Etika Interaksi Manusia Modern


(Sumber Gambar: Redaksi Kuliah Al-Islam)

KULIAHALISLAM.COM - Sejarah umat manusia diwarnai dengan berbagai bentuk kekerasan, konflik, dan peperangan yang terjadi hampir di seluruh belahan bumi ini. Berbagai bentuk kekerasan, konflik, dan peperangan terjadi di mana-mana, mulai diantara individu, antar-kelompok, antar-desa atau daerah, antar-suku, antar￾etnis, antar-agama, hingga antar-negara, semua itu berpengaruh pada kehidupan manusia. Berbagai alasan dan pemicu terjadinya kekerasan itu,bersifat multidimensional, mulai dari masalah individu, kelompok sosial, ekonomi, budaya, politik, hingga masalah agama. Salah satu pemicu persoalan konflik dalam sejarah manusia adalah ketika agama tidak lagi dijadikan sebagai faktor pemersatu, melainkan dijadikan sebagai faktor pemecah umat manusia.

Fakta sosio-historis memperlihatkan bahwa agama seringkali dijadikan alasan dan pemicu terjadinya berbagai konflik di masyarakat. Teks-teks kitab suci masing-masing agama seringkali ditafsirkan dan dipahami secara eksklusif sehingga menimbulkan penilaian negatif terhadap kelompok agama lain, bahkan terhadap kelompok aliran yang berbeda dalam satu sama, sehingga menimbulkan konflik dan kekerasan atas nama agama maupun paham aliran keagamaan tertentu. Agama yang seharusnya mengedepankan moral dan etika dalam memperlakukan sesama manusia, ras suku, bahkan antar-golongan keagamaan secara konstruktif, ternyata diperalat oleh berbagai kepentingan.
Tindakan merusak kemanusiaan ini menunjukkan krisis moral yang tidak menghargai sesama manusia, yang walaupun berbeda agama, tetapi sama-sama merupakan ciptaan Tuhan Sang Pencipta yang Esa itu. Hal ini dibenarkan oleh Eka Darmaputera yang menegaskan bahwa berbagai isu dan persoalan yang terjadi dalam masyarakat, mau tidak mau, kita akan tiba pada dua kesimpulan akhir: (a) bahwa pada akhirnya, masalah kita adalah masalah moral; dan (b) sebagai kolektivitas, kita telah kehilangan kesepakatan moral atau nilai-nilai bersama. Kita berada dalam situasi yang disebut sebagai: ketidaksepakatan semua mengenai semua ini (Adiprasetya:2022: xix). Apa Yang Disampaikan Darmaputera ini menyadarkan kita bahwa agama sebagai benteng moral kemanusiaan, sering disalahartikan dan disalahgunakan, sehingga menimbulkan tindakan yang berlawanan dengan moral itu sendiri, terutama tindakan menghancurkan kemanusiaan. Semua agama sepakat mengajarkan nilai-nilai moral bersama yang menjunjung tinggi dan menghargai kemanusiaan, namun sering kali dirusak dan dihancurkan oleh penyalahgunaan agama tersebut.
Dalam sejarah umat manusia, agama telah banyak berkontribusi bagi kemajuan peradaban, tetapi juga berandil dalam berbagai peristiwa kehancuran manusia dan kehidupan. Agama, karena itu disebutkan oleh Leonardus Samosir (2002: 87), memiliki dua wajah: agama dibutuhkan karena memberikan keseimbangan hidup, orientasi, bahkan identitas. Namun, disamping itu, agama mempunyai sisi negatif, Sisi negatif ini bisa disebabkan oleh potensi inheren dalam agama pada umumnya, bisa juga disebabkan oleh interpretasi para elite pemegang tradisi. Samosir lebih jauh menjelaskan bahwa agama secara inheren memiliki potensi untuk menghapus yang lain-lain. berdasarkan potensi negatifnya, yaitu klaim sebagai satu-satunya yang benar.
Pola pikir either-or hanya mengizinkan satu yang benar: agama saya yang benar, yang lain salah. Dengan potensi negatif ini, kedamaian dunia bisa terancam (contohnya Peristiwa Perang Salib), karena agama (penganut agama) hidup berdampingan satu dengan yang lain, sehingga ketika para penganut agama ikut dalam pola ini, maka bagi mereka, agamanya lah yang benar dan yang lain itu salah. Dengan begitu, mereka menolak sesama yang ada di samping mereka. Sedangkan mengenai interpretasi para elit, Samosir menegaskan bahwa pengonsepan, kristalisasi dalam bentuk ajaran atau ritus bisa menjadikan agama represif. Ketika konsep ajaran bersifat eksklusifisme, maka agama menimbulkan konflik yang satu dengan yang lainnya. tetapi jika bersifat pluralisme, maka agama-agama bisa saling menerima dan hidup secara berdampingan.
Sisi negatif dari wajah agama tersebut, telah menghadirkan peran agama yang bersifat destruktif (menghancurkan) peradaban manusia dan kehidupan di bumi, telah mendegradasikan hakikat dan peran agama didunia ini. Hal ini haruslah meniadi kegelisahan sekaligus tantangan bagi pemuka agama (para alim ulama dan rohaniwan) itu sendiri. Oleh karena itu, para pemuka agama haruslah berusaha memunculkan sisi positif agamanya dalam memberikan keseimbangan hidup, orientasi, dan identitas sebagaimana ditegaskan oleh Samosir di atas. Salah satu aspek yang harus diperjuangkan oleh para pemuka agama tersebut, yakni menghadirkan fungsi dan peran agama sebagai pemersatu umat manusia dengan menghadirkan ajaran-ajaran (teks-teks suci) yang mengajarkan perdamaian 'cinta kasih, menerima sesama manusia, dan menghargai perbedaan agama seita bersikap toleran sebagai wujud sikap pluralisme dalam bermasyarakat. Dalam keharusan tersebut, maka sangat tepat jika seruan-seruan etiskeagamaan dalam apa yang dikenal sebagai Kaidah Emas (Golden RuIe)dihidupkan kembali untuk menampilkan wajah positif dari agama tersebut,yang berkontribusi positif bagi peradaban dan kemanusiaan.
Kaidah Emas sebagai suatu seruan etis yang menyajikan pegangan bagitingkah laku moral manusia, jika ditelusuri dari sejarah kemunculannya, telah ada sejak lama dan luas di dalam tradisi agama-agama. Kaidah Emas Golden Rule: "Treat others the way you would like to be treated'' dalam rumusan positifnya berbunyi: "Hendaklah memperlakukan orang lain, Sebagaimana anda sendiri ingin diperlakukan". Sedangkan dalam rumusan negatifnya: ''Jangan perbuat terhadap orang lain, apa yang Anda sendiri tidak inginkan akan diperbuat terhadap Diri Anda" (Bertens, 2009: 8o). Tampaknya, kaidah Emas ini tidak berasal dari salah satu sumber pertama, tetapi muncul
li mana-mana atas kesadaran tiap tradisi di berbagai tempat dan zaman, tidak saling tergantung antara satu dengan yang lain dalam berbagai versi tulisan. Salah satu rumusan yang tertua ditemukan dalam tulisan-tulisan filsuf besar Cina, Konfusius, sekitar abad ke-5 SM. Varian Kaidah emas, ini kemudian dapat ditemukan dalam Kitab Suci berbagai agama; seperti yahudi, kristen, Islam, budhisme, hinduisme, dan jainisme (Bertens, 2009: 82).
Tradisi-tradisi keagamaan tersebut, menegaskan tentang Kaidah Emas dalam berbagai jenjang dan model. Ada Kaidah Emas yang memakai kalimat positif ("Lakukan apa yang engkau ingin orang lakukan padamu"), dan ada yang memakai kalimat negatif ("Jangan lakukan apa yang engkau tidak ingin orang lain lakukan padamu"). Kaidah Emas versi Kristen, sebagaimana yang diajarkan Yesus dalam Matius 7:12, jelas memakai kalimat positif Terhadap penggunaan kalimat positif dan negatif dari Kaidah Emas tersebut, menurut (AdiPrasetya 2002:167), hal itu tidak menunjukkan tingkat kualitatif (yang positif lebih tinggi dari yang negatif), namun menegaskan dua arah yang berbeda tetapi saling melengkapi. Seorang penafsir anonim dari latar belakang Konfusianis, berpendapat bahwa kedua macam pembahasan Kaidah Emas ini (baik positif maupun negatif) memiliki nuansa berbedadan saling melengkapi. Kaidah Emas positif dapat diartikan secara sederhana sebagai prinsip melakukan kebaikan, sedangkan yang negatif secara sederhana berarti menolak kejahatan (dalam Adiprasetya, 2022: 168).
Selain penggunaan kalimat positif dan negatif beberapa Kaidah Emas juga secara khusus mengatur hubungan antar-manusia, beberapa lagi berbicara mengenai hubungan manusia dengan alam (lihat Kaidah Emas versi Jainisme dan Native American), sementara versi Sikhisme mengacu pada kehadiran Allah dalam relasi antar-manusia. Kepelbagaian jenjang dalam versi-versi yang ada ini menunjukkan kekayaan tradisi yang bisa dipersatukan dalam persekutuan antar-iman dan mampu memberi sumbangan dalam mencapai kemanusiaan sejati bersama. Kenyataan bahwa Kaidah Emas (Golden Rule) terdapat hampir pada semua agama, bahkan di luar tradisi keagamaan, Bertens (2009: 81). menjelaskan bahwa Kaidah Emas ini tidak berlaku hanya di dalam tradisi keagamaan saja, tetapi juga berlaku di luar konteks keagamaan. Hal ini disebabkan karena Kaidah Emas tersebut bersifat umum dan rasional, dimana dasar dari Kaidah Emas ini merupakan semacam empati moral, Kalau empati berarti sanggup merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, maka dengan Kaidah Emas diakui perasaan itu di bidang moral. Bertens memberi contoh, kita selalu ingin diperlakukan dengan baik. Bagaimana kita mengharapkan perlakuan baik dari orang lain, kalau kita sendiri tidak bersedia memperlakukan orang lain dengan baik.
Harapan serupa itu tidak logis sama sekali. Oleh karena itu, hanya hidup menurut Kaidah Emas mewujudkan suatu sikap yang sungguh rasional. Hal ini berarti bahwa semua manusia sesungguhnya memiliki kesadaran moral untuk bagaimana memperlakukan orang lain secara baik, sebab dia pun ingin diperlakukan secara baik oleh orang lain. Bertens (2009: 81-82) lebih jauh menjelaskan bahwa latar belakang Kaidah Emas adalah solidaritas kita sebagai manusia: "No man is an island". Saya selalu hidup bersama banyak manusia. Dalam apa saja yang saya rencanakan atau laksanakan, saya senantiasa menjalin hubungan dengan orang lain. Saya boleh berarti sesuatu bagi orang lain seperti saya sendiri juga setiap saat dengan banyak cara memperoleh banyak dari orang lain. Justru karena perilaku kita selalu dikelilingi jaringan sosial semacam itu, etika sangat dibutuhkan dan Kaidah Emas menjadi sebuah komponen penting di dalamnya. Karena kondisi sosial itu, tidak ada cara hidup bersama lebih baik daripada saling melakukan sebagaimana kita mau diperlakukan yang satu oleh yang lain.
Kaidah Emas idealnya dapat menciptakan suatu tatanan masyarakat dunia yang aman dan damai, jika setiap orang dapat memperlakukan orang lain secara baik sebagaimana ia ingin diperlakukan secara baik oleh orang lain pula. Tak akan terjadi konflik, atau peperangan, ataupun kejahatan lainnya, jika seseorang atau sekelompok orang tidak menyakiti orang antarkelompok lain, karena orang atau kelompok tersebut tidak mau disakiti oleh yang lain juga. Perbedaan dan persoalan dapat diselesaikan lewat dialog yang membuka ruang bagi persamaan hak semua orang atau kelompok orang, bukan penggunaan kekerasan yang berujung konflik dalam penyelesaian masalah. Oleh karena itu, Bertens (2009: 82) menegaskan bahwa kaidah Emas ini berpotensi menciptakan suatu masyarakat yang harmonis dan berdamai. Seandainya semua orang berpegang pada Kaidah Emas, dunia kita akan berubah menjadi semacam taman firdaus. Tidak akan terjadi lagi pembunuhan, perampokan, penipuan, pemerkosaan, diskriminasi, atau kejahatan lainnya. Dengan hidup menurut kaidah Emas, dunia kita akan berubah menjadi tempat ideal, bebas dari segala faktor negatif yang disebabkan oleh manusia.
Interaksi Era Modern
Zaman modern ini kita selalu bertemu manusia. Di mana pun manusia selalu berada dan beraktivitas. Dalam perjalanan, misalnya, entah naik kereta ataupun pesawat, kita selalu berpapasan dengan manusia. Manusia yang satu dengan lainya, sewaktu berpapasan tidak saling kenal satu sama lain. Kita melihat dua orang (atau lebih) yang tidak saling sapa lewat begitu saja. Di situ tidak ada ucapan selamat pagi atau selamat siang seperti dua puluh tahun lalu. Hal ini sudah mulai merebak di sekolah dan universitas. Para siswa dan mahasiswa tidak saling tegur satu sama lain. Inilah yang disebut oleh Buber sebagai pola hubungan I-it (Buber, 1958). Di dalam perlakuan yang sedemikian orang lain dilihat sebagai obyek, sebagai barang. Orang lain dinilai sebagai obyek tempat mencapai tujuan: uang, tenaga, seks, dll. Kita melihat tidak ada kepedulian sama sekali.
Kehidupan modern menekankan diri sebagai independen dan terisolasi. Situasi manusia tidak saling-terhubung dan saling bergantung. Howe mengatakan bahwa manusia modern meskipun memandang diri sendiri sebagai subyek namun memandang orang lain sebagai obyek (Howe, 2015). Orang lain diperlakukan sebagai obyek untuk mencari kepenuhan dan kepuasan diri. Howe menyebutkan orang lain sebagai tempat pemenuhan kebutuhan komersial, seksual, observasi ilmiah, penilaian klinis, dan penghakiman. Orang lain dipandang dan diperlakukan secara instrumental, yang mungkin menghambat atau mendukung pemuasan kebutuhannya. Jenis-jenis hubungan seperti ini mendehumanisasi orang lain.
Karen Armstrong, seorang profesor yang telah menulis banyak buku best seller, mengatakan bahwa satu perbuatan baik sekecil apa pun dapat mengubah kehidupan. Mungkin orangnya sudah lupa karena perbuatan itu bagi dia wajar begitu saja. Tetapi bagi Armstrong dalam kehidupan yang sulit sering teringat kata￾kata tersebut—terutama pada masa yang suram (Armstrong, 2010). Mungkin kita bertanya apa yang membuat orang berbuat baik saat dia diperlakukan buruk? Armstrong mengungkapkan tiga kaidah emas yang dibawa kedalam eksistensi kita. Pertama, membuat resolusi untuk bertindak satu kali setiap setiap hari sesuai dengan versi positif “perlakukan orang lain seperti yang kita inginkan untuk diperlakukan pada diri kita sendiri. Kedua,
bertekatlah untuk setiap hari memenuhi versi negative “jangan lakukan pada orang lain apa yang kita tidak ingin lakukan kepada diri kita”. Ketiga, lakukan upaya sekali sehari untuk mengubah pola pikir kita—jika kita menemukan diri terlibat dalam rasa marah atau kasihan pada diri sendiri, cobalah kita menyalurkan energi yang negative itu kearah yang lebih baik.
Berdasarkan yang diungkapkan Karen Armstrong di atas ini merupakan pegangan dan penghayatan kita semua untuk bertindak pada tingkat yang lebih mendalam. Melakukan kaidah emas yang pertama tidak perlu tindakan yang besar dan sulit. Tindakan yang penting adalah intensi untuk melatih diri. Sebuah tindakan kecil, tanpa nama, tidak diingat yang terpenting adalah signifikan bagi kita. Mungkin berupaya pergi ke seorang sahabat yang sedang sakit, membantu pekerjaan istri, atau mendengarkan seorang teman yang bercerita dengan cemas. Kaidah emas yang kedua, ini misalnya ingin mengatakan “komentar” yang tajam sehingga menyakiti teman bicara. Kita kemudian bertanya kepada diri sendiri “apa aku ingin dikomentari seperti itu?” Kaidah emas yang ketiga, sebagai contoh, apabila kita dalam situasi benci berusaha memikirkan dan merasakan sesuatu yang kita syukuri—bahkan bila kita tidak merasakan pada saat itu. Menurut Armstrong, setiap kali kita berhasil dalam latihan ini kita akan mengalami ekstasis. Sebagaimana Kaidah emas berbunyi bahwa, “hendaklah memperlakukan orang lain sebagaimana anda sendiri ingin diperlakukan”. Hal ini berarti, jika seseorang tidak ingin mendapat perlakuan buruk, maka jangan sampai memperlakukan orang lain dengan buruk.

Fitratul Akbar

Penulis adalah Alumni Prodi Ekonomi Syariah, Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Malang

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال