REFLEKSI POLITIK FAHRI HAMZAH: BAGAI MENINGGALKAN GUNUNG

 


1.      Menyedihkanku, Ketika ummat meninggalkan Prabowo, Fahri Hamzah pun juga ikut ditinggalkan ummat.

2.      Ummat mana yang meninggalkan Prabowo? tentu saja kita sama-sama tahu,

3.      Yaitu ummat yang merupakan barisan dari pengikut ijtima ulama pendukung amin

4.      Mengapa ummat tersebut meninggalkan Prabowo? Tentu saja karena Prabowo telah meninggalkan ummat tersebut saat bergabung dengan kementerian Jokowi.

5.      Mengapa Fahri Hamzah juga pun ikut ditinggalkan? Tentu saja karena Fahri sekarang bergabung dengan Prabowo. Prabowo yang telah meninggalkan ummat itu.

6.      Jadi, Ini penting diingat!  bukan ummat yang meninggalkan Prabowo. Tapi Prabowolah yang meninggalkan ummat itu.

7.      Penting juga diingat! bukan Fahri Hamzah yang meninggalkan ummat. Tapi ummat lah yang meninggalkan  Fahri Hamzah.

8.      Sah-sah saja memang kita menjadi seorang yang berubah-ubah. Hari ini kita  ada dibarisan sana, besok justru kita ikut dibarisan sini. Memang tidak ada perubahan yang tetap. Satu-satunya yang tetap adalah perubahan.

9.      Hanya saja, kemana arah perubahan kita itu, apakah perubahan kita membawa kita ke sesuatu yang lebih tinggi? Atau justru perubahan yang membawa kita ke sesuatu yang lebih rendah?

10.  Mendapatkan sesuatu yang absolut memang susah, apalagi kita sengaja menjeburkan diri ke kolam nisbi.

11.  Nah, andai  saya menjadi seorang Fahri Hamzah, tentu rasanya akan lebih sakit ditinggalkan ummat.

12.  Pertanyaannya Kok bisa lebih sakit? Tentu saja lebih sakit, sebab Fahri Hamzah telah meninggalkan idealita, idealita yang susah payah ia bangun sejak lama.

13.  Idealita yang ia buang begitu saja demi materialita. Beliau Yang dulunya idealis sekarang materialis. Beliau meninggalkan konsep yang lebih absoulut. Dan memilih jalan jurang pragmatis demi  suatu konsep yang lebih nisbi.

14.  Berbeda dengan Prabowo yang memang sejak awal adalah pribadi pragmatis. Satu-satunya absolut bagi seorang Prabowo adalah oportunis. Ya biarlah.

15.  Bagi seorang oportunis, meninggalkan konsep sistemik keummatan adalah wajar demi konsep kepentingan pribadi.

16.  Tapi mengapa ini harus terjadi kepada seorang Fahri? Sekali lagi menyedihkan memang, ketika ummat telah meninggalkan Fahri Hamzah.

17.  Karena bagi saya itu adalah tanda bahwa konsep yang lebih tinggi telah meninggalkan Fahri. Itulah benar-benar pertanda bahwa Fahri mencari sesuatu konsep yang lebih rendah.

18.  Mari kita coba analogikan. Bukan kah perjalanan hidup kita seharusnya seperti mendaki gunung.  Dari bawah kaki, pandangan kita hanya memperhatikan detil-detil yang kecil.

19.  Pijakan  kita yang tadinya menyadari adanya daun, ada akar, ada air. Lalu kita menyadari bahwa daun, akar dan air itu punya satu kesatuan konsep yang lebih tinggi  yaitu pohon. Awalnya kita menyadari ada pohon, rumput dan hewan liar. Lalu kita menyadari bahwa kesemuanya adalah hutan.

20.  Semakin tinggi kita mendaki, semua konsep detil yang lebih kecil itu menyadarkan kita tentang konsep yang lebih luas. Lebih absolut.

21.  Dari atas gunung kita menyadari adanya hamparan fauna, kota, lengkap dengan sungai dan danaunya. Betapa indah jika kita mampu melihat hal yang lebih luas.

22.  Pemahaman yang lebih tinggi ini membawa kita pada orgasme pikiran. Kepuasan menyadari adanya keindahan terbit dan terbenamnya matahari, aurora, formasi bintang malam. Ah .. masyaAllah.

23.  Lalu mengapa ada banyak orang memilih turun gunung,  rela memplesetkan diri ke lereng curam, lalu masuk jurang hanya untuk mendapatkan detil kecil nisbi seperti itu.

24.  Padahal sedikit lagi ia akan mencapai pengalaman surgawi yang tak semua orang bisa rasakan. Hanya orang-orang tertentu.

25.  Apakah karena telah lelah mendaki gunung itu? tenaganya hampir habis, sementara puncak masih terasa jauh.

26.  Kalau memang begitu adanya, maka kasihan memang. Aku merasa sedih, entah apakah beliau yang dulu aku kagumi masih merasakan adanya kesedihan dalam benaknya.

27.  Beliau tentu saja masih ku harapkan bisa kembali, ke jalan yang lebih tinggi.

28.  Itu pun kalau masih ada rasa sedihnya karena telah mengorbankan idealita demi sebuah materialita.

 

Menanggapi tulisan beliau “Membongkar Klaim Suara Ummat” 
Oleh: Julhelmi Erlanda (Mahasiswa S3 Ilmu Qur’an-Tafsir Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal & Universitas PTIQ Jakarta)


Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال