adalah satu kesatuan. Politik Islam menghendaki adanya perbaikan dan perubahan masyarakat (Tajdid) sesuai ajaran Islam dan Pancasila serta UUD 1945. Untuk itu para Ulama dan Dai sebagai pewaris Nabi mengemban tugas yang sangat berat memberikan pendidikan dan kesadaran politik bahwa yang mungkar adalah kebatilan dan yang dikehendaki Islam adalah politik yang rahman dan rahim, politik yang adil. Membuka kesadaran berpolitik agar masyarakat cerdas di mimbar, kajian sekarang bukan lagi fardhu kifayah tetapi fardhu ain.

Saran : Penulis mengajak umat Islam peka terhadap perkembangan Islam dan Indonesia khususnya politik yang mengarah pada perbaikan bangsa sesuai Islam dan konstitusi. Kemudian jangan sampai memusuhi para Ulama/dai yang mengarahkan pada perbaikan politik, karena kebebasan berpendapat dijamin dalam Pasal 28 E ayat 3 UUD 1945 : “ Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”, perbedaan harus disikapi dengan dialog dan musyawarah sesuai etika Islam dan etika berbangsa/bernegara.

Penulis merupakan Redaktur www.Kuliahalislam.com

Rabiul Rahman Purba, S.H

Rabiul Rahman Purba, S.H (Alumni Sekolah Tinggi Hukum Yayasan Nasional Indonesia, Pematangsiantar, Sumatera Utara dan penulis Artikel dan Kajian Pemikiran Islam, Filsafat, Ilmu Hukum, Sejarah, Sejarah Islam dan Pendidikan Islam, Politik )

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال