Rahasia dan Tingkatan Puasa Ramadan

KULIAHALISLAM.COM - Hakikatnya, puasa adalah ibadah yang tiada dapat indra manusia mengamatinya, dan yang tahu pasti hanyalah Allah SWT dan orang yang bersangkutan. Dengan demikian puasa adalah suatu ibadah yang langsung berhubungan dengan Allah SWT. Oleh sebab itu, ibadah dan kebaktian ini, tiada yang mengetahui secara pasti kecuali Allah SWT, lalu Dia sandarkan pada Dzat-Nya sendiri.


Sebaiknya, hindarkan diri dari terlalu banyak mengkonsumsi makanan ketika berbuka, meskipun yang dihalalkan, supaya tidak memenuhi rongga perut. Sebab, Allah SWT tidak menyukai perut yang terlalu kenyang. Juga, sebaiknya pula hati orang yang berpuasa itu selalu dalam keadaan harap-harap cemas; apakah puasanya akan diterima oleh Allah atau ia hanya mendapatkan lapar dan dahaga saja?

كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوْع وَالْعَطْش

Artinya: “Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan sesuatu dari puasanya kecuali rasa lapar dan dahaga,” (HR. An-Nasa’i).

Kenapa demikian? Sebab, salah satu dari tujuan melaksanakan puasa ialah menahan diri dari memperturutkan keinginan nafsu. Dan, itu tidak hanya sekadar menahan diri dari makan dan minum saja. Namun, juga dari memandang segala apa yang diharamkan, mempergunjingkan orang lain, mengadu domba dan berdusta. Semua itu jelas dapat membatalkan nilai (pahala) puasa.

Dengan puasa pula, manusia bukan hanya disuruh memperhatikan dan merenungi tentang kenikmatan yang sudah diperolehnya, melainkan juga disuruh merasakan langsung betapa besar sebenarnya nikmat yang Allah SWT berikan kepada kita. Hal ini karena baru beberapa jam saja kita tidak makan dan minum sudah terasa betul penderitaan yang kita alami, dan pada saat kita berbuka, terasa betul besarnya nikmat dari Allah SWT meskipun hanya berupa sebiji kurma atau seteguk air.

Di sinilah sebenarnya letak pentingnya ibadah puasa guna mendidik kita untuk menyadari tinggi nilai kenikmatan yang Allah SWT berikan, agar kita selanjutnya menjadi orang yang pandai bersyukur dan tidak mengecilkan arti kenikmatan dari Allah SWT meskipun dari segi jumlah memang sedikit dan kecil.

Tentu saja, yang tidak kalah pentingnya adalah mengingatkan dan merasakan penderitaan orang lain. Artinya, merasakan lapar dan haus juga memberikan pengalaman kepada kita bagaimana beratnya penderitaan yang dirasakan orang lain. Karena dengan pengalaman lapar dan haus yang kita rasakan akan segera berakhir hanya dengan beberapa jam, sementara penderitaan orang lain entah kapan akan berakhir.

Semestinya, dari sini puasa akan menumbuhkan dan memantapkan rasa solidaritas kita kepada kaum muslimin lainnya yang mengalami penderitaan yang hingga kini masih belum teratasi. Misalnya seperti penderitaan saudara-saudara kita di Ambon atau Maluku, Aceh dan di berbagai wilayah lain di Tanah Air serta yang terjadi diberbagai belahan dunia lainnya seperti di Irak, Palestina dan lain sebagainya.

Lalu bagaimana dengan tingkatan-tingkatan puasa

Imam Al-Ghazali mengatakan, bahwa pada hakikatnya puasa itu sebagai media untuk bisa dekat dengan Allah SWT. Dan hal tersebut benar-benar berfungsi apabila orang yang melaksanakan puasa dilandasi oleh kemauan yang kuat (niat sungguhan). Maka, motivasi untuk berada sedekat mungkin dengan Allah SWT akan mengalahkan keinginan-keinginan yang bersifat lahiriah.

Ini sebagaimana yang diungkapkan Al-Ghazali: “Bila dalam diri kita telah tumbuh kerinduan untuk bertemu dengan Allah SWT. Dan bila keinginan kita untuk mendapatkan makrifat tentang keinginan-Nya nyata dan lebih kuat daripada nafsu makan dan seksual anda berarti anda telah menggandrungi taman makrifat ketimbang surga pemuas nafsu indrawi.”

Syahdan. Dalam Ihya’ Ulumuddin, Al-Ghazali dengan tegas menyatakan bahwa puasa terdiri dari tiga tingkatan. Katanya:

اعلم أن الصوم ثلاث درجات: صوم العوم، وصوم الحصوص، وصوم حصوص الحصوص

Artinya: “Ketahuilah ada tiga tingkatan puasa yaitu puasa umum, puasa khusus, puasa khusus dari khusus.”

Pertama, puasa umum yaitu “mencegah perut dan kemaluan dari pada memenuhi keinginannya”. Puasa umum ini titik beratkan hanya kepada menahan hal-hal yang membatalkan, dalam bentuk kebutuhan perut dan kelamin, tanpa memandang lagi kepada hal-hal yang diharamkan dalam bentuk perkataan dan perbuatan. Pada tingkatan ini, orang yang melakukan puasa tidak akan terbatas dari kemaksiatan, karena orang pada tingkat ini tidak mengikutkan hatinya untuk berpuasa pula.

Itu sebabnya, puasa tingkatan pemula atau kalangan awam terdiri atas dua kelompok. Pertama, kelompok orang yang berpuasa karena pengaruh lingkungan semata sehingga puasanya layak disebut puasa tradisi. Ia berpuasa karena pengaruh orang tua atau masyarakat sekitarnya yang telah menjalani puasa secara turun-temurun. Karena orang banyak berpuasa, ia ikut-ikutan berpuasa.

Sama sekali ia tidak punya pengetahuan sedikitpun tentang puasa, termasuk tentang syarat, rukun, apa-apa yang membatalkan puasa, dan sebagainya. Baginya, ia merasa cukup hanya dengan berpuasa. Puasanya tidak akan berdampak apapun kecuali lapar dan dahaga. Sementara kelompok kedua adalah orang yang berpuasa disertai pengetahuan tentang dasar-dasar puasa, seperti syarat rukun, dan yang membatalkan puasa.

Pada intinya puasa kelompok awam kedua ini lebih baik dari kelompok pertama, karena mereka berpuasa berdasarkan pengetahuan meskipun terbatas pada pengetahuan tentang aturan formal syari’at, tanpa memahami hakikat puasa, seperti dampaknya terhadap kesucian hati. Jadi, puasa yang mereka lakukan sah dan sesuai dengan aturan syari’at.

Hanya saja, mereka hanya mementingkan keberagamaan lahiriah, belum memasuki tujuan kehidupan beragama yang sesungguhnya. Karena itu, puasa seperti ini dikategorikan sebagai puasa umum atau puasa pemula (bidayah), karena baru memenuhi kriteria dasar pelaksanaan puasa. Menurut Al-Ghazali, puasa tingkatan umum ini ditandai dengan upaya menahan perut dan syahwat (puasa badani).

Kedua, puasa khusus yaitu “berusaha mencegah pandangan, penglihatan, lidah, tangan, kaki dan anggota-anggota tubuh lainnya daripada dosa”. Puasa khusus ini, disamping mencegah keinginan perut dari nafsu kelamin, juga menahan keinginan dari anggota-anggota badan seluruhnya. Menurut Al-Ghazali, perbedaan antara tingkatan umum dan tingkatan khusus terletak pada pengekangan diri yang dilakukan masing-masing.

Artinya, pada tingkatan umum, orang berpuasa dengan menahan diri dari makan, minum, hubungan seksual, dan segala hal lain yang membatalkan puasa. Sementara, kalangan khusus berpuasa dengan menahan diri dari segala yang membatalkan puasa, disertai menahan diri dari segala perbuatan buruk. Ia menahan mata, lisan, telinga, kaki, tangan, dan anggota tubuh lainnya dari keburukan.

Lebih dari itu, ia mengendalikan matanya agar tidak melihat yang dicela agama. Ia mengendalikan lisannya agar tidak berbohong, bergunjing (ghibah), fitnah (namimah), berkata kotor (fahsy), berkata kasar (jafa’), bermusuhan (khushumah), dan membanggakan diri (mira’). Ia menjaga telinganya agar tidak mendengar segala yang tidak baik. Dan ia menjaga seluruh anggota tubuhnya, seperti kaki dan tangan dari perbuatan dosa, termasuk menjaga perutnya dari makanan yang syubhat, atau dari makanan yang halal namun berlebihan. Pendek kata, para ulama menyebut puasa ini dengan puasa nafsani (psikologis).

Rupa-rupanya, sebagian ulama mengatakan bahwa, puasa ahlul khusus yaitu memelihara lidah dan berdusta dan berbohong sesudah menahan diri dari makan, minum dan jima’. Ini berangkat dari konsepsi al-Qur’an, bahwa kehidupan yang sebenarnya hanya ada disisi-Nya yaitu akhirat. Maka, manusia seharusnya memandang segala kenikmatan yang bersifat lahiriah dan hanya bersifat semu sehingga tidak pula larut di dalamnya.

Seperti orang-orang yang berada pada tingkat puasa khusus, benar-benar disadarkan untuk selalu menahan keinginan-keinginan lahiriah yang berupa anggota-anggota badan dengan kenikmatan yang diingini oleh anggota-anggota tersebut. Tujuannya untuk menemukan kenikmatan yang sebenarnya yakni keterangan batin.

Adalah seperti puasanya orang-orang yang Shalih. Yaitu, memelihara lidah dari berbicara tanpa arah, dusta, menggunjing, mengumpat, berkata buruk, berkata kasar, permusuhan dan pertengkaran dan melazimkan diam dan sibuk dengan mengingat Allah Yang Maha Suci dan membaca kitab suci Alqur’an. Ini adalah puasa lidah. Tidak hanya itu, ia juga menahan pendengaran dari mendengarkan segala sesuatu yang makruh, karena segala sesuatu yang haram diucapkan adalah haram pula untuk didengarkan.

Ketiga, puasa khusus dari khusus (khusus al-khusus) “yaitu puasa hati dari segala cita-cita yang hina dan segala pikiran duniawi serta mencegahnya daripada selain Allah SWT secara keseluruhan”. Puasa tingkatan ini kata Al-Ghazali adalah puasanya para Nabi-Nabi, orang-orang siddiq dan yang dekat dengan khalik. Ia akan menganggap batal apabila memikirkan hal-hal yang bersifat duniawi, sehingga hatinya lupa terhadap Allah SWT. Kecuali masalah-masalah dunia yang mendorong kearah pemahaman agama, karena hal tersebut dianggap sebagai tanda ingat kepada akhirat.

Dalam bukunya Al-Ghazali “Menangkap kedalaman rohaniah peribadatan Islam”, menerangkan bahwa sehingga mereka yang masuk ke dalam tingkatan puasa sangat khusus akan merasa berdosa apabila hari-harinya terisi dengan hal-hal yang dapat membatalkan puasanya. Mereka beranggapan bahwa hal tersebut bermula dari rasa kurang yakin dengan janji Allah SWT untuk mencukupkan dengan rizkinya.

Tingkatan akhir (nihayah) inilah yang menjadi puncak capaian manusia dalam perjalanan menuju Allah. Bagi orang yang sudah mencapai tingkatan ini, selain harus mengendalikan diri dari segala yang membatalkan puasa, ia juga harus mengendalikan nafsu psikologis agar tidak memikirkan segala sesuatu selain Allah. Baginya, segala bentuk pikiran, imajinasi, dan ilusi yang menjauhkan kita dari Allah akan merusak puasa. Bagi kaum arif, hanya satu yang menjadi tumpuan pikiran dan segala aktivitas, yaitu Allah SWT. 

Wallahu a’lam bisshawaab.

Salman Akif Faylasuf

Salman Akif Faylasuf. Alumni Ponpes Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang nyantri di Ponpes Nurul Jadid, sekaligus kader PMII Universitas Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال