Epistemologi Filsafat

Penulis: Maulana Ahmad Ali Jamjami*

KULIAHALISLAM.COM - Filsafat merupakan disiplin intelektual yang sudah ada sejak zaman kuno, dan selama ribuan tahun, banyak pemikir telah memberikan kontribusi pada perkembangan berbagai cabang filsafat. Dari cabang-cabang filsafat terdapat 4 cabang yang populer. Diantaranya ada epistemology, aksiologi, ontology, dan metafisika. (Susanto, A. (2021). Filsafat ilmu: Suatu kajian dalam dimensi ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Bumi Aksara)


Epistemologi

Epistemologi berasal dari kata Yunani yaitu episteme yang berarti “pengetahuan” dan logos yang berarti “studi tentang.” Jadi, epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari asal-usul, sifat, metode, dan batasan pengetahuan manusia. 

Banyak filsuf telah mengajukan berbagai teori mengenai bagaimana kita mendapatkan pengetahuan, apa itu pengetahuan sejati, dan apakah pengetahuan mutlak itu mungkin atau tidak. Pencetus dari epistemologi yang terkenal antara lain adalah Plato, Rene Descartes, John Locke, dan Edmund Gettier. (Jaya, I. K. N. A. (2020). Filsafat Ilmu dalam Iptek)

Menurut Plato, epistemologi adalah  pengetahuan sejati yang abadi dan tidak berubah, sedangkan opini dapat berubah dan tidak selalu benar. Dalam alegori gua, Plato menggunakan gua sebagai metafora untuk menggambarkan bagaimana manusia dapat terperangkap dalam dunia persepsi sensorik dan bagaimana pengetahuan sejati dapat ditemukan hanya dengan mengalami dunia ide.

Dalam era modern, filsuf seperti Rene Descartes, John Locke, George Berkeley, dan David Hume memperluas dan memperdalam pemikiran epistemologis. Descartes, misalnya, memulai pemikirannya dengan keraguan metodologis, berpendapat bahwa satu-satunya hal yang bisa kita ketahui dengan pasti adalah bahwa kita berpikir. Mereka mempunyai slogan cogito, ergo sum atau saya berpikir, maka saya ada.

John Locke, sebagai perwakilan empirisme Inggris, berpendapat bahwa pikiran manusia pada awalnya adalah tabula rasa atau lembaran kosong, dan semua pengetahuan kita berasal dari pengalaman.

Dari pendapat pendapat yang tertera diatas dapat kita simpulkan bahwasannya ilmu estimologi membahas tentang sumber sumber kehidupan manusia yang melibatkan pertanyaan tentang apakah pengetahuan berasal dari pengalaman indrawi (empiris) atau dari akal budi (rasionalisme), atau mungkin dari kombinasi keduanya. Epistemologi juga memeriksa sifat kepercayaan, kebenaran, bukti, dan justifikasi, dan memeriksa hambatan-hambatan terhadap pengetahuan seperti skeptisisme dan kesalahan persepsi.

Epistemologi digunakan untuk menjamin sebuah keputusan dapat dikatakan benar sehingga manusia bisa puas akan temuannya dan tidak ragu atas apa yang diketahuinya. Oleh karena itu, epistemologi membahas tentang hakikat dan keseluruhan ilmu pengetahuan serta seluruh realitasnya, meliputi kebenaran dan cara mengetahui kebenaran, membahas hakikat dan struktur pengetahuan yakni apa itu pengetahuan, sumber dan cara memperoleh pengetahuan, kegunaan pengetahuan, nilai pengetahuan, cara membentuk pengetahuan yang valid, apa itu kebenaran, kemungkinan manusia memperoleh kebenaran, apa yang dapat diketahui oleh manusia, dan keterbatasan pengetahuan manusia. (Idris, S., & Ramly, F. (2016). Dimensi Filsafat Ilmu dalam Diskursus Integrasi Ilmu)

Sejarah Epistemologi

Pada zaman Yunani kuno, orang-orang mulai mempertanyakan secara sadar mengenai pengetahuan dan merasakan bahwa pengetahuan merupakan sumber terpenting dalam kehidupan manusia. Pandangan itu merupakan tradisi masyarakat dan kebudayaan Athena. 

Zaman Romawi tidak begitu banyak orang yang menunjukan perkembangan pemikiran mendasar karena pada zaman itu orang orang lebih menunjukan ideologis. Masuknya agama Nasrani ke Eropa lah yang memicu perkembangan epistemologi, karena terdapat masalah hubungan antara pengetahuan samawi dan pengetahuan manusiawi, pengetahuan supranatural dan pengetahuan natural. 

Pada waktu itu kaum agama mengatakan bahwa pengetahuan manusiawi harus disempurnakan dengan pengetahuan fides sedangkan kaum intelektual mengemukakan bahwa iman adalah omong kosong kalau tidak di bukti kan dengan akal. 

Hal ini menimbulkan tumbuhnya aliran skolastik yang cukup banyak perhatiannya pada masalah epistemologi karena berusaha untuk menjalin paduan sistematik antara pengetahuan dan ajaran samawi di satu pihak, dan pengetahuan dan ajaran manusiawi di lain pihak. 

Pada fase inilah terjadi pertemuan antara hellenisme dan semitisme, kekuasaan keagamaan yang tumbuh berkembang selama abad pertengahan eropa tampaknya menyebabkan terjadinya supremasi semitik diatas alam pikiran hellenistik. Di lain pihak, orang orang merasa dapat memandukan hellenisme yang bersifat manusiawi intelektual dengan ajaran agama yang bersifat samawi supranatural. 

Dari sinilah tumbuh Rasionalisme, Empirisme, Idelisme, Positivisme yang keseluruhan memberikan perhatian yang amat besar tehadap masalah pengetahuan. Di zaman modern ini telah membangkitkan suatu gerakan yang meyakini bahwa dengan bekal dan pengetahuan kita bisa membangun tata dunia yang sempurna, yang dinamakan gerakan Aufklarung. 

Dari gerakan tersebut menghasilkan suasana krisis budaya. Semua itu menunjukan bahwa perkembangan epistemologi berjalan dengan dua arah yang berbeda antara absolutisasi dan relativisasi, yang menyebakan lahir aliran-aliran baru seperti Skeptisisme, Dogmatisme, Relativisme, dan realisme. (Suhelmi, A. (2001). Pemikiran politik barat. Gramedia Pustaka Utama)

Ruang Lingkup Epistemologi

M. Arifin merinci ruang lingkup epistemologi, meliputi hakikat, sumber dan validitas pengetahuan. Mudlor Achmad merinci menjadi enam aspek, yaitu hakikat, unsur, macam, tumpuan, batas, dan sasaran pengetahuan. 

Bahkan, A.M Saefuddin menyebutkan, bahwa epistemologi mencakup pertanyaan yang harus dijawab, apakah ilmu itu, dari mana asalnya, apa sumbernya, apa hakikat-nya, bagaimana membangun ilmu yang tepat dan benar, apa kebenaran itu, mungkinkah kita mencapai ilmu yang benar, apa yang dapat kita ketahui, dan sampai dimanakah batasannya. Semua pertanyaan itu dapat diringkas menjadi dua masalah pokok: masalah sumber ilmu dan masalah benarnya ilmu.

M. Amin Abdullah menilai bahwa seringkali kajian epistemologi lebih banyak terbatas pada dataran konsepsi asal- usul atau sumber ilmu pengetahuan secara konseptual-filosofis. Sedangkan Paul Suparno menilai epistemologi banyak membicarakan mengenai apa yang membentuk pengetahuan ilmiah.

Sementara itu, aspek-aspek lainnya justru diabaikan dalam pembahasan epistemologi atau setidak-tidaknya kurang mendapat perhatian yang layak.

Kecenderungan sepihak ini menimbulkan kesan seolah-olah cakupan pembahasan epistemologi itu hanya terbatas pada sumber dan metode pengetahuan, bahkan epistemologi sering hanya diidentikkan dengan metode pengetahuan. 

Terlebih lagi ketika dikaitkan dengan ontologi dan aksiologi secara sistemik, seseorang cenderung menyederhanakan pemahaman, sehingga memaknai epistemologi sebagai metode pemikiran, ontologi sebagai objek pemikiran, sedangkan aksiologi sebagai hasil pemikiran, sehingga senantiasa berkaitan dengan nilai, baik yang bercorak positif maupun negatif. Padahal sebenarnya metode pengetahuan itu hanya salah satu bagian dari cakupan wilayah epistemologi.

Objek dan Tujuan Epistemologi

Dalam filsafat terdapat objek material dan objek formal. Objek material adalah sarwa-yang-ada, yang secara garis besar meliputi hakikat Tuhan, hakikat alam dan hakikat manusia. Sedangkan objek formal ialah usaha mencari keterangan secara radikal (sedalam-dalamnya, sampai ke akarnya) tentang objek material filsafat (sarwa-yang- ada).

Objek epistemologi ini menurut Jujun S. Suriasumatri berupa "segenap proses yang terlibat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan." Proses untuk memperoleh pengetahuan inilah yang menjadi sasaran teori pengetahuan dan sekaligus berfungsi mengantarkan tercapainya tujuan, sebab sasaran itu merupakan suatu tahap pengantara yang harus dilalui dalam mewujudkan tujuan. Tanpa suatu sasaran, mustahil tujuan bisa terealisir, sebaliknya tanpa suatu tujuan, maka sasaran menjadi tidak terarah sama sekali.

Dari keterangan diatas maka dapat disimpulkan objek epistemologi adalah objek material karena mencakup hakikat manusia.

Tujuan epistemologi menurut Jacques Martain mengatakan: "Tujuan epistemologi bukanlah hal yang utama untuk menjawab pertanyaan, apakah saya dapat tahu, tetapi untuk menemukan syarat-syarat yang memungkinkan saya dapat tahu."

Hal ini menunjukkan, bahwa epistemologi bukan untuk memperoleh pengetahuan sedikitpun. Tapi ingin memiliki potensi untuk memperoleh pengetahuan. Ini adalah tujuan sebenarnya epistemologi, karena epistemologi adalah awal pemikiran pemikiran itu di kembangkan.

Pengaruh Epistemologi

Scara global epistemologi berpengaruh terhadap peradaban manusia. Suatu peradaban, sudah tentu dibentuk oleh teori pengetahuannya. Epistemologi mengatur semua aspek studi manusia, dari filsafat dan ilmu murni sampai ilmu sosial Epistemologi. 

Ilmu-ilmu terdahulu itu satu-kesatuan yang merupakan hasil pengamatan kritis dari ilmu-ilmu lalu dipandang dan menjadi keyakinan, kepercayaan dan sistem nilai mereka. Epistemologilah yang menentukan kemajuan sains dan teknologi wujud sains dan teknologi yang maju disuatu negara, karena didukung oleh penguasaan dan pengembangan epistemologi. Tidak ada bangsa yang pandai merekayasa fenomena alam, sehingga kemajuan sains dan teknologi tanpa didukung oleh kemajuan epistemologi

Epistemologi menjadi modal dasar dan alat yang strategis dalam merekayasa pengembangan-pengembangan alam menjadi sebuah produk sains yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. 

Demikian halnya yang terjadi pada teknologi. Meskipun teknologi sebagai penerapan sains, tetapi jika dilacak lebih jauh lagi ternyata teknologi sebagai akibat dari pemanfaatan dan pengembangan epistemologi. 

Lantas bagaimana dengan kaidah pengembangan ilmu sosial? Keterbatasan penulis dalam mengkaji aspek sosial menjadi penghalang untuk menjelaskan peran epistemologi dalam kajian ilmu sosial, namun penulis tetap berkeyakinan bahwa pandangar Social Science selalu ada, dimana setiap fenomena individu yang terjadi secara berulang-ulang pada orang banyak merupakan sebuah fenomena sains karena sains berbicara tentang kebenaran yang tidak bisa ditolak hanya berdasarkan pendapat (Rasional) tanpa ada bukti secara empiris.

Epistemologi dalam ilmu filsafat akan terus mendorong manusia untuk selalu berfikir dan berkreasi menemukan dan menciptakan sesuatu yang baru. Semua bentuk teknologi yang canggih adalah hasil pemikiran-pemikiran secara epistemologi, yaitu pemikiran dan perenungan yang berkisar tentang bagaimana cara mewujudkan sesuatu perangkat-perangkat apa yang harus disediakan untuk mewujudkan sesuatu itu, dan sebagainya sehingga kajian Filsafat Epistemologi akan selalu eksis pada seluruh cabang ilmu yang ada. (Qomar, M. (2005). Epistemologi pendidikan Islam: dari metode rasional hingga metode kritik. Erlangga)

*) Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Prodi Ilmu Hadis.

Editor: Adis Setiawan


Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال