Tauhid Sebagai Solusi Pragmatisme Kehidupan

Penulis: Azhar Adam

Tauhid

KULIAHALISLAM.COM - Kata Tauhid sejatinya berasal dari bahasa Arab, masdar dari kata yaitu wahada (وحد), yuwahidu (يوح) tauhidan (توحدا)  yang mempunyai pengertian sebagai mengesakan, dengan begitu tauhid mengandung makna dan juga nilai bahwa Allah itu Esa-Tunggal. Dari pengertian tersebut tentunya selarasa dengan pengertian tauhid yang kemudian digunakan dalam bahasa Indonesia yakni, “Mengesakan Tuhan”, “Ke-esaan Allah”. 

Dengan begitu, mentauhidkan sama saja dengan mengakui dan juga mengamini bahwa Tuhan (Allah) itu Esa (satu) tidak ada Tuhan yang lain dan juga sebanding dengan-Nya. Hal ini pun sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Fuad Iframi Al-Bustani dalam bukunya Zainuddin bahwasanya tauhid itu merupakan keyakinan bahwa Allah itu mempunyai sifat yang tunggal. [1]

Dalam bahasa Yunani kuno kata tauhid sendiri berasal dari kata “theos” yang berarti Tuhan dan juga “logos” yang memiliki arti sebagai ilmu. Dengan demikian, ditilik dari Bahasa Yunani kuno tauhid sendiri berarti “theology” yang mempunyai makna sebagai ilmu yang berkaitan dengan Tuhan atau juga ilmu tentang Ketuhanan. 

Pengertian yang dibangun oleh para ahli-ahli ilmu spiritual yang salah satunya yaitu Fergilius Ferm mengemukakan pendapatnya: The discipline which concerns God (or the Divine Reality) and Gods relation to the world (Tauhid merupakan sebuah pemikiran sistematis yang berkaitan dengan alam semesta). [2]

Syekh Muhammad Abduh menyatakan bahwa tauhid itu merupakan sebuah ilmu yang membahas mengenai tentang wujud dari Allah, sifat wajib, sifat yang boleh disifatkan dan juga sifat yang sangat wajib untuk dimusnahkan kepada-Nya. Menurutnya, tauhid juga membahas mengenai tentang para Rasul yang diutus oleh Allah, meyakinkan akan ke-Rasul-an mereka, yang boleh dinisbatkan pada mereka dan juga yang terlarang dihubungkan kepada diri mereka.[3] 

Selanjutnya, Hakim Abdul Hameed dalam bukunya yang diterjemahkan oleh Ruslan Shiddieq juga memberikan pandangannya terkait arti tauhid yaitu sebagai suatu kepercayaan tentang ritualistik serta tingkah laku ceremonial ajakan umat manusia agar menyembah realitas yang hakiki (Allah) dan juga wajib menerima segala apa yang telah disampaikan melalui kitab-kitab yang diturunkan, para Nabi dan Rasul sebagai bentuk perwujudan dalam sikap yang penuh kasih sayang, adil dan tentunya menjaga diri dari perilaku maksiat dalam rangka mengerjakan perintah dan menjauhi larangan-Nya.[4]

Dari pengertian diatas bahwa Tauhid merupakan suatu ilmu/ajaran yang disampaikan oleh Tuhan semesta alam (Allah) melalui kitab, para nabi dan rasul kepada umat manusia agar kita senantiasa memenuhi perintah dan menjauhi larangan-Nya sebagai bentuk penghormatan kita kepada sang Khaliq. 

Sehingga nantinya kita tidak terjebak ke dalam perbuatan yang tidak menyenangkan, karena sejatinya setiap perbuatan yang dilakukan oleh umat manusia akan ada ganjarannya seusai kehidupan dunia berakhir. Hal ini tentunya senada dengan firman Allah dalam Surat Al-Zalzalah dan juga mengenai tujuan manusia diberi kehidupan seperti yang tertera dalam Surat Az-Zariyat ayat 56.

Pragmatisme

Kata pragmatic, secara general mencakup pengertian praktis dan juga realistik, yang mencoba merambat ke dalam berbagai ide pada suatu rencana untuk selanjutnya dapat dilihat sejauh mana bisa diaktualisasikan ke dalam praktek dengan maksud dan tujuan tertentu, terbuka dan fleksibel, serta tidak terlalu fanatik dalam berpegang pada dogma tertentu. 

Sejatinya istilah pragmatisme berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata “pragma” yang memiliki arti  fakta, benda,  materi, sesuatu yang dibuat, kegiatan, pekerjaan, dan menyangkut akibat atau juga sebagai tindakan (practice) serta tindakan (action) dan dari kata “isme” yang mempunyai makna sebagai paham dan juga ajakan. Dalam bahasa Inggris istilah seperti ini dikenal sebagai “pragmatism”. [5]

Dengan begitu, pragmatisme bisa diartikan: suatu ajaran yang sangat menekankan bahwasannya pemikiran itu mengikuti sebuah tindakan.[6] Selanjutnya, definisi pragmatisme menurut Kamus Ilmiah Populer yakni pragmatisme ialah aliran dari filsafat yang mementingkan kepada pengamatan penyelidikan melalui cara eksperimen dan juga kebenaran yang memiliki akibat-akibat yang memuaskan. Sedangkan, definisi pragmatisme yang lainnya ialah menggunakan segala sesuatu agar dapat berguna.

Aliran pragmatis merupakan suatu aliran pemikiran yang khas dari negara Amerika. Aliran pragmatis ini muncul di awal abad ke-XX dengan latar belakang filsafat analitik dan linguistik yang berasal dari negara Inggris. Pragmatisme pada awalnya pertama kali digagas oleh tokoh filsafat yaitu Charles Sander Peirce di awal periode 1870-an dalam pertemuan suatu kelompok filsafat yang selanjutnya dikenal sebagai “Metaphysical Club” dan pertemuan tersebut dilakukan di Cambridge, Massachussets yang dilangsungkan secara tidak formal. 

Dari hasil pertemuan dan diskusi Meaphysical Club tersebut selanjutnya dituliskan ke dalam dua artikel oleh C. Pierce sebagai penggagas aliran ini yakni How To Make Our Ideas Clear dan The Fixation of Belief, kemudian dari kedua artikel tersebutlah yang menjadi latarbelakang terciptanya aliran pragmatisme. 

Dari kedua tulisan artikel tersebut telah dipublikasikan ke dalam Popular Science Monthly di tahun 1877 dan 1878 dan mendapatkan sambutan yang sangat hangat. [7] Pemikiran ide yang dibangun oleh C. Peirce dalam artikel tersebut, justru sekarang menjadi rujukan yang sangat penting akan tetapi mereka sedikit menerima perhatian suatu ketika dari publikasinya tersebut.

Wona berpendapat bahwa pragmatis ialah lawan dari idealis yakni sebuah konsep yang mengutamakan cara yang bersifat jangka pendek dengan melakukan suatu hal yang memiliki sifat praktis dan meninggalkan sisi ketidakbergunaan. Hadijiwono pun selaras dengan pendapat dari Wona terkait pragmatis yakni suatu konsep kebenaran yang secara logika dari pengamatan dengan melihat akibat yang terjadi secara praktis. 

Adapun ciri-ciri dari pragmatisme itu sendiri seperti yang terjadi pada diskusi yang dilakukan oleh Jhon Dewey, sebagai berikut;

Dissatisfaction with traditional philosophy. Pragmatisme akan menawarkan sebuah alternatif bagaimana cara berfilsafat dalam aliran filsafat tradisional. Dalam pragmatisme memandang bawah kosa-kata tradisional serta problematika filsafat ialah suatu absolut atau justru sebaliknya. 

Hal ini selaras dengan apa yang dituliskan oleh C. Price dalam suratnya yang ditujukan untuk James di tahun 1904, bahwa pragmatisme menyelesaikan masalah yang tidak ril.

Emphasis upon Action. Usaha yang dilakukan oleh pragmatisme dalam rangka mengembangkan ragam filsafat baru yang dimulai dari sebuah perhatian untuk berbuat.

Anti-Intellectualism. Pragmatisme lebih menekankan kepada tindakan yang lebih umum, para penganut pragmatisme curiga terhadap teori dan ide filsafat yang diprediksi akan menjadi suatu perhatian intelektual yang eksklusif.

Desire to make philosophy more scientific. Para filosof tradisional berpikir bahwa sebagian dari pekerjaan mereka adalah untuk memberikan fondasi-fondasi teori ilmu alam. Dalam pandangannya, ilmu/sains adalah untuk mengkonfirmasi keperluan-keperluan yang telah diset oleh para filosof. 

Sebaliknya, para pemikir pragmatisme, menolak proyek ini. Sebagai gantinya, para pemikir pragmatisme berusaha untuk membuat filsafat lebih banyak mengkaji persoalan-persoalan praktis ilmu pengetahuan/ sains dengan menekankan bahwa ide-ide filsafat dapat dievaluasi sesuai dengan metodemetode yang dipakai dalam penyelidikan ilmiah. [8]

Dengan dari pengertian dan juga ciri-ciri terkait pragmatis di atas penulis dapat menarik kesimpulan bahwasannya pragmatisme ini menekankan hal yang bersifat praktis tanpa memandang pada proses dan juga pragmatis menilai suatu hal atau sebuah tindakan akan dibenarkan jikalau dapat memberikan hasil serta akan dianggap tidak  benar jika tidak ada hasil. 

Pragmatisme bias dikatakan sebagai filsafat hasil, pandangan filsafat yang orientasinya hasil kongrit bukan lagi persoalan analisis-analisis, gagasan-gagasan, teori-teori yang kemudian hanya jadi bahan perdebatan belaka. Contohnya saja ketika kuliah hanya ingin mendapatkan nilai yang bagus dan mendapatkan ijazah saja, proses seperti apapun yang penting hasilnya yaitu mendapatkan ijazah, menghalalkan segala cara agar tujuan tersebut tercapai. 

Hal ini tentunya sudah bertentangan dengan apa yang dibawa oleh konsep dari tauhid yang meninggikan dari segala proses usaha (ikhtiar) baik itu ada hasilnya ada atau tidak ada karena sejatinya dalam agama islam sendiri mengajarkan usaha untuk mendapatkan sesuatu dan tidak menghalalkan segala cara karena akan berbentrokan dengan hukum Allah. Dan Allah pun menjanjikan adanya hasil dari setiap perbuatan yang kita lakukan serta hasilnya juga telah Allah tetapkan asal hambanya selalu menuruti apa yang telah disampaikan oleh-Nya..

Tauhid Sebagai Jalan Tengah dari Pragmatisme

Tauhid merupakan landasan utama agama Islam dalam menjalani kehidupan dunia yang fana ini. Dalam kehidupan problematika-problematika tentunya mau tidak mau, siap tidak siap pasti akan terjadi. 

Dengan problematika yang terjadi pada manusia, tentunya dalam alam bawah sadar manusia akan adanya rasa ambisi untuk mengatasi itu semua dengan praktis, maka dengan adanya rasa ambisi tersebut seringkali manusia tergiur akan kondisi materil. 

Sejatinya manusia akan senang apabila dihadapkan pada situasi dan kondisi kekayaan yang melimpah, jikalau sudah diterima hasil dari usaha yang praktis maka manusia itu sendiri akan selalu merasa kurang. Pada situasi inilah sifat tamak dari manusia akan keluar dengan sendirinya. 

Contohnya saja dalam politik, politik merupakan jalan yang sangat mudah untuk mendapatkan kekayaan materil semata. Dengan politik manusia akan digiurkan dengan pelbagai macam-macam hal, seperti kekuasaan, ekonomi yang melimpah dan yang lain sebagainya.

Bidang politik sebagai salah satu elemen dalam kehidupan yang sangat jelas tidak dapat dipisahkan dari kehidupan dunia. Hampir setiap langkah warga negara dalam semua level pastinya selalu bersentuhan dengan bidang politik. 

Akan tetapi kondisi bidang politik hari ini telah melenceng dari sebagaimana mestinya. Dalam agama Islam, concern umat terhadap politik telah muncul sedari awal lahirnya Islam. Pertikaian antara kaum muslimin dengan musyrikin akan mustahil ditangani jika tidak memakai strategi yang jitu. 

Akan tetapi, politik yang dimaksudkan oleh Islam dengan tauhid sebagai landasan jelas yang berperadaban, bermoral serta tidak menghalalkan segala cara dan mengacu kepada kaidah fiqh “Tasharruful imam ‘alar-ra’iyyah, manuthun bil-mashlahah”, bahwa kebijakan penyelenggara negara atas rakyat senantiasa haruslah mengedepankan kemaslahatan. [9] 

Namun, pada realitas yang terjadi pada hari ini para penyelenggara negara lebih banyaknya kemudharatan dan mengedepankan perutnya sendiri serta menghalalkan segala cara untuk tujuannya tersebut tercapai.

Hal di atas tentunya bisa dikaitkan dari persoalan ekonomi. Dengan para praktisi politik haus akan kekuasaan dan juga kekayaan, nantinya akan berdampak kepada ekonomi masyarakat dalam negara tersebut. Masyarakat akan diambang kemiskinan jikalau para pemangku kekuasaan selalu bersikap pragmatis. 

Maka dari itulah seluruh elemen harus memahami terkait ekonomi, tentunya dalam bidang ekonomi pun tauhid menawarkan solusi yang kongkrit. Ismail Al-Faruqi mengemukakan bahwa tauhid sebagai prinsip yang pertama tata ekonomi yang akan menciptakan negara yang sejahtera dan Islamlah yang melembagakan sosialis pertama dan  melakukan lebih banyak  keadilan sosial. Islam juga yang pertama merehabilitasi (martabat) manusia. Pengertian (konsep) yang ideal ini tidak ditemukan dalam masyarakat Barat masa kini. 

Nilai-nilai filosofis yang ada dalam ekonomi islam merupakan sebuah fondasi dari munculnya prinsip-prinsip ekonomi islam yang nantinya menjadi suatu acuan dalam seluruh aktivitas ekonomi dalam islam. berikut prinsip-prinsip ekonomi islam yaitu (Sanrego dan Ismail, 2015) :

Tauhid

Prinsip tauhid dikembangkan dari adanya keyakinan, bahwa seluruh sumber daya yang ada dibumi adalah ciptaan dan milik Allah SWT, sedangkan manusia hanya diberi amanah untuk memiliki, mengelola, dan memanfaatkan nya untuk sementara. 

Prinsip tauhid juga dikembangkan dari keyakinan, bahwa segala aktivitas manusia termasuk aktivitas ekonomi diawasi oleh Allah Swt, dan akan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah di akhirat kelak.

Akhlak

Prinsip akhlak merupakan bentuk dari pengamalan sifat-sifat utama yang dimiliki oleh nabi dan rasul-Nya, yang juga lilakukan dalam seluruh kegiatan ekonomi, yaitu shidiq (jujur), tabligh (menyampaikan kebenaran), amanah (dapat dipercaya), dan fathanah (intelek),yang dipopulerkan dengan istilah STAF.

Keseimbangan

Prinsip keseimbangan juga merupakan nilai dasar yang dapat mempengaruhi berbagai aspek tingkah laku ekonomi seorang muslim. Asas keseimbangan dalam ekonomi terwujud dalam kesederhanaan, hemat dan menjauhi pemborosan serta tidak bakhil.

Kebebasan Individu

Kebebasan ekonomi adalah tiang utama dalam struktur ekonomi Islam, karena kebebasan ekonomi bagi setiap individu akan menciptakan mekanisme pasar dalam perekonomian yang adil. Kebebasan dalam ekonomi merupakan implikasi dari prinsip tanggung jawab individu terhadap aktivitas kehidupannya termasuk aktivitas ekonomi.

Keadilan

Prinsip keadilan merupakan dasar, sekaligus tujuan semua tindakan manusia dalam kehidupan, termasuk juga dalam aktivitas ekonomi. [10]

Dari penjabaran di atas sudah jelas bahwa tauhid dapat menjadi pegangan dan juga solusi dalam pelbagai problematika kehidupan. Tauhid bisa menyelesaikan masalah kehidupan yang tidak bisa dipecahkan oleh pragmatisme, konsep yang dibawa dan diajarkan dari Allah melalui tauhid benar adanya serta sudah banyak bukti yang nyata. 

Dalam tauhid pun diajarkan bagaimana menjalani kehidupan agar tenang, kemudian terdapat moralitas yang sekaligus membahas persoalan akhlak bahkan Allah mengutus Rasul Muhammad ke dunia untuk menyelesaikan para akhlak insan, dan tauhid pun mecakup segala aspek kehidupan seperti yang penulis paparkan di atas itu menjadi dua diantara aspek kehidupan yang sebegitu rumitnya. 

Tauhid pun mengajarkan kita semua agar senantiasa mempunyai sikap syukur kepada Tuhan semesta alam, karena apabila kita selalu bersyukur akan ditatmbah nikmat dalam kehidupan, hal ini selaras apa yang telah disampaikan Allah dalam Surat Ibrahim:7. Maka demikianlah penulis mengajak khususnya ke diri penulis dan juga para pembaca agar menjadikan serta menerapkan dari Tauhid itu sendiri.

[1]  Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap, (Rineka Cipta: Jakarta, 1992), hal 1.

[2]  A. Hanafi, Pengantar Tauhid Islam (Jakarta : Pustaka al-Husna Baru, 2003), hal 1.

[3] Yusron Asmuni, Op.cit., hal 2.

[4]  Hakeem Abdul Hameed, Aspek-aspek Pokok Agama Islam, terj. Ruslan Shiddieq, (Jakarta : Dunia Pustaka Jaya, 1983), Cet. 1, hal 36.

[5] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 1996), hal. 624-625.

[6]  Pragmatisme dalam Filsafat Kontemporer: Analisa atas pemikiran Charles S. Peirce Oleh : Mustaqim

[7]  Dr. Saifullah Idris, M.Ag, Demokrasi dan Filsafat Pendidikan, (Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2014), hal. 37

[8]  Ibid, hal 39-40

[9]  Prof. Dr. KH. Said Aqiel Siradj, M.A, Islam Kebangsaan Fiqh Demokratik Kaum Santri (Ciganjur: Pustaka Ciganjur, 1999) hal 3

[10]  Jurnal Elida Elfi Barus, Tauhid Sebagai Fundamental Filsafah Ekonomi Islam. Diakses pada 29 Juni 2022

Editor: Adis Setiawan

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال