Komitmen Lintas Iman Menangkal Gelombang Ekstremisme

Penulis: Nurika Alifah Lathiif*

KULIAHALISLAM.COM - Saat ini umat beragama resah dihidangkan dengan hiruk piuk problem kemanusiaan semakin kalut seiring perkembangan zaman yang begitu laju. Lantas apa arti dari agama yang sebenarnya? Apakah setiap manusia yang dilahirkan wajib memiliki agama? 


Penggambaran agama merupakan pengatur tata keimanan dan kepercayaan serta hubungan praktis yang dirasakan manusia terhadap sesuatu yang diyakininya. Agama juga bisa dikatakan sebagai intisari Tuhan yang mengarahkan makluk-mahluk berakal atas kemauan mereka sendiri untuk memperoleh kesejahteraan dan kedamaian hidup. 

Namun, sebenarnya agama bukan sesuatu hal yang bisa dipahami dengan penafsiran-penafsiran belaka, tak ada satupun definisi agama yang benar-benar sempurna tanpa bebarengan dengan keyakinan yang utuh (sisi batin). Jauh sebelum terlahir kedunia, secara tidak langsung manusia telah berikrar membuat perjaniian tentang keesaan terhadapan Tuhan-Nya. 

Sebagaimana percakapan Tuhan dan sang janin ketika dalam kandungan yang terbingkai dalam Alqur’an surah Al-A’raf ayat 172. Sang Tuhan berkata kepada sang janin “Bukankah aku ini Tuhanmu?”. Sang janin menjawab “Betul ( Engkau Tuhan kami), dan kami bersaksi”. Lewat bahasa sastranya, penggalan terjemah ayat tersebut menyampaikan makna tersurat bahwa setiap manusia yang dilahirkan pasti memiliki agama seperti sumpah yang mereka ikrarkan dihadapan pencipta-Nya.

Pada zaman yang semakin sekuler ini agama merupakan salah satu aspek paling sakral untuk memenuhi standar kehidupan manusia. Agama mengambil bagian penting dari setiap-setiap pengalaman hidup. Agama merayakan kelahiran hingga apa yang terjadi terhadap manusia setelah mati. 

Agama juga memberikan jawaban dari pertanyaan- pertanyaan membingungkan diluar akal pikir manusia seperti halnya keberadaan Tuhan yang Maha Kuasa namun makhluknya masih banyak yang menderita. Agama hadir menjadi kebutuhan merupakan fitrah manusia. 

Setiap anak yang dilahirkan memiliki potensi beragama atas sumpah yang mereka janjikan pada Tuhan-Nya. Agama turut menjadi perisai dalam menyikapi tantangan manusia beberapa tahun terakhir ini tentang menguatnya arus ekstrimisme beragama. 

Sikap ekstrem sering kali muncul saat seorang pemeluk keaykinan tidak menerima kebenaran tafsir-tafsir lain, menolak untuk berpikir terbuka sehingga senang membenarkan dirinya sendiri. Moderasi beragama dapat dijadikan parameter dalam perpikir logis dan bertindak sesuai etika beragama.  

 Melalui ungakapan ummatan wasathan yang tertuang pada surah Al-Baqarah ayat 143 yang menempatkan islam pada predikat umat wasatiyyah (pertengahan) tidak berlebihan, Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam semesta) menentang adanya ekstrimisme dalam beragama yang hingga detik ini saling mengacam dan berpotensi menghancurkan masa depan kemanusian atau dalam bahasa filsafat bisa dikenal sebagai Humanisme. Dilihat dari kacamata islam, ulasan tentang ekstrimisme didapati dalam sejumlah istilah arab salah yaitu غلوا, yang berarti berlebih-lebihan(fanatik). Kurun lima belas abad yang lalu, Rasulullah mewanti-wanti umatnya agar menjauhi sikap ghulluw, hal ini dibuktikan melalui sabda nya

يا اها الناس اياكم وغ الغلو في الدين, فانه اهللك من كان قبلكم الغلو في الدين.

Yang mana kata ghulluw fii addin merupakan penyakit yang menimpa manusia bilamana mereka memiliki sikap berlebih-lebihan dalam beragama. Penyakit ini menjadi salah satu faktor tumbuhnya benih ekstremisme dalam beragama. 

Peran moderasi beragama merupakan salah satu kunci untuk menghindari lahirnya ekstremisme kembali yang mulanya disebabkan karena kurangnya sifat toleransi sesama umat beragama yang cenderung mengakibatkan ketidakpedulian dan sikap kemanusiaan menjadi luntur dan memudar. 

Untuk menepis gelombang ekstremisme yang arusnya begitu kuat dizaman serba teknologi ini, wawasan kebangsaan dapat menjadi beton pemecah gelombang dalam konsep moderasi beragama untuk memahami ruang lingkup kesatuan dan persatuan melalui dasar-dasar ideologi negara. 

Dengan mengetahui sejarah kehidupan bangsa setiap umat akan memahami retorika kehidupan beragama yang memiliki nilai etika dan estetika sehingga menciptakan keselarasan dan keharmonisan dalam perbedaan yang terbingkai agung dalam kata Bhineka. 

Selain itu sikap toleransi dapat memberikan memberikan keteladan antar umat beragama untuk mengkokohkan komitmen antar dimensi lintas iman yang bersumber satu ketauhidan. Toleransi tumbuh dari kedewasaan menerima perbedaan pada realitas kehidupan yang begitu heterogen dan multikurtural. 

Toleransi merupakan cerminan sikap mulia dalam beragama, karena pada dasarnya toleransi menjadikan manusia dapat mengimplementasikan konsep memanusiakan manusia dengan kesadaran yang penuh tanpa paaksaan. 

Toleransi yang baik akan menghasilkan hubungan sosial yang baik pada setiap kelompok sehingga melahirkan persatuan antar anggota. Ramah akan tradisi merupakan salah satu hubungan sosial yang dapat mencerminkan adiluhung kehidupan maasyarakat yang dikemas dalam keestetikan agama. 

Dengan konsep seperti ini agama mudah diamalkan serta ramah pada wujud realisasi dari agama itu sendiri. Tradisi menjadi instumen atau alat, dalam bahasa agama biasa dikenal dengan wasilah dan metode praktis dalam memahami ajaran agama secara arif dan kreatif.

Moderasi merupakan sebuah nilai universal, dan merupakan upaya kampanye global melawan ekstremisme. Moderasi merupakan salah satu sketsa dalam beragama yang ideal dan resolusi praktis minimalis untuk mengembangkan tabiat umat beragama. Moderasi sebagai gerakan menjadi sangat penting untuk dijadikan sebagai sebuah cara pandang (perspektif) dalam beragama

Dari sudut pandang agama manapun, keragaman adalah anugerah dan kehendak Tuhan; jika Tuhan menghendaki, tentu tidak sulit membuat hamba-hamba-Nya menjadi seragam dan satu jenis saja. Tapi Tuhan memang Maha Menghendaki agar umat manusia beragam, bersuku­-suku, berbangsa-bangsa, dengan tujuan agar kehidupan menjadi dinamis, saling belajar, dan saling mengenal satu sama lain.

*) Mahasiswa Prodi Bahasa dan Sastra Arab Universitas Sayyid Ali Rahmatullah.

Editor: Adis Setiawan


Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال