Penerapan Ilmu Mukhtalif Hadis

Penulis: Roma Wijaya*

Pengertian Ilmu Mukhtalif Hadis


KULIAHALISLAM.COM - Mahmud Ath-Thahan menjelaskan secara sederhana tentang pengertian ilmu mukhtaliful Hadis, yaitu :

هُوَ الْحَدِيْثُ الْمَقْبُوْلُ الْمُعَارِضُ بِمِثْلِهِ مَعَ إِمْكَانِ الْجَمْعِ بَيْنَهُمَا

“Hadis maqbul yang kontradiksi dengan sesamanya serta memungkinkan dikompromikan antara keduanya.”(Khon, 2012, p. 88).

Secara etimologi Ilmu mukhtaliful hadis berasal dari 3 suku kata, yaitu Ilmu, Mukhtalif, dan Hadis. Ilmu (tahu) ialah sebuah pengetahuan yang metodologis dan sistematis serta didasari oleh kaidah-kaidah tertentu. Mukhtalif merupakan bentuk isim fail dari bentuk fi’il madi yaitu اِخْتَلَفَ-يَخْتَلِفُ-اِخْتِلَافًا-مُخْتَلِفٌ yang berarti berbeda ( kontradiksi).

Sedangkan hadis dalam kamus bahasa Arab yaitu, cerita, baru. Menurut terminologi Ilmu mukhtaliful hadis adalah ilmu yang membahas hadis-hadis yang secara lahiriah bertentangan, namun ada kemungkinan dapat diterima keduanya atau salah satunya saja (As-Shalih, 1995, p. 104).

Terdapat 4 Metode untuk mengkompromikan hadis yang bertentangan, yaitu (Ismail, 1994, p. 73); Pertama, Al-Tarjih yaitu meneliti dan menentukan petunjuk hadis yang memiliki argumen yang lebih kuat. Kedua, Al-Jam’u adalah hadits yang bertentangan itu dikompromikan atau sama-sama diamalkan, namun sesuai konteksnya.

Ketiga, Al-Nasikh wal Mansukh adalah petunjuk dalam hadis yang satu sebagai “penghapus” dan hadis yang satunya lagi sebagai “yang dihapus”. Keempat, Al-Tauqif ialah menunggu sampai ada dalil lain yang dapat menjernihkan dan menyelesaikan pertentangan.

Ada juga beberapa ulama yang pilah-pilih metode dalam menimbang hadis yang bertentangan, diantaranya (Suryadi & Suryadilaga, 2009, p. 150), yaitu: Al-Qarafi (w. 684 H): al-Tarjih (nasikh wal mansukh dan al-Jam’u). Al-Tahawani : al-nasikh wal mansukh dan al-tarjih.

Ibnu Hajar al-Asqalani: al-jam’u, al-nasikh wal mansukh, al-tarjih dan al-tauqif. Adib Salih: al-jam’u, al-tarjih, dan al-nasikh wal mansukh.

Ulama yang mengkaji ilmu ini ialah Imam Syafi’i (204 H), Ibnu Qutaibah (276 H), Abu Yahya Zakaria bin Yahya as-Saji (307 H), dan Ibnu al-Jauzi (598 H).

Kitab-kitab yang membahas ilmu ini, yaitu; Ta’wil Mukhtalif al-Hadis karya Ibnu Qutaibah Abdullah bin Muslim al-Naisaburi (w. 276 H). Musykil at-As|ar karya Abu Ja’far Ahmad bin Salamah al-Thahawi (w. 321 H), merupakan kitab yang paling luas pembahasannya. Musykil al-Hadis|| karya Abu Bakar Muhammad bin al-Hasan bin Faurak (w. 406 H) (’Itr, 2012, p. 355). 

Aplikasi llmu Mukhtaliful Hadis

Wajib dan tidak wajibnya mandi janabah karena senggama tanpa mengeluarkan sperma. Ada dua pernyataan Nabi, yaitu :

١عَنْ اَبِي سَعِيْدِ الْخُدْرِيِّ عَنِ النَّبِيِّ صلعم. اَنَّهُ قَالَ :اِنّمَا الْمَاءُ مِنَ الْمَاءِ (رواه ا مسلم و ابوداود و الترمذى وغيرهم و اللفظ لمسلم)

“Dari Abu Sa’id al-Khudri, dari Nabi saw. bahwa beliau telah bersabda, Sesungguhnya air (yakni mandi janabah menjadi wajib karenanya) dari air (yakni sperma tatkala bersenggama).” (H.R Muslim, Abu Dawud, al-Turmudzi, dan lain-lain dengan lafal riwayat Muslim).

٢عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ ...قَالَ رَسُولُ اللهِ صلعم. :اِذَ جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الأَرْبَعِ وَمَسَّ الْخِتَانُ الْخِتَانَ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسلُ.(رواه البخاري ومسلم وغيرهما واللفظ لمسلم)

“ Dari Aisyah, dia berkata...Nabi saw. telah bersabda, Apabila (seseorang) telah duduk di atas empat anggota tubuh (isterinya) dan alat kelamin telah menyentuh (masuk) ke alat kelamin, maka sungguh telah wajib mandi janabah.” (H.R Bukhari dan Muslim, dan lain-lain dengan lafal riwayat Muslim).

Dari kedua hadis di atas apabila diperhatikan dengan teliti, maka teks dari kedua hadis tersebut tampak berbeda. Hadis pertama menjelaskan bahwa Janabah menjadi wajib ketika air mani keluar tatkala bersenggama, namun ketika air mani itu tidak keluar maka janabah tidak menjadi wajib (Ismail, 1994, pp. 77–79).

Menurut al-Syafi’i bahwa dalam bahasa Arab, kata junub dalam Alqur’an surat an-Nisa’:43, yaitu:

يَأَيُّهَالذين أمنوا لاَ تَقْرَبُواالصَّلَوةَ وَ اَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّي تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلاَجُنُبًا الاَّ عَابِرِي سَبِيْلٍ حَتَّي تَغْتَسِلُوا.......

“Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu mendekati shalat, ketika kamu sedang mabuk, sampai kamu sadar terhadap apa yang kamu ucapkan dan janganlah pula(kamu hampiri masjid ketika kamu) dalam keadaan kecuali sekedar untuk melewati saja, sebelum kamu mandi (mandi junub)........”

Pada ayat tersebut kata junub tidak membedakan senggama yang berhasil keluar sperma dan tidak keluar sperma ketika bersenggama.

Penyelesaian yang ditempuh ialah dengan metode al-nasikh wal mansukh, karena hadits pertama muncul ketika ayat an-Nisa turun, sedangkan hadits kedua muncul setelah turunnya ayat tersebut. Hadis pertama menjadi mansukh yang dibuang sedangkan hadis kedua menjadi nasikh.

Larangan dan Kebolehan Menulis Hadis

١عَنْ ابِي سَعِيدِ الْخُدري, أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلعم قَالَ:لاَتَكْتُبُوا عَنِّي, وَمَنْ كَتَبَ عَنِّي غَيْرَ الْقُرأنَ فَلْيَمحُهُ. (رواه مسلم والدارمي و احمد واللفظ لمسلم)

Dari Abi Sa’id al-Khudri bahwa Rasulullah saw telah bersabda : “Janganlah kamu tulis (apa yang berasal) dariku dan barangsiapa yang telah menulis dariku selain Alqur’an, maka hendaklah dia menghapusnya.” (H.R Muslim, al-Darimi, dan Ahmad dengan lafal dari riwayat Muslim).

Hadis yang kedua, yaitu :

٢عَنْ ابي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صلعم ..... قَالَ: اُكْتُبُوا لِأَبِى شَاهٍ.(رواه البخاري و مسلم و ابوداوود واللفظ لمسلم)

Metode yang digunakan oleh sebagian ulama ialah al-Jam’u yaitu dengan cara mengkompromikan kedua hadis yang tampak bertentangan. Hadis yang pertama larangan menulis hadits pada saat wahyu (Alqur’an) turun, sedangkan perintah kebolehan menulis hadits nabi saat di luar saat tersebut. Kebijaksanaan Nabi itu bertujuan agar catatan wahyu Alqur’an terhindar dari yang bukan Alqur’an (Ismail, 1994, pp. 79–81).

Larangan dan Kebolehan Nikah Mut’ah

١عَنْ جَابِرِبْن عَبْدِالله وسَلَمَةَ بن لْأَكْوَعِ قَالَا:كُنَّا فَي جَيشٍ فَاَتَانَا رَسُولُ الله صلعم فَقَالَ:اِنَّهُ قَدْ اذن لَكُم اَن تَستَمتِعُوا فَاسْتَمْتَعُوا.(رواه البخاري ومسلم واحمد)

Dari Jabir bin ‘Abdillah dan Salamah bin al-Akwa’, mereka berdua menyatakan: Kami rombongan pasukan perang, maka datanglah Rasulullah saw kepada kami dan bersabda: “Sesungguhnya beliau (Rasulullah) telah mengizinkan kamu sekalian untuk melakukan nikah mut’ah, naka lakukanlah nikah mut’ah tersebut.” (H.R al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad)

Hadits kedua yaitu:

٢عَنْ عَلِيِّ بن ابِي طالب رَضِيَ اللهُ عَنهُ انّ رسُولَ اللهِ صلعم.,نَهَى عَنْ مُتْعَةِالنِّسَاءِ يَوْم خَيبَرَ وَعَن اَكْلِ الحُمُرِ الإِنْسِيَّةِ.(رواه البخاري ومسلم وغيرهما)

“Dari ‘Ali bin Abi Thalib r.a bahwasanya Rasulullah saw. telah melarang mengawini wanita dengan cara mut’ah pada saat perag khaibar dan melarang makan daging keledai jinak (peliharaan).” (H.R al-Bukhari, Muslim, dan lain-lain)

Metode yang digunakan untuk kedua hadis|| tersebut ialah al-nasikh wal mansukh. hadis|| pertama menjadi al-mansukh dan kedua menjadi al-Mansukh (Ismail, 1994, pp. 82–84).

Dari penjelasan di atas dapat diberikan ringkasan secara sederhana bahwa hadis yang dianggap menghadapi pertentang antara satu dengan lainnya, maka metode yang ditempuh adalah menerapkan ilmu mukhtaliful hadis. Metode yang ditempuh tidak lepas dari kaidah-kaidah serta prinsip dari ilmu ini seperti metode al-jam’u, at-tarjih, nasikh wa Mansukh, serta at-tauqif.

Referensi

’Itr, N. al-D. (2012). ’Ulumul Hadis. Jakarta: PT Remaja Rosdakarya.

As-Shalih, S. (1995). Membahas Ilmu-Ilmu Hadis (II). Jakarta: Pustaka Firdaus.

Ismail, M. S. (1994). Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani al-Hadits Tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal. Jakarta: Bulan Bintang.

Khon, A. M. (2012). Ulumul Hadis (Lihhiati, ed.). Jakarta: AMZAH.

Suryadi, & Suryadilaga, M. A. (2009). Metodologi Penelitian Hadis. Yogyakarta: Teras.

*) Dosen STAI Syubbanul Wathon Magelang. Minat Kajian: Tafsir, Hadis, Sejarah, Pemikiran Islam, Gender.

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال