Aristoteles dan Pemikiranya Tentang Metafisika

Penulis: M. Ichya' Nurush Shobach*

KULIAHALISLAM.COM - Pengertian tentang pemikiran kehidupan dan dunia yang sering disebut sebagai “filosofi” dihasilkan oleh dua faktor; pertama, pengertian pemikiran kehidupan yang dihasilkan dari sebuah religius (kepercayaan) dan etis warisan; kedua, yaitu pengertian pemikiran kehidupan berdasarkan sains, sebuah penelitian yang disebut “ilmiah.”


Dari kedua faktor inilah filsafat terbentuk; dalam arti bahwa terbentuknya sebuah filsafat didasari oleh dua faktor yaitu religius, etis warisan dan sains; yang dimana filsafat bukanlah dari salah satu faktor tersebut, tetapi filsafat sebagai pesintesis antara kedua faktor tersebut. 

Pada abad 6 SM filsafat sangatlah berbeda, mungkin bisa dibilang bahwa pada abad ini termasuk dalam filsafat murni, baru ketika abad ke-11-14 filsafat mulai didominasi oleh teologi gereja Katolik, butuh waktu yang sangat lama untuk mengembalikan kembali sebagai filsafat murni yang tanpa dibatasi dengan sekat-sekat teologi, sehingga filsafat kembali utuh murni.

Aristoteles muncul sebagai seorang penghujung periode kreatif Yunani kuno, setelah ia mati diperlukan waktu dua ribu tahun untuk memunculkan atau melahirkan filsuf yang setara dengan pemikirannya. Sejak periode panjang dua ribu tahun dan muncul filsuf yang sebanding dengannya, otoritas pada waktu itu hampir tidak tergoyahkan seperti halnya otoritas Gereja; dalam hal ini menjadi kendala serius dalam kemajuan ilmu pengetahuan maupun filsafat. 

Namun pengaruh Aristoteles sangatlah berpengaruh dalam berkembangnya ilmu pengetahuan dan fitsafat itu sendiri.  Hal ini dipengaruhi karena adanya seorang anak raja Philip yang bernama Alexender, dia adalah murid dari Aristoteles pada Tahun 343 SM; pada waktu itu masih berumur tiga belas tahun, kemudian Alexender diangkat menjadi wakil raja pada usia enam belas tahun, diangkatnya sebagai wakil raja Philip, karena dianggap telah cukup umur. 

Namun, patut disayangkan bahwa watak Alexender adalah seorang yang takabur, pemabuk, keji, pendendam, dan yang paling penting adalah sangat percaya dengan tahayul; selain itu juga ia adalah seorang ambisius dan bernafasu besar, hubungan dengan ayahnya juga buruk, dan dia juga tidak telaten bersekolah. 

Padahal harapan ayah nya agar Alexender menjadi seorang yang dapat mensinteiskan dari suatu problematika, namun sangat nihil atas harapan dari raja Philip. Walaupun ia berperilaku seperti itu tapi ia mempunyai sedikit mempunyai pengaruh atas membantu Aristoteles mendirikan sebuah academia Artistoteles setalah ia lari dari akademi Platon. 

Namun, Aristoteles hingga akhir hayatnya menganggap Alexender bahwa ia adalah seorang pemuda yang bebal dan kepala batu (keras kepala). Pada abad 335 hingga 323 SM pada tahun inilah Alexender telah wafat. 

Dalam hal ini saya mengajak para pembaca sedikit memahami sedikit pemikiran Aristoteles utamanya dalam pemikirannya tentang metafisika. Metafisika berasal dari bahasa Yunani  ta meta ta physica yang artinya “hal-hal setelah hal fisis”. 

Metafisika ini sering kali disebut dengan disiplin filsafat yang terumit dan memerlukan daya abstraksi yang tinggi, sehingga dalam memahaminya membutuhkan tenaga yang ekstra dan hati-hati. Secara istilah metafisika adalah salah satu cabang filsafat yang memahami dan mempelajari tentang penyebab segala sesuatu sehingga hal tersebut menjadi ada. 

Metafisika ini dipelajari sejak zaman Yunani kuno, dimulai semenjak filsuf Alam seperti halnya Zeno, Anaximanes, Anaximandor, dll. Sampai pada zaman klasik yaitu Aristoteles. Namun Aristoteles tidak pernah menyebutkan isitilah metafisika, yang menyebut istilah tersebut adalah pengikutnya atau mungkin editor nya yaitu Adronikus dan Rhodes sekitar tahun 40 SM. 

Sebelum membahas jauh tentang metafisika Aristoteles, kita pasti membutukan penerjemah karya metafisika Aristoteles, sebab karya-karyanya butuh diterjemahkan; dari penerjemah lah kita dapat memahami tentang pemikiran-pemikirannya. 

Dan yang paling penting adalah harus hati-hati dalam memahami sebuah pemikiran-pemikirannya sebab membahas tentang cabang filsafat yaitu metafisika harus dengan teliti. Salah satu penerjemah metafisika Aristoteles yaitu Wiliam David Ross, ia akrab dipanggil WD Ross; ia seorang filsuf Skotlandia yang dikenal dalam pemikiran etika, ia lahir di Thurs, Caithness di utara Skotlandia. 

Ia belajar di Universitas Edinburgh, ia menyelesaikan studinya di universitas Balliol, Oxford dan memperoleh jabatan dosen di Universitas Oriel pada tahun 1900 M. Ia juga terkenal mengembagkan pluraslisme dan termasuk menerjemahkan sejumlah karya Aristoteles, dan menulis mengenai filsafat Yunani; termasuk diantaranya metafisika, republik, Nichomacean Ethics, dsb. 

Ia adalah seorang realis moral, non-naturalis, dan intusions; sehingga tidak heran bila ia menerjemahkan metafisika Aristoteles, sebab ia sering menggunakan metode bentuk-bentuk penalaran realis dengan menyajikan banyak contoh yang konkret untuk menjelaskan sesuai metafisika Aristoteles.

Karya metafisika-Aristoteles dalam buku karangan pertamanya ini membahas tentang hal mendasar yang dimiliki oleh setiap orang atau manusia yaitu dasar alamiah untuk mengetahui tentang realitas, hal ini tersurat dalam sebuah karangan-nya. 

Bahwa manusia dapat mengetahui dari indera yang mereka miliki, Setiap indera (sense) berusaha menangkap segala realitas yang ada, untuk mengetahui, memahami, dan menggali segala realitas yang ada. Dalam buku ‘sejarah filsafat barat’ karya Bertrand Russel, dijelaskan persoalan metafisika-Aristotales adalah pembedaan antara “forma” dan “materi”; perlu diketahui bahwa “materi” pengertian sebagai sesuatu yang berlawanan dengan “forma”, berbeda dengan “materi” sebagai lawannya “jiwa”; analogi nya adalah sebuah patung adalah materi (bentuk yang diciptakan), sedangkan sang pencipta atau pemahat adalah forma. Oleh karena itu ada indralah yang dimiliki oleh semua orang untuk mengetahui realitas; hasil dari eksis sebuah “forma” menghasilkan realitas, dan hakikat dari realitas adalah “materi” itu sendiri. 

Seluruh manusia memiliki hasrat alamiah untuk mengetahui segala sesuatu atau segala realitas; sedangkan hewan lahir dengan kemampuan-kemampuan naluriah, dan sebab itu tidak mampu berfikir seperti halnya manusia. Sudah jelas bahwa manusia lebih cerdas daripada hewan. 

Hewan hidup dengan menggunakan insting dan naluri, dan sedikit ingatan hewan itu sendiri akan survival life; sedangkan manusia dapat mengolah ingatan akan pengalamannya yang kemudian mendapatkan sebuah ilmu pengetahuan dan seni. 

Pengalaman membawa manusia pada pengetahuan pertama dan prinsip segala sesuatu. Dari kebijaksanaanlah memunculkan sebuah pengetahuan  tentang prinsip-prinsip dan sebab-sebab tertentu yang mengarahkannya.

Disisi lain dalam sistem pimikiran Aristoteles, jiwalah yang menyebabkan tubuh menjadi sesuatu, yang memiliki kesatuan dan tujuan, serta ciri-ciri yang lazim kita kaitkan dengan istilah “organisme”, misalnya tujuan mata adalah untuk melihat, namun mata tak dapat melihat jika dipisahkan dari tubuh, sebenarnya yang melihat adalah jiwa. 

Maka bisa dilihat bahwa “forma” adalah apa yang memberikan suatu kesatuan pada sejumlah materi, dan bahwa kesatuan ini biasanya, kalau tak bisa dikatakan selalu, bersifat teleologis (segala sesuatu menuju pada tujuan tertentu). Namun forma juga lebih luas daripada itu; materi tanpa forma hanya merupakan potensialitas.

*) Mahasiswa UIN SATU Tulungagung Jurusan Aqidah Filsafat Islam.

Editor: Adis Setiawan


Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال