Tak Boleh Konflik SARA Dalam Negara

(Sumber Gambar: Redaksi Kuliah Al-Islam)

KULIAHALISLAM.COM - Globalisasi ibarat pisau bermata ganda. Di satu sisi, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat memberi dampak positif bagi perkembangan peradaban manusia. Namun di sisi yang lain, cepatnya perubahan sosial berimbas pada semakin memudarnya nilai-nilai keagamaan dan kemanusiaan. Yang muncul adalah kompetisi yang menguatkan gesekan antar-kepentingan--ekonomi, sosial, budaya, politik, agama--dan mengentalkan rasa saling curiga dan kebencian terhadap orang atau kelompok lain. Akibatnya, terjadi berbagai konflik antar kelompok (SARA/Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan), seperti yang terjadi di beberapa wilayah, nasional dan internasional.

Dalam menghadapi globalisasi dan perubahan yang cepat masyarakat Indonesia menghadapi berbagai macam ujian dan tantangan di antaranya terjadi konflik dimana-mana, baik konflik antar desa, konflik antara masyarakat dengan aparat pemerintah. Konflik antara buruh dengan pemilik modal yang didukung pemerintah mengenai RUU Tenaga Kerja, konflik petani yang menolak beras import dan kelangkaan pupuk, konflik Lurah desa yang memperjuangkan nasibnya, konflik pro dan kontra Undang-undang Pornografi dan porno aksi. Konflik yang berbau suku, golongan, ras dan agama (SARA) merebak di berbagai daerah dan jika dibiarkan tidak diatasi dengan arif oleh pemerintah maka akan terjadi kekacauan masif. Secara khusus konflik yang berbau SARA berakar pada ketidakmampuan bangsa Indonesia untuk mengatur konflik dalam memanajemen konflik dan mengemasnya menuju masyarakat yang lebih progresif. Terlebih-lebih bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, bahasa, dan berbagai macam agama serta kepercayaan memiliki tuntutan dan kepentingan yang berbeda-beda. Oleh karena itu jika pemerintah tidak hati-hati dalam mengelola kehidupan berbangsa dalam masyarakat majemuk dengan arif maka sudah dapat diprediksi akan terjadi Balkanisasi, Libanonisasi atau disintegrasi bangsa pasti akan terjadi. Melihat kenyataan di atas sudah saatnya seluruh elemen bangsa harus berpikir ulang untuk segera sungguh-sungguh berpikir dan bertindak mencari akar permasalahannya dan memberikan solusinya.

Kondisi Masyarakat Multikultur

Indonesia adalah negara yang plural, pluralisme di Indonesia tercermin dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika merupakan simbol pengikat persatuan bangsa Indonesia yang terdiri dari beragam suku, budaya, bahasa, dan agama yang berbeda-beda. Bhinneka Tunggal Ika juga berarti pengakuan terhadap kenyataan sosial historis bahwa rakyat Indonesia telah sejak lama berinteraksi secara rukun dan harmonis.

Indonesia merupakan bangsa multikultural dengan tingkat pluralisme yang tinggi. Hal itu dapat menjadi potensi kemajuan bangsa sekaligus kemundurannya, bergantung pada kualitas pengelolaan heterogenitas tersebut. Hingga saat ini terbukti konflik yang dilatarbelakangi suku, agama, dan ras antar golongan (SARA) masih sering terjadi. Negara Indonesia yang beraneka ragam suku, agama, ras dan antar golongan dapat menyebabkan konflik yang disebut konflik SARA. Penyelesaian konflik yang kurang tepat menyebabkan perilaku agresivitas dapat muncul dan regulasi emosi dinyatakan mampu mengurangi agresivitas.

Indonesia merupakan negara berkembang yang sangat kaya akan sumber daya alam dan sumber daya manusia. Keberagaman masyarakat Indonesia terlihat dari keberadaan suku, ras, budaya, adat istiadat dan agama yang beragam. Oleh karena itu, Indonesia harus menyadari perlunya hidup dalam kemajemukan yang harus mampu membangun bangsa ini agar semakin bersatu dalam mengamalkan nilai-nilai Pancasila. Namun kenyataannya, sebagian besar masyarakat memandang multikulturalisme sebagai sesuatu yang patut disamakan. Artinya, masih ada sebagian kelompok tertentu yang mengharapkan adanya keadaan homogen sesuai keinginan kelompoknya. Hal ini bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan banyak orang lupa bahwa sejak awal masyarakat Indonesia sudah tertanam semangat gotong royong.

Sebagai sebuah negara yang multi etnis serta memiliki berbagai macam keyakinan, Indonesia sangat rentan terjadi konflik yang bernuansa Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan. Maka untuk mengatasi atau paling tidak meminimalisir hal tersebut, diperlukan suatu sikap yang arif dan bijak yakni membangun semangat kebangsaan (Nasionalisme) pada semua elemen bangsa Indonesia. Kesadaran semangat kebangsaan bahwa kita semua adalah hidup dalam satu rumah yakni Indonesia, termasuk juga melihat aspek historis bahwa para pendiri bangsa ini telah berjuang mencapai kemerdekaan dengan semangat nasionalisme yang tinggi, akan menghantarkan Indonesia menjadi negara yang damai.

Bangsa Indonesia dikenal sebagai Bangsa-Negara yang pluralistik dalam berbagai aspek, baik agama, suku, bahasa, etnis, budaya dan adat istiadat. Kemajemukan ini di satu sisi menjadi hal yang sangat baik, namun disisi lain menjadi rawan konflik horizontal, terutama konflik antar agama. Dalam kondisi yang demikian, maka dibutuhkan suatu mekanisme yang bisa dijadikan lihat jembatan solusif bagi harmoni.

Masyarakat Multikultural 

Masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai suku, ras dan agama; dan menjadi satu kesatuan sebagai bangsa Indonesia. Hal keberagaman ini dapat menjadi kekuatan yang luar biasa, namun bisa juga menjadi ancaman yang mematikan bagi kemanusiaan dan cara bernegara di bumi Indonesia. Beragama perlu bijaksana sebab setiap keyakinan memiliki komitmen kebenarannya masing-masing. Jika kebenaran suatu agama dipergunakan untuk menilai agama lainnya, maka konflik horisontal akan terjadi. Setiap orang perlu belajar akan konflik SARA yang terjadi pada beberapa tahun terakhir ini. Upaya untuk menjadikan agama sebagai perekat yang mempersatukan umat beragama perlu dilaksanakan dengan hati-hati dan bijaksana.

Kemajemukan masyarakat Indonesia terbagi atas dua yaitu kemajemukan vertikal dan kemajemukan horisontal. Kemajemukan vertikal adalah perbedaan tingkat pendidikan, kekayaan, dan kedudukan Islam. Sedangkan kemajemukan horisontal adalah perbedaan-perbedaan suku, agama dan kedaerahan. Sebagai masyarakat majemuk, masyarakat Indonesia juga rawan konflik. Dalam sejarahnya, bangsa Indonesia telah meng alami berbagai macam konflik SARA. Konflik etnis sering dikaitkan dengan agama sehingga menjadi tajam dan berubah menjadi konflik agama. Pada umumnya konflik agama selalu menjadi faktor yang membuat suatu konflik mendapat sorotan banyak orang dengan cepat. Begitu agama terlihat dalam suatu konflik maka konflik itu menjadi sensitif (Rosyidi, 2009).

Indonesia sebagai negara yang multikultur menghadapi persoalan internal berupa melemahnya semangat kebangsaan dan memudarnya nilai-nilai budaya daerah sehingga memicu konflik SARA, ketidakadilan hingga krisis jati diri. Pluralitas bangsa Indonesia di satu sisi memang merupakan kekuatan, namun disisi lain menjadi rentan konflik bila tidak ada kesepahaman, toleransi dan saling pengertian dalam menyikapi perbedaan.

Tingkat keragaman bangsa Indonesia yang tinggi merupakan sumbu yang mudah tersulut oleh konfrontasi-konfrontasi SARA. Oleh karena itu, butuh sebuah penelaahan komprehensif berkaitan dengan ciri kebhinekaan Indonesia. Suatu kajian tentang keanekaragaman budaya bukan hanya memberikan gambaran komprehensif namun lebih dari itu, dapat menumbuhkan dialog persepsi kerukunan SARA ditengah kehidupan berbangsa. Multikulturalisme merupakan given dari Tuhan, namun Bhineka Tunggal Ika merupakan titipan dari nenek moyang kita yang harus di jaga dan dilestarikan.

Hasil penelitian ini mengungkap perbandingan peran pemerintah sejak masa transisi yaitu masa setelah berganti kepemimpinan orde baru hingga era demokratis. Masa transisi yang gelap, bergeser menjadi dinamis, karena faktor tingkat kesadaran berdemokrasi yang semakin meningkat. Kesimpulan penelitian ini adalah potensi konflik horizontal di Indonesia sebagai negara plural sangat riskan terjadi, dan bisa menjadi bom waktu yang dahsyat. Sentimen identitas semakin tajam dikarenakan terdapat kepentingan elit politik yang mendorong adanya patronase civil society dan media.

Munculnya Konflik Sosial

Pancasila adalah dasar negara Indonesia. Pancasila memiliki lima prinsip yang mengakomodasi semangat kemanusiaan dan keberagaman. Tetapi apa yang terjadi, pada faktanya Indonesia belum dapat lepas dari permasalahan dan konflik SARA. Negara ini pada faktanya belum dapat menyatukan dirinya sebagai sebuah negara besar. Persatuan Indonesia yang telah direkomendasikan dalam Pancasila belum dilaksanakan, termasuk di dalamnya dalam belum tercermin dalam sistem pendidikan nasionalnya.

Dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari nampaknya selain diwarnai oleh kerja sama, selalu juga diwarnai oleh berbagai bentuk perpecahan dan konflik. Bahkan dalam kehidupan bermasyarakat, tidak pernah ditemukan seluruh warganya selalu bersikap kooperatif. Kekerasan antar kelompok nampaknya mulai sering terjadi di negeri ini. Berbagai isu yang berbau SARA (suku, agama, ras, antar golongan) terus dilakukan dan dihembuskan untuk memecah kebersamaan dan toleransi warga.

Konflik merupakan salah satu fenomena sosial yang terus ada dalam kehidupan manusia. Konflik sosial berbau SARA sering terjadi di Indonesia. adanya potensi konflik bernuansa SARA yang didominasi faktor kesukuan. Hal itu didukung oleh tingginya primordialisme warga. Munculnya propaganda bahwa suku tertentu harus disegani. Adanya provokasi antara suku asli dengan pendatang yang lebih banyak dipicu kecemburuan sosial. Terbentuknya stigma bahwa pendatang menjadi biang masalah di Kota Samarinda karena hanya mengeksploitasi kekayaan Kalimantan. Potensi kekerasan menguat karena keberadaan organisasi massa yang mendasarkan pada kesukuan.

Menurut para ahli hal ini karena negeri ini dihuni berbagai suku, agama, budaya, bahasa yang berbeda-beda. Perbedaan ini menimbulkan konflik oleh karena persoalan sepele seperti kasus Sidomulyo dan Waypanji Lampung Selatan. Akar penyebab konflik sosial beragam. Dari soal integrasi sosial antar kelompok yang belum selesai, prejudice atau kecurigaan, antar kelompok, pelabelan kurang baik pada kelompok lain, dan fanatisme kelompok yang berlebihan. Faktor lain, adalah ketidakadilan kebijakan politik yang dilakukan oleh para penguasa yang kurang memperhatikan aspek keragaman suku, agama, budaya yang ada. Atau dengan kata lain belum dijalankannya praktek politik multikultural, yang berusaha menghargai, memberi kesempatan yang sama kepada semua lapisan masyarakat untuk berkembang, berekpresi sesuai hak-hak azasi yang dimiliki. Dengan belajar pada kesalahan masa lalu, dan menjalankan politik multikultural, diharapkan kasus-kasus kekerasan sosial tidak terjadi lagi.

Perhatian pemerintah yang lebih tertuju pada pembangunan fisik dengan mengabaikan kearifan lokal mengakibatkan Indonesia mulai mengalami pergeseran tata nilai kehidupannya serta hilangnya karakter sebagai bangsa yang berbudaya. Terabaikannya nilai-nilai kearifan lokal berujung pada hilangnya semangat kebersamaan yang menjadi ciri bangsa Indonesia serta ancaman hilangnya kelestarian budaya yang ada di setiap daerah di nusantara. Hilangnya semangat kebersamaan dan persaudaraan menjadi bibit lahirnya konflik dan disintegrasi. Ancaman konflik horizontal di Indonesia sangat rentan terjadi setiap saat. Mulai dari konflik SARA, konflik elite akibat dari pertarungan suksesi politik dalam semua tingkatan suksesi, dan konflik sektarianisme.

Fakta menunjukkan bahwa konflik adalah bahaya laten yang dapat terjadi kapanpun. Apalagi, Indonesia adalah negara majemuk yang terdiri dari berbagai suku dan budaya. Konflik yang terjadi salahsatunya diakibatkan ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola potensi konflik melalui pembangunan komunikasi berbasis kearifan lokal. Konflik umumnya sangat potensial terjadi di daerah yang sedang menuju kota besar atau daerah tujuan berinvestasi. Sehingga seorang pemimpin khususnya kepala daerah dituntut memiliki communication skill terkait dengan seluruh bagian-bagian dalam kehidupan masyarakat di wilayahnya. Banyaknya konflik yang terjadi di suatu daerah mengindikasikan bahwa komunikasi yang berlandaskan kearifan lokal oleh kepala daerah kepada masyarakatnya belum secara maksimal atau bahkan tidak dilakukan. Penyertaan nilai kearifan lokal dalam membangun komunikasi dengan semua pihak akan membantu mencari solusi terhadap penanganan dan pencegahan konflik sehingga pembangunan dapat berjalan lancar menuju masyarakat yang modern tanpa kehilangan identitas lokalnya.

Dinamika Konflik SARA

Konflik Poso terjadi bersamaan dengan jatuhnya pemerintahan Presiden Soeharto di tahun 1998 yang menyebabkan terjadinya perubahan pola pemerintahan dari sentralisasi menjadi desentralisasi kekuasaan. Konflik Poso ini berdampak sangat merugikan di tatanan bidang, politik, ekonomi dan sosial budaya serta meninggalkan beban trauma psikologis terutama pada anak-anak dan perempuan yang mengalami trauma kekerasaan atau pelecehan ketika kerusuhan terjadi. Konflik yang terjadi di Poso mengingatkan bahwa semboyan Bhinneka Tunggal Ika, sesungguhnya masih suatu cita-cita yang harus diperjuangkan untuk menjaga persatuan nasional.

Pasca runtuhnya rezim Orde Baru Mei 1998, terjadi terjadi banyak kasus kekerasan bahkan konflik SARA. Akar kekerasan konflik Maluku dapat ditarik hingga beberapa dekade sebelumnya. Gerry Van Klinken mengidentifikasi awal kekerasan di Maluku terlihat sejak tahun 1970-an, dimana sejumlah besar penduduk Muslim dari wilayah-wilayah lain di indonesia direlokasi ke Maluku. Kebijakan imigrasi yang dilakukan oleh orde baru menggusur populasi Kristen dan mengubah proposisi afiliasi agama penduduk masyarakat Maluku, sumber utama konflik Maluku bersifat struktural. Kebutuhan terhadap akses pengelolaan sumber daya alam, ekonomi dan kekuasaan politik berada dalam kontrol elit sipil-militer di Jakarta. Kekuasaan dan kewenangan menetapkan kebijakan politik-ekonomi menjadi instrumen legitimasi dan pengamanan terhadap posisi kontrol tersebut. Pada saat bersamaan, tuntutan masyarakat adat dan lokal terhadap akses dan hak mengelola sumber daya alamnya dilumpuhkan melalui proses eksploitasi dan politisasi konflik sosial bernuansa suku, agama, ras, dan antar golongan.

Beberapa pengalaman sejak masa orde lama, orde baru hingga reformasi, menunjukkan kualitas implementasi kewaspadaan Nasional terhadap potensi konflik SARA belum efektif sampai saat ini. berbagai konflik bernuansa SARA belum terselesaikan dan akan tetap menjadi ancaman pada masa datang konflik Sara terbuka (manifes) menimbulkan kerugian bagi semua piha, baik berupa korban jiwa maupun harta benda yang tidak ternilai. Maka pengokohan nilai-nilai keindonesiaan dan nasionalisme menjadi sangat penting untuk kembali dikuatkan. Sehingga kejadian-kejadian konflik yang pernah terjadi di masa lalu tidak terulang kembali pada masa-masa selanjutnya.

Kontoversi topik pluralisme kian hangat. Sebagian menilai pluralisme sebagai ancaman dan sebagian lagi menyatakan pluralisme sebagai unsur perekat semboyan kebhinekaan Indonesia. Mulai sulitnya mendapat izin pendirian tempat beribadah sampai perusakan bahkan penghancuran tempat-tempat ibadah. Oknum pelakunya pun sangat beragam, mulai individu sampai kelompok organisasi tertentu. Sederet peristiwa konflik berbasis SARA yang kembali terjadi akhir-akhir ini seperti penusukan pendeta HKBP, kasus penyerangan kelompok Ahmadiyah di Banten, pengeboman Masjid di Cirebon, pengeboman gereja Kristen di Solo, kerusuhan yang berkepanjangan di Papua, penembakan karyawan PT Freeport di Timika, merupakan bukti bahwa kesatuan dalam keberagaman hanya akan menjadi isapan jempol belaka. Maraknya tindak kekerasan dan diskriminasi berlabelkan SARA inilah yang membuktikan bahwa “perbedaan” bisa menjadi sumber masalah.

Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa konflik sosial di Indonesia mengalami eskalasi tinggi, terutama pasca pemerintahan Orde Baru atau pada masa transisi, yang ditandai dengan banyaknya korban jiwa dan kerugian materi. Eskalasi konflik menurun pasca tahun 2003, setelah adanya kesepakatan dan resolusi konflik di berbagai daerah. Konflik sosial kembali menjadi tren semenjak tahun 2014-2019. Kali ini penyebab utamanya adalah adanya isu politik-agama, kemudian terakselerasi pada tahun-tahun politik. Selain itu, hasil lain menunjukan bahwa pendidikan perdamaian memiliki peran penting dalam mencegah potensi konflik sosial, yang dapat dioptimalkan pada jalur formal, nonformal, dan informal.

Konflik dengan latar belakang agama dan etnik seringkali muncul di Indonesia, diantaranya 29 Juli 2016 di Tanjungbalai, Sumatera. Kerusuhan yang terjadi seringkali mengakibatkan kerugian materi dan nonmateriil, sehingga diperlukan usaha-usaha dari berbagai pihak untuk mencegahnya. Cara yang bisa ditempuh diantaranya: menumbuhkan kembali semangat pluralisme di antara pemeluk agama yang berbeda, membangun dialog antar umat beragama, serta penegakan hukum. Dalam kasus Tanjungbalai, delapan terdakwa dihukum penjara antara 1 bulan 18 hari hingga 2 bulan 18 hari. Menurut sebagian orang hukuman ini tidak adil jika dibandingkan dengan kerusakan yang terjadi di wihara karena kerusuhan itu serta dampak sosial yang terjadi.

Ketika mencermati interaksi sosial antarmasyarakat, kita tidak bisa menafikan hadirnya pengaruh bingkai agama sebagai dasar berfikir dan bertindak masyarakat. Tidak jarang benturan antarmasyarakat dengan dalih perbedaan agama dan paham keagamaan memunculkan konflik multisegi sebagai imbas dari globalisasi dan “migrant labour” di mana setiap orang mulai mencari penghidupan di perantauan yang terkadang berbeda secara SARA dengannya. Salah satu kendala yang muncul serta menjadi biang konflik masyarakat majemuk ialah kerendahan pemahaman akan multikulturalisme yang berimbas pada ketidakluasan dan ketidakluesan dalam berfikir dan bertindak, yang pada akhirnya mereduksi etika-etika sosial yang sebenarnya fitrah dari Tuhan.

Kesadaran Hidup Multikultural

Indonesia merupakan salah satu dari sekian banyaknya negara di dunia yang kaya dari segi kearifan lokal maupun sumber daya alam. Hal ini patut kita syukuri sebagai salah satu pemberian berharga dari Tuhan kepada negeri kita tercinta. Dengan beragamnya unsur yang negeri kita miliki, menjadikan bangsa ini sebagai bangsa yang multikultural. Hal ini pula yang menyebabkan bangsa asing merasa segan dan sering menyanjung bangsa ini. Kelebihan ini bisa dimanfaatkan sebagai sumber kekuatan bangsa jika dikelola dengan bijak. Kebudayaan yang beragam ini sebagai tanda pengenal atau identitas nasional sehingga bangsa ini bisa dikenali oleh bangsa lain. Namun, terkadang keberagaman ini pula yang sering dijadikan sebagai alat pemicu terjadinya konflik atau pergolakan dengan motif suku, ras, agama dan antar golongan. Oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab dengan sengaja membuat dan menebarkan isu-isu yang menggiring kearah konflik suku, ras, agama dan antar golongan. Akibatnya, seiring dengan berjalannya waktu toleransi masyarakat terhadap sesama semakin terkikis dan berlanjut pada tahap keretakan dan saling berprasangka buruk antara satu kelompok terhadap kelompok yang lain. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor internal yang berpotensi melenyapkan keberadaan suatu bangsa. Maka dari itu, menjaga stabilitas hubungan antar masyarakat sangatlah penting demi menjaga kelangsungan hidup bangsa.

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang, dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Ujaran kebencian yang membawa isu SARA merupakan salah satu budaya buruk yang melekat pada masyarakat Indonesia. Banyak faktor pendukung penyebaran ujaran kebencian yang bernuansa SARA pada masa kini diantaranya penggunaan dan penyalahgunaan sosial media. Maraknya penyebaran informasi yang kurang relevan dan cenderung multitafsir akan menimbulkan perselisihan hingga perpecahan. Terjadi peningkatan jumlah kasus terkait dari tahun ke tahun. Faktor pemicu seseorang melakukan tindakan SARA di media sosial adalah internet yang dapat diakses tanpa batas (borderless), identitas pelaku yang akan sulit untuk dilacak, kurangnya sumber daya manusia dari aparat hukum negara yang kompeten dalam bidang IT, dan kurangnya sarana prasarana aparat penegak hukum dalam menangani kasus cyber crime terutama pada ujaran kebencian dan SARA.

Maraknya konflik SARA yang terjadi di Indonesia saat ini menjadi perhatian pada pendidikan di Indonesia. Lemahnya konsep tentang keragaman budaya, ras, dan agama menjadi penyebab terjadinya konflik di Indonesia. Konflik SARA masih rentan terjadi karena keterbatasan pemerataan layanan pendidikan multikultural dan pendekatannya yang masih parsial. Diperlukan pendekatan lebih menyeluruh dan melibatkan banyak pihak. Hal tersebut menunjukan pentingnya penguatan pendidikan multikultural di Indonesia. Dengan demikian, pendidikan multikultural sebagai bagian dari pendidikan karakter akan memiliki peluang lebih besar untuk berhasil.

Pendidikan tidak dapat ditafsirkan terbatas sebagai implementasi ilmu pengetahuan saja, melainkan harus lebih luas, sehingga para peserta didik memiliki pemahaman terhadap kearifan lokal. Pendidikan multikultural berbasis kearifan lokal dapat digunakan untuk memecahkan berbagai masalah. Selain itu, tujuan pendidikan multikultural berbasis kearifan lokal adalah memberi pemahaman kepada peserta didik tentang nilai-nilai kearifan lokal. Hal tersebut diharapkan dapat menumbuhkan semangat kebangsaan, patriotisme, hingga kebudayaan peserta didik, tanpa etnosentrisme. Di tingkat lokal, pendekatan pendidikan multikultural harus dilakukan secara kontekstual. Dengan demikian peserta didik akan memiliki lebih banyak rasa hormat terhadap keberagaman dan berbagai aspek seperti agama, etnis, dan lain-lain.

Pendidikan multikulturalisme yang ahir-ahir ini marak diperbincangkan diharapkan bisa menjadi jembatan solusif untuk harmoni tersebut. Hal ini terlihat dari fungsi dan tujuan dari pendidikan multikulturalisme tersebut yang mengedepankan sikap demokratis, toleran dan keadilan. Dengan sikap yang demikian, maka konflik SARA diharapkan bisa di preventifikasi.

Pendidikan multikultural dipandang sangat strategis dalam upaya membangun kesadaran tersebut. Tahap awal yang perlu segera dilakukan adalah penyadaran melalui sosialisasi yang dapat dimulai pada level sekolah, untuk bisa saling mengenal dan memahami keanekaragaman budaya, sehingga menumbuhkan sikap saling menghargai identitas etnik yang sama maupun berbeda. Implementasi pendidikan multikultural di level sekolah tidak dilakukan secara terpisah melainkan terintegrasi dalam mata pelajaran.

Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya konflik di Indonesia akibat keberagaman yang ada adalah dengan cara pendidikan multikultural di sekolah dan penanaman karakter toleransi. Nilai karakter toleransi merupakan sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya. Selain penanaman karakter toleransi, upaya yang bisa dilakukan oleh guru dalam mencegah terjadinya konflik adalah dengan pendidikan multikultural. Pendidikan multikultural adalah pendidikan yang menghargai, mengakui, menilai, mengetahui, menghormati, dan toleransi tentang keberagaman. Pendidikan multikultural dan penanaman karakter toleransi dapat dijadikan cara yang strategis dalam mengembangkan rasa toleransi terhadap keberagaman.

Salah satu solusi untuk mengatasi masalah di atas adalah mensosialisasikan pendidikan multikultural bagi generasi penerus. Oleh karena pendidikan multikultural akan memberikan nuansa positif dalam kehidupan bersama dan menghasilkan peserta didik yang demokratis, berpartisipasi aktif menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, nilai egalitarian, menghargai harkat kemanusiaan, nilai kebersamaan, menghormati kemajemukan bangsa untuk kesatuan bangsa, menghormati nilainilai religius.

Kesimpulan 

Keberagaman penduduk Indonesia di satu sisi merupakan kekuatan bangsa Indonesia, namun juga dapat menjadi pemicu disintegrasi sesama anak bangsa. Banyaknya konflik SARA yang terjadi setelah reformasi, menimbulkan superioritas diberbagai lapisan masyarakat sampai kepada superioritas agama, etnik dan budaya. Pertama, setiap warga bangsa harus dapat menghilangkan rasa superior atas sikap menghargai sesama dengan mereduksi paradigma hakikat kemanusiaan yang salah. Kedua, tetap memperkokoh dan terus mengamalkan persatuan dan kesatuan sebagai dasar hidup berbangsa dan bernegara. Ketiga, orang percaya dapat melihat sisi kemanusiaan dalam perspektif keagamaan yang dapat menjadi tuntunan dalam menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dalam menjalani kehidupan.

Fitratul Akbar

Penulis adalah Alumni Prodi Ekonomi Syariah, Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Malang

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال