Tak Boleh Manusia Berujar Kebencian

(Sumber Gambar: Redaksi Kuliah Al-Islam)

KULIAHALISLAM.COM - Indonesia dewasa ini tengah memasuki era keterbukaan informasi dan komunikasi. Kemudahan mendapatkan informasi serta kebebasan berekspresi, semakin terasa sejak meluasnya penggunaan media sosial. Kebebasan berbicara di media sosial ini memunculkan permasalahan, yakni ujaran kebencian terhadap manusia, agama, budaya, institusi dan negara.

Pada zaman modern ini pertumbuhan internet semakin pesat terutama penggunaan media sosial sehingga opini publik semakin luas dan bebas ditunjukan di berbagai media sosial. Kebebasan berpendapat yang dimiliki setiap orang malah akan disalahgunakan untuk ujaran kebencian.

Kemajuan teknologi yang berkembang sangat pesat tidak hanya membawa dampak positif bagi kehidupan masyarakat namun juga membawa dampak negatif. Perkembangan teknologi dan informatika berdampak pada kebebasan berpendapat dan penyampaian informasi di Indonesia seringkali meresahkan individu maupun kelompok seperti Suku, Agama, Ras, Antar Golongan. Kemudahan kebebasan berekspresi dengan mengandalkan teknologi membawa perkembangan baru pada jenis kejahatan yaitu ujaran kebencian di media sosial baik dalam bentuk ketik maupun video. Jika hal ini tidak diatur lebih lanjut maka akan sangat mengkhawatirkan, masyarakat akan melewati batas dan akan menimbulkan ketidaknyamanan atau perasaan tersinggung pada seseorang atau kelompok tertentu. Hukum pidana tentunya telah memperhatikan akibat yang akan dihadapi oleh seseorang yang sengaja atau tidak sengaja melakukan tindak pidana ujaran kebencian tersebut.

Saat ini teknologi informasi telah membantu dalam berbagai bentuk kehidupan manusia. Mereka dapat berkomunikasi satu sama lain melalui berbagai media elektronik, termasuk menggunakan media sosial. Jumlah pengguna media sosial semakin meningkat dari tahun ke tahun di Indonesia. Namun perkembangan penggunaan media sosial juga menimbulkan berbagai permasalahan, termasuk ujaran kebencian yang pada akhirnya akan menimbulkan akibat hukum. Berbagai cara ditempuh untuk membatasi berkembangnya ujaran kebencian, antara lain dengan memblokir pengguna yang menulis ujaran kebencian di aplikasi media sosial. Pembatasan penggunaan media sosial untuk ujaran kebencian dapat lebih optimal dilakukan dengan mendeteksi kata-kata berbasis teks yang berpotensi menjadi ujaran kebencian.

Kemajuan dan perkembangan teknologi internet mengakibatkan penggunaan teknologi secara berlebihan di kalangan pemuda perkotaan. Menyikapi kondisi dan situasi saat ini, sangat penting untuk mencegah dan menyaring informasi dari pemerhati masyarakat melalui penyuluhan atau sosialisasi. Hal ini dikarenakan beberapa informasi dapat merugikan dan menimbulkan banyak kerugian bagi remaja, sehingga dapat mempengaruhi kesehatan mental mereka dan seberapa produktif mereka sebagai remaja.

Kehadiran teknologi informasi yang begitu canggih telah memberikan nuansa baru dengan menyentuh hampir seluruh aspek kehidupan. Teknologi telah memudahkan masyarakat dalam melakukan aktivitas sehari-hari dalam memenuhi kebutuhannya, serta memudahkan interaksi antar masyarakat dimanapun berada.

Kehadiran internet dengan berbagai media sosial yang ada saat ini dan digunakan oleh masyarakat membawa berbagai dampak, baik dampak positif maupun dampak negatif, salah satu dampak negatif diantaranya adalah beredarnya berbagai informasi yang tidak benar dan menyesatkan, termasuk ujaran kebencian (hate speech) di dunia maya. Setiap orang pada dasarnya mempunyai kebebasan untuk mengeluarkan pendapat, baik secara lisan maupun tulisan. Setiap orang, dalam menyampaikan pendapatnya tidak boleh mengungkapkan kebencian terhadap satu suku, ras, agama atau golongan tertentu.

Kemajuan Teknologi Informasi

Indonesia merupakan salah satu negara pengguna media sosial terbesar di dunia dan dikenal cerewet di media sosial. Sayangnya, masyarakat Indonesia memiliki tingkat literasi yang masih rendah sehingga menyebabkan mereka sering lepas kendali yang berbuah ujaran kebencian.

Pada awalnya, media sosial dipergunakan untuk bersosialisasi dan berinteraksi dengan orang lain. Salah satu media sosial yang banyak digunakan orang-orang untuk bersosialisasi adalah Facebook, dengan jumlah pengguna mencapai lebih dari ratusan juta orang yang tersebar di seluruh dunia. Akhir-akhir ini, pada media sosial Facebook, sering kali terdapat tulisan yang berisikan ujaran kebencian yang dibagikan secara meluas.

Media sosial merupakan sebuah media informasi online yang merupakan saran hubungan manusia yang tidak terbatas ruang dan waktu, dimana penggunanya dapat berbagi lewat media internet, bergabung, berpartisipasi, serta membuat konten berupa youtube, media sosial, blog dan lain sebagainya. Internet atau jejaring sosial serta media sosial dan teknologi informasi sudah mejadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan yang membuat munculnya hal baru dalam kehidupan seperti saat ini.

Kemajuan teknologi informasi telah memberikan kontribusi positif dan negatif terhadap perilaku masyarakat penggunanya. Ujaran kebencian merupakan salah satu dampak negatif dari kemajuan teknologi informasi. Dimana ujaran kebencian (hate ujaran) yang dimuat di media sosial mengandung penghinaan, intimidasi, provokasi, penghasutan terhadap individu, kelompok, dan badan publik/politik.

Pesatnya Perkembangan Teknologi Informasi mempengaruhi perilaku dan gaya hidup masyarakat. Semakin murahnya perangkat berbasis Teknologi Informasi dan akses internet berimbas kepada semakin banyaknya pengguna internet. Sebagian besar pengguna internet mengakses internet khususnya mengakses medsos, di sisi lain HOAX, ujaran kebencian, berkembang pesat melalui medsos. Efek HOAX, ujaran kebencian sangat besar di kehidupan sosial masyarakat. Media Sosial online menjadi sarana penyebaran HOAX, begitu banyak masyarakat yang terpengaruh HOAX, sehingga akhirnya dibentuklah Satgas Anti Hoax oleh pemerintah. Namun untuk menanggulangi HOAX pemerintah tidak cukup kuat untuk bekerja sendiri, masyarakat dan berbagai pihak harus ikut serta membantu melawan HOAX.

Dinamika Media Massa

Media massa menjadi bagian dari kehidupan manusia karena fungsinya yang sangat terkait dengan masyarakat, baik fungsi informasi, interpretasi, maupun hiburan. Hal ini memunculkan kebutuhan akan keterampilan khusus di kalangan masyarakat yang tidak hanya sebatas keterampilan mengkonsumsi isi media saja. Di sisi lain, kemunculan media sosial semakin mendesak keterampilan menggunakan media yang dikenal dengan istilah literasi media, atau lebih spesifik lagi literasi media digital. Lebih lanjut, di era internet seperti saat ini, permasalahan yang terkait dengan dengan maraknya ujaran kebencian masih perlu mendapat perhatian khusus dan penanganan yang menyeluruh.

Media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian masyarakat di era digital ini dengan segala dampak positif dalam kehidupan sosial manusia yang ditawarkannya. Namun demikian, hal ini juga tak lepas dari berbagai dampak negatif, salah satunya terkait dengan maraknya kemunculan ujaran kebencian di media sosial. Bahwa secara umum kebanyakan pengguna media sosial di Indonesia sudah menunjukkan kesadaran yang cukup tinggi akan berbagai jenis ujaran kebencian yang menyangkut agama dan pandangan politik. Meski demikian, terlepas dari banyaknya pengguna yang memberikan reaksi negatif (tidak suka, sedih, atau marah) ketika melihat ujaran kebencian di media sosial dan menyatakan itu sebagai sesuatu yang salah, namun sebagian besar masih tetap memilih untuk mendiamkannya saja, terutama jika mereka bukan merupakan bagian dari kelompok yang menjadi target ujaran kebencian tersebut.

Media sosial adalah media berbasis internet yang berupa ruang interaksi virtual oleh teknologi multimedia. Media sosial memiliki banyak dampak, salah satunya adalah dampak negatif berupa fenomena haters. Haters adalah perilaku orang yang tidak segan menyerang orang yang dibencinya dengan kata-kata kotor, melecehkan, hingga menghina. Fenomena ini menimbulkan keresahan berskala luas di Indonesia, bahkan sampai pemerintah mengeluarkan Undang-Undang dan surat edaran tentang ujaran kebencian melalui Pasal 27 ayat (3) UU ITE, Pasal 45 ayat (1) UU ITE dan Surat Edaran (SE) Kapolri nomor SE/6/X/2015. Dampak itu tidak hanya merambah kepada masyarakat luas, di sekolah para remaja juga terkena imbas dari proses penyebaran kebencian tersebut.

Media sosial, selain memiliki dampak baik bagi kehidupan sosial, jika dimanfaatkan untuk menghancurkan tatanan sosial yang sudah ada akan berdampak besar terhadap kehidupan manusia. Ujaran kebencian akhir-akhir ini berujung pada tindak intimidasi dan kekerasan, pernyataan pendapat yang dijamin Undang-Undang belum dilakukan dengan bertanggung jawab.

Diketahui bahwa di beberapa negara maju peraturan tentang ujaran kebencian telah disahkan dan berlaku. Hal ini dilakukan untuk menjaga dampak kejahatan dan kerusakan sosial yang akan ditimbulkan. Tokoh agama dan masyarakat harus ikut memberikan contoh dan memberikan pengaruh baik terhadap generasi muda (atau sebaliknya) akan kebutuhan sikap dewasa dalam bermedia sosial.

Media sosial merupakan bagian dari kebutuhan masyarakat Indonesia yang tidak dapat dipisahkan lagi seiring dengan kemajuan zaman. Semua perilaku masyarakat termasuk media sosial diatur oleh hukum. Banyak masyarakat yang menyalahgunakan media sosial untuk melakukan ujaran kebencian di dunia maya yang tanpa mereka sadari bahwa perbuatannya adalah pelanggaran hukum.

Banyak masyarakat Indonesia yang menggunakan media sosial dengan melakukan ujaran kebencian. Hal ini terjadi karena mereka belum paham terhadap undang-undang yang ada. Akan tetapi kesalahan maupun kealpaan tetap menjadi tanggung jawab individu sebagai subyek hukum. Saran yang dapat diajukan adalah pembenahan undang-undang ITE, sosialisasi kepada masyarakat oleh penegak hukum terkait edukasi dan penegakan hukum serta masyarakat sendiri seyogyanya lebih cerdas dalam menggunakan media sosial.

Ruang publik pada media sosial, yang seharusnya berfungsi sebagai tempat pertukaran gagasan dan ilmu pengetahuan dengan nilai-nilai secara demokratis dan independen, sebagian kini telah tergantikan oleh kekuatan ekonomi politik tertentu. Fungsi ruang publik tersebut kini telah bergeser sebagai arena penyebaran teks ujaran kebencian, yang menyebabkan audiens mengalami kesulitan dalam membedakan informasi yang akurat dengan teks yang berupa berita palsu, termasuk ujaran kebencian.

Etika Berpendapat Dalam Medsos

Kebebasan dalam berekspresi merupakan hak mutlak setiap masyarakat Indonesia yang di cantumkan dalam UUD 1945. Kebebasan berekspresi baik secara lisan maupun tulisan bukan berarti suatu kebebasan yang tanpa batasan, melainkan suatu kebebasan yang mampu di pertanggungjawabkan, serta mengikuti norma-norma yang berlaku. Kebebasan yang tidak mengikuti norma bisa jadi mengarah pada suatu Ujaran Kebencian (Hate Speech). Ujaran Kebencian (Hate Speech) merupakan suatu peristiwa yang saat ini sangat membutuhkan suatu perhatian dan penaggulangan yang tegas, Ketentuan Ujaran Kebencian (Hate Speech) belum diatur secara khusus di Indonesia, padahal begitu banyak efek yang ditimbulkan dari Ujaran Kebencian (Hate Speech), antara lain pengucilan, diskriminasi, kekerasan, sampai yang paling parah yakni pemusnahan terhadap kelompok tertentu/genosida. Dengan perkembangan teknologi Ujaran Kebencian (Hate Speech) pun telah merambah ke media elektronik,untuk itu pemerintah berusaha merevisi undang-undang informasi dan transaksi elektronik sebagai perisai dalam menanggulangi kejahatan di media elektronik termasuk tindak pidana Ujaran Kebencian (Hate Speech).

Kebebasan untuk mengungkapkan pendapat tertulis dan lisan telah menjadi hak setiap Warga Negara Indonesia yang telah diatur dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pada era ini orang bisa dengan mudah mengakses media sosial dan mengekspresikan pendapatnya. Setiap pendapat harus dapat dipertanggungjawabkan dan tidak boleh bertentangan dengan norma-norma yang ada. Kebebasan berpendapat yang tidak terbatas bisa mengakibatkan terjadinya tindak pidana ujaran kebencian (Hate Speech). Tindak pidana ujaran kebencian di Indonesia belum diatur secara khusus dalam suatu peraturan perundang-undangan. Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana ujaran kebencian di media sosial secara umum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Aspek hukum/cyber law terhadap kasus ujaran kebencian/hate ujaran di Indonesia telah dituangkan dalam KUHP dan UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE.

Dengan adanya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang baru mengakibatkan pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana ujaran kebencian menjadi lebih memiliki kepastian hukum dan meminimalisir terjadinya multi tafsir serta sudah mengakomodir alat bukti baru untuk pembuktian tindak pidana ujaran kebencian (Hate Speech).

Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) adalah ketentuan yang berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.

Sosial media hanya memiliki satu fungsi yaitu untuk menjalin komunikasi secara online. Orang Indonesia adalah salah satu pengguna terbesar yang ada di dunia. Di beberapa media sosial Indonesia menduduki peringkat atas dalam daftar pengguna media sosial paling aktif yang ada di dunia. sementara itu di dunia Komputer dan internet banyak yang namanya tingkatan kejahatan, karena hal itu pemerintah memberikan larangan bagi para pengguna internet khususnya media sosial yang diatur dalam uu no 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik di pasal 27 sampai dengan 37. Di Indonesia, istilah ujaran kebencian belum terlalu dipahami. Banyak pihak yang kerap kesulitan membedakan apakah suatu ucapan atau ekspresi termasuk ke dalam kategori ujaran kebencian. Lantas, apa itu sebenarnya ujaran kebencian? Secara umum, ujaran kebencian dapat diartikan sebagai ucapan yang bertujuan untuk menyinggung, menghina, mengintimidasi, atau mengancam seseorang atau suatu kelompok tertentu berdasarkan agama, etnis, ras, gender, kedisabilitan, atau orientasi seksual. Kepolisian Republik Indonesia telah mengingatkan kepada masyarakat untuk tidak menyebarkan ujaran kebencian dan informasi yang menimbulkan kebencian di media sosial. Selain itu Kepolisian Republik Indonesia telah mengeluarkan Surat Edaran Kapolri Nomor SE/06/X/2015 soal Penanganan Ujaran Kebencian (hate speech). Dalam surat edaran tersebut, penebar kebencian bisa diancam pidana jika tidak mengindahkan teguran dari kepolisian. Penegakan hukum sesuai dengan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, UU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, dan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2013 tentang Teknis Penanganan Konflik Sosial.

UU ITE Mengatur Ujaran Kebencian

Ujaran kebencian menjadi isu yang sangat berpengaruh karena berpotensi mengancam persatuan bangsa. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah bentuk perwujudan dari tanggung jawab yang harus diemban oleh Negara, untuk memberikan perlindungan maksimal pada seluruh aktivitas pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi agar terlindungi dengan baik dari potensi kejahatan dan penyalahgunaan teknologi. Demikian pesatnya perkembangan dan kemajuan teknologi informasi, yang merupakan salah satu penyebab perubahan kegiatan kehidupan manusia dalam berbagai bidang yang secara langsung telah mempengaruhi lahirnya bentuk-bentuk perbuatan hukum baru.

Permasalahan hukum yang sering kali dihadapi adalah ketika terkait dengan penyampaian informasi, komunikasi dan/atau data secara elektronik, khususnya dalam hal pembuktian dan hal yang terkait dengan perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui sistem elektronik. Namun, perkembangan teknologi tidak hanya berupa memberikan dampak positif saja, namun juga memberikan dampak negatif, tindak pidana penghinaan atau ujaran kebencian (hate speech) dan/atau penghinaan, serta penyebaran informasi di media sosial yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan antar individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang lain dalam hal berbagai aspek seperti ras, warna kulit, gender, cacat, orientasi seksual, kewarganegaraan, agama dan lain-lain merupakan Arti dari pada Ujaran Kebencian (Hate Speech) sendiri.

Setelah diberlakukannya undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) di Indonesia, terdapat batasan-batasan tertentu dalam hal menyampaikan sesuatu melalui media social, terutama mengenai ujaran kebencian.

Hasil penelitian ini menunjukan pengimplementasian undang-undang ITE sudah disesuaikan dengan tujuan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, akan tetapi, di dalam penyelesaian masalah ujaran kebencian selalu terikat dengan pasal karet yaitu pada pasal 27, 28 dan 29 Undang-Undang ITE. Pasal ini seolah menjadi momok yang mengerikan, bahkan dijadikan sarana untuk membalas dendam, membungkam kritik, memenangkan suatu perkara atau bahkan menjadi senjata politik. Saran dari kajian ini adalah agar pemerintah untuk mengkaji ulang isi dari beberapa pasal dan juga sanksi-sanksi terhadap pelaku ujaran kebencian.

Kebijakan hukum pidana penyebaran ujaran kebencian dalam KUHP; UU Nomor 1 Tahun 1946; UU Nomor 1/PNPS Tahun 1965; UU Nomor 40 Tahun 1999; UU Nomor 32 Tahun 2002; UU Nomor 40 Tahun 2008; UU Nomor 19 Tahun 2016 masih banyak terdapat kelemahan yuridis dan dari kebijakannya belum sistemik, dan belum mampu maksimal dalam menanggulangi kejahatan penyebaran ujaran kebencian melalui sarana sistem hukum pidana. Pada konsep KUHP yang sedang digagas telah mengakomodir seluruh kekurangan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan saat ini sebagai pengaturan dan penanggulangan ujaran kebencian.

UU ITE serta SE/06/X/2015 telah diimplementasikan oleh berbagai stakeholder sebagai upanya pencegahan dan penindakan terhadap pelaku ujaran kebencian kendati demikian belum secara maksimal dikarenakan lemahnya literasi media masyarakat Indonesia itu sendiri, masifnya penggunaan media sosial tidak diimbangi dengan literasi media.

Tindak Pidana Ujaran Kebencian di atur dalam Pasal 28 ayat (2) jo. Pasal 45A ayat (2) UU RI No. 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU RI No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Merupakan tindak pidana ujaran kebencian berdasarkan SARA. Hal ini menyangkut tentang bagaimana ketentuan yuridis terhadap Tindak Pidana Ujaran Kebencian berdasarkan SARA dan bagaimana penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana Ujaran Kebencian berdasarkan SARA. Pasal 28 ayat (2) hanya diperuntukkan bagi pelaku tindak pidana menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian berdasarkan suku, agama, ras dan antargolongan.

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pertanggungjawaban pidana pelaku ujaran kebencian (hate speech) melalui media elektronik ialah tidak terlepas dari tiga unsur utama, yakni unsur adanya kemampuan bertanggung jawab, unsur adanya kesalahan yang berupa kesengajaan atau kealpaan, dan unsur tidak adanya alasan penghapus kesalahan (alasan pemaaf).

Hasil studi menunjukkan bahwa bentuk ujaran kebencian di facebook diungkapkan dalam bentuk foto, gambar, ilustrasi, meme, dan kata-kata yang memiliki konotasi provokasi, penghinaan, dan hasutan. Ujaran kebencian bersumber dari akun pribadi dan kelompok, ditujukan kepada individu, pejabat publik seperti presiden, ketua partai, dan pemerintah.

Penelitian ini juga menemukan bahwa pelaku ujaran kebencian harus ditindak berdasarkan hukum yang berlaku, dan pelaku ujaran kebencian terhadap agama tertentu harus mengubah perilaku untuk mencegah terjadinya kekerasan. Untuk mengubah perilaku tersebut, dibutuhkan peraturan yang mengatur sikap ujaran kebencian. Dampak dari penyebaran ujaran kebencian ini adalah, menghambat warga negara dalam berdemokrasi; terciptanya polarisasi sosial berdasarkan kelompok identitas; terciptanya wacana permusuhan, menyemai benih intoleransi menjadi alat mobilisasi atau rekrutmen oleh kelompok-kelompok garis keras; dan ujaran kebencian dapat menimbulkan terjadinya diskriminasi dan kekerasan di kalangan masyarakat baik secara langsung dan tidak langsung. Dapat disimpulkan bahwa ujaran kebencian merupakan perilaku yang harus dihindari oleh semua penganut agama agar tercipta kehidupan masyarakat yang damai.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan hukum terhadap pelaku ujaran kebencian di media sosial diatur dalam ketentuan Pasal 28 ayat (1) dan (2) jo. Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Selain ketentuan yang terdapat dalam UU ITE. Penegakan hukum terhadap pelaku ujaran kebencian dilakukan oleh Kepolisian dengan berpedoman pada Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/06/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian. Pada nomor 3 terdapat upaya preventif yang dapat dilakukan kepolisian dalam menindak ujaran kebencian. Namun apabila upaya preventif tidak berhasil, maka Polri dapat melakukan upaya represif yaitu dengan melakukan penegakan hukum melawan penegakan hukum terhadap pasal-pasal yang mengatur ketentuan terkait ujaran kebencian, salah satunya terdapat pada Pasal 28 jo. Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Hasil dan pembahasan yang diperoleh, jika melihat KUHP dan peraturan perundang-undangan lainnya, telah dijelaskan beberapa pasal yang dapat dikenakan kepada seseorang yang melakukan ujaran kebencian. Pasal yang mengatur perbuatan mengenai ujaran kebencian terhadap seseorang, kelompok atau lembaga berdasarkan Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/06/X/2015 terdapat pada Pasal 156, Pasal 157, Pasal 310, Pasal 311, lalu Pasal 28 Pasal 45 ayat (2) UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang informasi dan transaksi elektronik dan Pasal 16 UU No. 40 Tahun 2016 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. diatur dalam KUHP.

Makna Ujaran Kebencian

Ujaran kebencian memiliki efek tidak langsung pada cara orang berkomunikasi satu sama lain, mengubah kontak dari dunia fisik ke dunia maya. Pengetahuan adalah hal terpenting di era teknologi modern agar semua orang tahu apa yang terjadi di berbagai belahan dunia.

Banyaknya ujaran kebencian yang ada di media sosial sudah membuat jengah. Ujaran kebencian tersebut makin marak dijumpai namun masih belum ada upaya preventif dari media sosial untuk menangkalnya. Deteksi ujaran kebencian yang sudah dibuat juga belum tersedia dalam Bahasa Indonesia.

Ujaran kebencian banyak dilakukan seseorang baik individu ataupun kelompok tertentu dan pengguna gadget melalui media sosial yang banyak menimbulkan polemik dan permasalahan di kalangan masyarakat. Di satu sisi, tindakan tersebut merupakan suatu bentuk ekspresi yang berupa curahan hati seseorang. Namun di sisi lain perbuatan tersebut dapat memicu terjadinya kejahatan, kerusuhan, kekerasan dan bahkan perlawanan terhadap individu ataupun kelompok. Sehingga, kejahatan tersebut dapat berimplikasi pada harkat dan manusia.

Ujaran kebencian (hate speech) ialah suatu tindakan yang bertujuan untuk menghasut dan menyulut kebencian terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat dalam berbagai komunitas yang dibedakan dari aspek: suku, agama, aliran keagamaan, ras, antar golongan, warna kulit, etnis, gender, kaum difabel (cacat), dan orientasi seksual.

Ujaran kebencian berbeda dengan penghinaan, permusuhan golongan, permusuhan terhadap agama, bullying maupun persekusi. Ujaran kebencian justru mencakup semua perbuatan tersebut yang dilakukan dengan tujuan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dan/atau golongan tertentu. Pembahasan tentang ujaran kebencian sebagai perbuatan pidana saat ini masih terbatas pada regulasi namun belum menyentuk pada bangunan teori hukum yang melandasi larangan ujaran kebencian.

Ujaran kebencian dalam kehidupan manusia saat ini yang berupa ungkapan, hasutan, dan provokasi kebencian kepada seseorang atau suatu kelompok lain, dalam hal berbagai aspek berupa, agama, cacat, orientasi seksual, gender, ras, warna kulit, kewarganegaraan, dan lain-lain. Jika hate speech tidak di tangani dengan efektif, efesien dan ditangani sesuai hukum yang berlaku, bisa menimbulkan suatu dampak konflik sosial yang bisa memicu tindak diskriminasi, kekerasan dan atau penghilangan nyawa. Dengan timbulnya dampak yang sangat membahayakan bagi korban hate speech, maka penulis mendapatkan dua rumusan masalah dalam menangani hate speech yaitu, perlindungan hukum bagi korban hate speech dan sanksi pidana bagi pelaku hate speech.

Hasil dari penelitian berupa perlindungan hukum bagi korban hate speech supaya tercapainya rasa aman dan dapat melindungi bagi mereka yang menjadi korban hate speech. Hate speech dapat dikatakan sebagai tindak pidana karena telah melakukan suatu Tindakan melawan hukum yang dilakukan dengan sengaja ataupun dengan tidak sengaja harus dipertanggungjawabkan atas tindakannya berdasarkan undang-undang yang berlaku dan dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum kurungan atau denda.

Kejahatan Ujaran Kebencian (Hate Speech) adalah Tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang lain dalam hal berbagai aspek seperti ras, warna kulit, gender, cacat, orientasi seksual, kewarganegaraan, agama, dan lain-lain. Kejahatan Ujaran Kebencian (Hate Speech) ini dapat dilakukan melalui berbagai media, antara lain dalam orasi kegiatan kampanye, jejaring media sosial, penyampaian di muka umum (demonstrasi), ceramah keagamaan maupun media elektronik lainnya.

Bahaya Ujaran Kebencian

Hasil penelitian ini menunjukkan bentuk ujaran kebencian yang ditemukan antara lain bentuk penghinaan, menghasut, provokasi politik, pencemaran nama baik, penistaan agama, dan menyebarkan berita bohong (hoax) yang tergolong menjadi empat topik yaitu tentang masalah politik, sosial, ekonomi dan agama. 

Hasil penelitian ini ditemukan ujaran kebencian bentuk memprovokasi, ujaran kebencian bentuk menghasut, ujaran kebencian bentuk menghina, ujaran kebencian bentuk menistakan, ujaran kebencian bentuk pencemaran nama baik, dan ujaran kebencian bentuk penyebaran berita bohong.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang menjadi penyebab pelaku melakukan Ujaran Kebencian (Hate Speech) dalam media sosial, yaitu faktor yang berasal dari dalam diri individu diantaranya keadaan psikologis dan kejiwaan individu dan faktor yang berasal dari luar diri individu diantaranya faktor lingkungan, faktor kurangnya kontrol sosial, faktor kepentingan masyarakat, faktor ketidaktahuan masyarakat, serta faktor sarana, fasilitas dan kemajuan teknologi. Akan tetapi faktor yang lebih sering menjadi penyebab kejahatan adalah faktor internal yaitu keadaan psikologis individu dan faktor sarana, fasilitas dan kemajuan teknologi. Upaya penanggulangan kejahatan Ujaran Kebencian (Hate Speech) dalam media sosial dapat dilakukan dengan cara, yakni upaya penal dan non-penal.

Perlunya kerjasama lebih antara aparat penegak hukum, organisasi masyarakat dan masyarakat untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan ke setiap daerah yang masyarakatnya masih belum paham dan mengetahui apa itu Ujaran Kebencian (Hate Speech) dan Undang-Undang yang mengatur mengenai Ujaran Kebencian (Hate Speech) serta dampak yang ditimbulkan dari pelaku yang melakukan Ujaran Kebencian (Hate Speech) dalam media sosial,Kepolisian harus lebih siap menghadapi perkembangan teknologi informasi yang semakin canggih, serta harus bisa memaksimalkan jaringan kerjasama kepada seluruh instansi pemerintah, terutama di bidang komunikasi yaitu Dinas Komunikasi dan Informasi yang berwenang untuk memblokir dan mengawasi internet yang mengandung ujaran kebencian (hate speech) sehingga menimbulkan permasalahan yang mengakibatkan konflik di masyarakat.

Masyarakat diharapkan agar lebih berhati-hati dan lebih bijak dalam menggunakan media internet khususnya media sosial sehingga tidak sembarang untuk menyebarluaskan informasi yang mengandung kebencian maupun informasi lain yang belum jelas kebenarannya.

Bencana Ujaran Kebencian

Penyebaran ujaran kebencian di media sosial bertujuan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan antara individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antargolongan (SARA).

Ujaran-ujaran kebencian yang terjadi di media sosial, merupakan aktivitas yang terjadi akibat adanya suatu kebebasan berpendapat. Saat ini media sosial menjadi salah satu platform manusia dalam berinteraksi.

Ujaran kebencian di media sosial telah menjadi tema pembahasan dalam berbagai bentuk wacana di masyarakat. Ujaran kebencian bukanlah sebuah hal yang baru, melainkan sudah ada dalam media tradisional sebelum terjadinya perkembangan teknologi yang sangat pesat seperti sekarang.

Ujaran kebencian di dunia maya merupakan perilaku yang dimotivasi untuk mengekspresikan prasangka. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa perilaku religius merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong ekspresi prasangka. Namun, penelitian sebelumnya saling bertolak belakang dalam mengungkap peran religiusitas dan prasangka, serta ditemukan bahwa kepribadian otoritarianisme seringkali memediasi hubungan tersebut.

Ujaran kebencian sering terjadi di media sosial dikarenakan karakteristiknya yang bersifat publik dan transparan. Jika dibiarkan akan banyak timbul berbagai dampak negatif seperti diskriminasi, konflik sosial, dan bahkan genosida. Untuk menghindari hal tersebut pencegahan dengan mendeteksi ujaran kebencian harus dilakukan.

Ujaran kebencian merupakan suatu perbuatan yang dapat merupakan tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) berupa penghinaan, pencemaran nama baik, penodaan agama, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, dan menyebarkan berita bohong.

Ujaran kebencian atau hate speech adalah salah satu topik yang sering dibahas di bidang teknologi informasi. Ujaran kebencian banyak digunakan oleh orang-orang yang tidak suka atau benci terhadap seseorang maupun suatu kelompok. Orang menyatakan sebuah ujaran kebencian biasanya dilakukan dengan cara menulisnya di sosial media.

Ujaran kebencian adalah bahasa yang mengekspresikan suatu kebencian terhadap suatu kelompok atau individu yang bermaksud untuk menghina atau mempermalukan dan medianya bisa terdapat dimana saja, sebut saja dalam aplikasi media Facebook, Instagram, Twitter dan sebagainya.

Ujaran kebencian (hatespeech) dan bahasa kasar (abusive language) adalah tindak yang tidak baik yang sering ditemukan didalam media sosial. Perkembangan teknologi yang sangat pesat dengan bantuan internet saat ini telah banyak ditemukan hal ini didalam media sosial seperti di platform twitter, yang dapat mengakibatkan perselisihan di antara penggunanya. Namun, hal ini sulit untuk menentukan apakah tweet tersebut berisi ujaran kebencian ataupun bahasa kasar. Bahasa kasar merupakan ekspresi yang berisi kata-kata kasar atau frase kasar atau kotor baik dalam konteks lelucon, pelecehan seks vulgar atau mengutuk seseorang. Namun bahasa kasar sering mengarah ke ujaran kebencian yang penyebarannya dilarang di ruang publik seperti jejaring sosial.

Ujaran kebencian adalah perkataan, perilaku, tindakan yang dilarang karena menimbulkan terjadinya tindak yang memicu kekerasan dan sikap anarkis terhadap individu atau kelompok yang lain. Etika dalam ber-internet perlu ditegaskan mengingat internet merupakan hal yang dianggap kebutuhan penting bagi masyarakat jaman sekarang. Tetapi, semakin banyak pihak yang menyalah gunakan internet untuk menyebarluaskan hal-hal yang berkaitan dengan ujaran kebencian, seperti suku bangsa, agama dan ras. karena penyebaran berita yang bersifat ujaran kebencian di internet, menjadi hal yang patut diperhatikan. Pengembangan sistem untuk mendeteksi ujaran kebencian melalui gambar memang cukup jarang untuk untuk saat ini.


Wabah Hoax dan Ujaran Kebencian

Mewabahnya berita bohong (hoax) dan ujaran kebencian (hate speech) di social media akhir-akhir ini begitu memprihatinkan. Melalui sebuah media, berbagai pendapat dengan mudah untuk diutarakan. Namun yang disayangkan adalah kebebasan tersebut tidak diiringi dengan ilmu dalam penggunaannya, sehingga dampak negatif seperti hoax atau berita bohong dan ujaran kebencian dengan mudahnya tersebar kemana-mana.

Menjamurnya ujaran kebencian (hate ujaran) semakin mendapat perhatian dari masyarakat dan aparat penegak hukum. Perkataan yang mendorong kebencian dapat berujung pada hasutan, diskriminasi, kekerasan, dan bahkan perpecahan bangsa. Dan sasarannya adalah masyarakat budaya, suku, ras, dan agama.

Ekspresi ujaran kebencian merupakan suatu fenomena yang berkembang di dunia masyarakat era modern ini, banyak dari pengguna media sosial memanfaatkannya untuk mengekspresikan perasaan mereka maupun kehidupannya. Namun dari fenomena ini semua berdampak kepada lingkungan masyarakat yang terkesan sangat bebas mengekspresikan ujaran kebencian dan berujung kepada tindakan kejahatan, entah darimana asal-usul penyebab terjadinya, bisa jadi karena pengaruh provokasi atau hal-hal lainnya yang persuasif.

Pesan ujaran kebencian di media sosial dan layanan pesan instan yang semakin marak berpotensi mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Pesan-pesan ujaran kebencian tidak hanya bertujuan untuk menghasut dan mempengaruhi seseorang tetapi juga memecah belah masyarakat Indonesia. Generasi muda sebagai pengguna aktif media sosial dan pesan instan dinilai rentan terhadap terpaan pesan-pesan ujaran kebencian.

Perkataan yang mendorong kebencian merupakan tindakan ilegal karena memicu kekerasan dan sikap anarkis terhadap orang atau kelompok lain. Ujaran kebencian mencakup perkataan, perilaku, dan tindakan. Pentingnya etika media sosial ditekankan karena internet dipandang sebagai komponen penting dalam masyarakat modern. Namun, semakin banyak pihak yang menyalahgunakan internet untuk menyebarkan informasi kebencian ras, agama, dan etnis. Menjadi hal yang perlu diwaspadai karena menjamurnya ujaran kebencian di internet.

Ujaran kebencian dapat berupa ucapan atau tulisan yang sengaja dilontarkan oleh seseorang dengan tujuan menyebarkan dan menimbulkan kebencian antar kelompok masyarakat. Fenomena ujaran kebencian sedang menjadi topik hangat. Hal ini dipicu oleh banyaknya netizen yang kerap melontarkan ujaran kebencian melalui komentar atau status pribadi di media sosial. Dampak dari fenomena tersebut adalah munculnya kebencian di masyarakat yang dapat berujung pada konflik. Ujaran merupakan sebuah tindakan. Ketidakbijakan dalam mengeluarkan ujaran dapat menjerumuskan seseorang pada kasus hukum ujaran kebencian.

Larangan Ujaran Kebencian Dalam Al-Qur'an

Setiap orang berhak mengemukakan pendapat melalui berbagai media, termasuk media sosial. namun sebagian orang memanfaatkan media sosial untuk mengungkapkan hal yang negatif, diantaranya berupa ujaran kebencian. munculnya tindakan ujaran kebencian bisa menimbulkan kebencian dan menyerang kehormatan individu ataupun golongan lain. Diperlukan pengkajian mendalam terkait dengan ujaran kebencian menurut hukum islam maupun hukum positif.

Kemajuan teknologi memudahkan segala macam bentuk komunikasi dan sosialisasi, namun tidak sedikit yang menggunakan teknologi salah satunya media sosial dengan komunikasi yang tidak Qurani salah satunya ujaran kebencian (Hate Speech). Terdapat pakar komunikasi yang melakukan ujaran kebencian di media sosial (Facebook, Instagram,Whatsap, Twitter, dan sebagainya). Dalam Alquran Allah melarang ujaran kebencian dikarenakan dampak buruk yang diakibatkan oleh ujaran kebencian tersebut, begitu pula dalam kajian komunikasi politik ujaran kebencian menjadi hal yang ditentang dalam berkomunikasi.

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis dapat disimpulkan bahwa bentuk-bentuk ujaran kebencian diantaranya adalah mencela, pencemaran nama baik dan provokasi. Dari ketiga ujaran kebencian tersebut tidak sesuai dengan komunikasi qurani dan telah dilarang oleh Allah dalam Alquran, seperti mencela dalam QS. Al-Ḥujurāt ayat 11, QS. Al-Humazah ayat 1, pencemaran nama baik dalam QS. An-Nūr ayat 11, 19 dan 20, provokasi dalam QS. Al-Ḥujurāt ayat 6, QS. Al-Qalam ayat 11. Dalam analisis komunikasi politik dari ujaran kebencian yang dimaksud seperti mencela, pencemaran nama baik dan provokasi hal tersebut menjadi salah satu cara bagi para pegiat politik untuk melangsungkan aksinya dan mencapai tujuannya. Dari penafsiran ayat-ayat yang berkaitan dengan mencela, pencemaran nama baik dan provokasi di media sosial, baik itu merupakan intrik politik atau hanya sekedar untuk menarik simpati masyarakat hal tersebut merupakan bentuk perbuatan yang telah dilarang oleh Allah swt dan yang melakukannya akan mendapatkan balasan yang setimpal, baik di dunia ataupun di akhirat.

Dengan demikian, bahwa ujaran kebencian adalah perbuatan dalam bentuk lisan dan tulisan yang menghasut kepada kebencian. Hukum Islam melarang manusia untuk saling membenci, saling menghina dan saling memusuhi. Islam mengajarkan untuk saling memberikan kebaikan dalam sesama. Dalam undang-undang informasi dan transaksi elektronik bahwa perbuatan ujaran kebencian merupakan tindakan pidana. Telah diatur hukumannya dalam pasal-pasal tentang penghinaan, menghasut, mencemarkan nama baik, dan fitnah.

Kesimpulan

Perkembangan teknologi informasi saat ini seperti pedang bermata dua, karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan, dan peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana efektif melakukan perbuatan melawan hukum. Permasalahan hukum yang sering kali dihadapi adalah ketika terkait dengan penyampaian informasi, komunikasi, dan/atau data secara elektronik. Kebebasan berpendapat seolah dibatasi oleh UU ITE tahun2008 ini, sehingga perlu adanya penjelasan atau kajian mengenai perbuatan ujaran kebencian yang dimaksud dalam UU ini dalam Pasal 28 ayat (2) Jo 45 ayat (2).

Perkembangan media sosial yang sudah canggih dapat memposting konten berupa tulisan, video, suara maupun gambar secara bebas yang dapat disebarluaskan dimanapun dan kapanpun dengan bantuan jaringan internet. Tidak jarang pengguna media sosial menyalahgunakan media sosial sebagai sarana untuk meluapkan emosi mereka, menyebar berita palsu, menjatuhkan orang lain, bahkan menyebar kebencian kepada orang lain atau suatu kelompok. Tidak sedikit masyarakat yang merasa dirugikan akibat dari ujaran kebencian ini.

Faktor yang menjadi penyebab pelaku melakukan ujaran kebencian (hate speech) yaitu, faktor dari dalam diri individu (internal) diantaranya yaitu keadaan psikologis dan kejiwaan individu dan faktor dari luar diri individu yaitu faktor lingkungan, faktor kurangnya kontrol sosial, faktor kepentingan masyarakat, faktor ketidaktahuan masyarakat, serta faktor sarana, fasilitas dan kemajuan teknologi dan psikologis atau kejiwaan pelaku yaitu daya emosional yang tinggi, selain itu faktor sarana, fasilitas dan kemajuan teknologi juga sangat berpengaruh karena tersedianya sarana dan fasilitas yang mudah didapat dan kemajuan teknologi yang semakin canggih sehingga memudahkan setiap pengguna media sosial mengakses seluruh informasi tanpa batas. Upaya penanggulangan terjadinya kejahtan ujaran kebencian (hate speech) dalam media sosial yaitu terdiri dari upaya penal dan non penal.

Dimana upaya penal terdiri dari pemberian sanksi kepada pelaku dengan memberikan hukuman penjara sesuai dengan apa yang telah ditetapkan dalam UU ITE untuk memberikan efek jera. Sedangkan upaya non penal yaitu dengan memberikan penyuluhan ataupun sosialisasi kepada masyarakat luas mengenai informasi dampak media elektronik jika tidak digunakan dengan bijak, etika menggunakan media sosial dengan memberikan pengetahuan hukum mengenai UU ITE.

Ujaran kebencian semakin meningkat bersamaan dengan banyaknya pengguna media sosial. Jenis ujaran yang ditemukan di dalam penelitian ini adalah penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, hoaks, dan menghasut/memprovokasi. Ditemukan enam makna pragmatik ujaran kebencian yaitu, makna menyindir, makna menggambarkan sosok pemimpin, makna membual, makna mempertanyakan, makna kekecewaan, dan makna mengajak. Dari penelitian ini diharapkan pengguna media sosial dapat lebih bijak dalam menggunakan media sosial. Selain itu, penelitian ini dapat dijadikan acuan untuk memahami ujaran kebencian.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa Upaya kepolisian dalam penanggulangan kejahatan Ujaran Kebencian (Hate Speech) berdasarkan Surat Edaran Kapolri No SE/06/X/2015 dilakukan melalui Upaya Non Penal (Preventif & Pre-Emtif) dan Upaya Penal (Represif). Upaya Preventif dan Pre-Emtif yang dilakukan kepolisian dalam menanggulangi kejahatan Ujaran Kebencian antara lain yaitu ialah melakukan sosialisasi atau pemberian arahan atau penyuluhan-penyuluhan kepada masyarakat mengenai pengertian Ujaran Kebencian itu sendiri beserta dampak yang ditimbulkan dengan melibatkan tokoh masyarakat, tokoh adat dan tokoh agama, dalam melakukan penanggulangan kejahatan Ujaran Kebencian. Sedangkan upaya Represif yang dilakukan pihak kepolisian dalam menanggulangi kejahatan Ujaran Kebencian yaitu menindak tegas pelaku kejahatan Ujaran Kebencian (Hate Speech) dengan menegakkan hukum yang mengatur mengenai Ujaran Kebencian (Hate Speech) tersebut berdasarkan Pasal-Pasal di dalam KUHP maupun Undang-Undang lain diluar KUHP yang mengatur mengenai perbuatan-perbuatan kejahatan Ujaran Kebencian (Hate Speech), kemudian memberikan sanksi apabila terbukti melakukan tindak pidana/kejahatan tersebut.

Faktor penghambat upaya kepolisian dalam penanggulangan kejahatan Ujaran Kebencian (Hate Speech) adalah: faktor hukumnya, faktor penegak hukumnya, faktor sarana dan prasarana, faktor masyarakatnya, dan faktor kebudayaannya. Faktor yang paling utama adalah faktor masyarakatnya, karena seringkali masyarakat tidak memahami apa dan bagaimana yang tergolong kejahatan Ujaran Kebencian (Hate Speech) itu sendiri. Kemudian faktor lainnya yang juga berpengaruh yaitu faktor aparat penegak hukumnya yang masih kaku dalam penanganan masalah Ujaran Kebencian ini karena masih kurangnya pemahaman tentang penanganan kejahatan Ujaran Kebencian (Hate Speech).

Dengan demikian, perlunya kerjasama yang lebih bersinergis antara kepolisian, masyarakat, pemangku adat dan polmas dalam melakukan pengawasan, penanggulangan dan pencegahan ke setiap daerah yang dianggap rawan konflik dan masih belum paham mengenai apa itu Ujaran Kebencian dan apa dampak yang apabila kejahatan Ujaran Kebencian tersebut tidak ditangani dan diproses secara hukum yang berlaku dalam masyarakat dan negara.

Fitratul Akbar

Penulis adalah Alumni Prodi Ekonomi Syariah, Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Malang

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال