Tindakan Pejabat Korupsi Merusak Birokrasi

(Sumber Gambar: Redaksi Kuliah Al-Islam)

KULIAHALISLAM.COM - Seiring berjalannya waktu, perkembangan kejahatan semakin cepat jika dibandingkan dengan perkembangan hukum. Kejahatan sudah menjadi fenomena yang bersifat universal, tidak hanya jumlahnya saja yang semakin meningkat tetapi kualitasnya, cara melakukannya dan dampak yang ditimbulkan dari kejahatan tersebut semakin meluas, sistematis dan menimbulkan kerugian yang semakin besar baik materil maupun immateriil.

Era digitalisasi seperti sekarang, kejahatan terus meningkat seiring dengan semakin modernnya peradaban manusia dengan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin canggih. Hampir seluruh interaksi sosial dan pelayanan publik saat ini menggunakan teknologi informasi dan komunikasi melalui jaringan internet. Segala pelayanan publik maupun swasta bersifat cepat, mudah digunakan dan sangat murah serta seluruh lapisan masyarakat dapat menggunakan teknologi ini kapanpun dan dimanapun berada. Namun, di balik kebaikan perkembangan teknologi, kejahatan bisa dengan mudah dilakukan.

Seseorang yang hanya duduk manis di dalam kamarnya, bahkan sambil minum kopi dan bermain musik dapat menguras rekening perusahaan besar, perbankan atau sistem pemerintahan dan pertahanan keamanan suatu negara. Permasalahan kejahatan dan cara penanggulangannya selalu dihadapi oleh setiap negara apapun bentuk dan sistem hukumnya. Dahulu penegak hukum akan disibukkan dengan kejahatan jalanan seperti pembunuhan, perampokan, pencurian, penganiayaan, penghinaan dan lain sebagainya.

Namun kejahatan tersebut berkembang sangat cepat seiring dengan perkembangan teknologi dan dilakukan oleh para profesional yang mempunyai pengetahuan, pendidikan dan status sosial yang tinggi serta mempunyai kekuasaan atau wewenang dalam penyelenggaraan pemerintahan, misalnya kejahatan korupsi, pencucian uang, kejahatan perbankan, korporasi. dan seterusnya. Kejahatan tidak berhenti dan stagnan namun terus bermetamorfosis seiring berkembangnya waktu. Ada beberapa kejahatan yang dulunya dianggap hanya kejahatan konvensional dan kejahatan kerah putih, namun kini disebut kejahatan luar biasa. Kejahatan luar biasa adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu kejahatan yang mempunyai dampak negatif terhadap kehidupan manusia. Di Indonesia terdapat beberapa kejahatan yang masuk dalam kategori kejahatan luar biasa seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, terorisme.

Fenomena Tindakan Korupsi

Pemerintahan Indonesia pasca Reformasi tahun 1998 dalam melaksanakan kegiatan Pembangunan Nasional mendambakan terciptanya pemerintahan yang bersih dan kuat, namun sampai saat ini masih jauh dari harapan karena faktor korupsi masih menjadi hantu menakutkan dalam kegiatan pembangunan kita. Pembangunan Nasional yang pada prinsipnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dalam arti tidak hanya mengejar faktor eksternal saja melainkan adanya keselarasan, kesesuaian dan keseimbangan dengan faktor internal. Yang menjadi perhatian dalam hal ini adalah pentingnya faktor pendidikan, khususnya pendidikan antikorupsi. Pendidikan antikorupsi sebagai pilar awal kehidupan bermasyarakat, hendaknya mempunyai peranan yang cukup besar dalam pencegahan korupsi agar pembangunan yang akan dan sedang berlangsung dapat berjalan sesuai dengan amanat UUD 1945, yaitu memberikan kesejahteraan kepada masyarakat. seluruh masyarakat Indonesia. Korupsi telah menghancurkan semua kehidupan politik, perekonomian pemerintahan, hukum dan ketertiban sosial. Salah satu agenda Pemerintah Indonesia adalah pemberantasan korupsi yang sudah menjadi “kejahatan luar biasa” dan menjadi musuh bersama bangsa Indonesia.

Masalah tersulit dalam berjalannya proses pemerintahan dikarenakan massifnya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme yang meraja lela yang berdampak secara luas bagi masyarakat. Korupsi dalam dunia hukum sudah tergolong sebagai extra ordinary crime (kejahatan luar biasa) karena tidak hanya merugikan keuangan Negara, tetapi juga praktik tersebut melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas sehingga tindakan pemberantasannya harus juga dilakukan dengan cara yang luar biasa pula. Begitulah yang diungkapkan dalam konsideran Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Melalui pendekatan yuridis-empiris, pertanyaan terkait pemberantasan korupsi di Indonesia terjawab dengan baik.

Dalam negara Indonesia, sifat dan bentuk korupsi sudah bersifat sistemik sehingga setiap upaya pemberantasannya tidak serta merta mudah dilakukan hanya karena adanya perubahan konstelasi politik demokrasi. Korupsi erat kaitannya dengan penyalahgunaan wewenang atau pengaruh dalam kedudukan seseorang sebagai pejabat yang menyimpang dari ketentuan undang-undang sehingga tindakan tersebut merugikan perekonomian dan keuangan negara. Tindak pidana korupsi sangatlah kompleks sebagai suatu bentuk kejahatan yang rumit yang terungkap dengan semakin canggihnya modus operandi yang digunakan serta kepintaran para pelaku dalam menghilangkan jejak menjadikan pengungkapan perkara tindak pidana korupsi semakin sulit dijangkau, sehingga memerlukan waktu yang lama. waktu yang lama dan cara yang sulit untuk melakukan pembuktian yuridis yang cukup. Mengingat Tindak Pidana Korupsi sudah tergolong kejahatan luar biasa (Extra Ordinary Crime) sehingga dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, melainkan dengan cara-cara yang luar biasa (Extra Ordinary Counter Measures). dijelaskan dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2001 dan Undang-Undang Nomor: 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Dukungan seluruh komponen bangsa diperlukan agar aparat penegak hukum tidak perlu ragu untuk mengadili siapapun yang melakukan tindak pidana korupsi, karena tanggung jawab pemberantasan korupsi tidak hanya berada di pundak penegak hukum saja, namun juga tanggung jawab seluruh komponen bangsa.

Korupsi menghilangkan kepercayaan terhadap pemerintah dan menimbulkan citra buruk terhadap kinerja pemerintah. Korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa dan pemberantasannya perlu dilakukan secara luar biasa. Hukuman yang berat nampaknya tidak memberikan efek jera bagi mereka yang ingin melakukan korupsi. Oleh karena itu, dunia pendidikan sudah seharusnya mengambil bagian dan berperan aktif dalam upaya pencegahan korupsi. Salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah dengan memberikan pengetahuan yang cukup tentang seluk beluk korupsi.

Dalam artikel berjudul Keadilan korupsi: teori dan praktik. Kata-Kata Wijaya. Penaku, 2008. Beliau mengatakan bahwa, masalah korupsi merupakan bagian dari masalah hukum; Sebab, melalui undang-undang, korupsi diharapkan bisa diberantas. Hukum merupakan cerminan kehidupan bermasyarakat, tidak pernah lepas dari fenomena sosial, dan sebagai alat yang mengatur dan mengatur masyarakat. Dengan kata lain, hukum harus mampu mengarahkan masyarakat menjadi lebih baik.

Tindakan Pidana Korupsi

Tindak pidana korupsi merupakan salah satu bagian dari tindak pidana khusus yang disamping mempunyai spesifikasi tertentu yang berbeda dengan tindak pidana umum. Hukum pidana tindak pidana korupsi merupakan suatu peraturan yang mempunyai sifat kekhususan, baik mengenai hukum pidana formil (peristiwa) maupun hukum pidana materiil (substansi). Akibat hukum suatu tindak pidana menjadi tindak pidana korupsi, antara lain: lembaga yang membidangi tindak pidana korupsi, sistem pembuktian dalam tindak pidana korupsi menerapkan sistem pembuktian terbalik yang terbatas. atau seimbang, dan dari segi hukumannya.

Tindak Pidana Korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang penanganannya memerlukan upaya luar biasa juga karena dampak atau akibat yang luar biasa yang ditimbulkannya terhadap perekonomian negara. Banyak pembangunan yang terbengkalai, terhambatnya pelayanan kepentingan umum, sempitnya kesempatan kerja dan kemiskinan yang tidak terberantas akibat ulah oknum-oknum yang memperkaya diri atau menguntungkan diri sendiri tanpa memperhatikan kepentingan umum, bangsa dan negara diatas kepentingan pribadi dan masyarakat. kepentingan keluarga.

Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extra Ordinary Crime). Unsur penyalahgunaan wewenang karena jabatan atau kedudukannya sebagai penyelenggara negara dan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, yang sangat menghambat pertumbuhan perekonomian negara, merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, menimbulkan krisis di berbagai bidang. pembangunan dan membahayakan eksistensi negara. Administrator Nasional mempunyai peranan yang sangat menentukan dalam mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, penyelenggara Negara harus sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab, perlu meletakkan dasar-dasar penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas korupsi. Partisipasi masyarakat berarti memberdayakan masyarakat guna mewujudkan negara yang bersih dari korupsi. Dengan adanya hak dan kewajiban yang dimiliki, diharapkan masyarakat semakin semangat untuk melaksanakan kontrol sosial terhadap penyelenggaraan Negara secara maksimal dengan tetap menaati aturan yang berlaku.

Peran KPK di Indonesia

Ahmad Badjuri Jurnal Bisnis dan Ekonomi 18 (1), 2011. Pemberantasan korupsi merupakan salah satu agenda penting pemerintah dalam rangka membersihkan diri dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Korupsi merupakan kejahatan luar biasa dan sistematis yang memerlukan upaya luar biasa untuk memberantasnya. Selain menjadi agenda nasional, pemberantasan korupsi juga menjadi agenda internasional. Keberadaan lembaga antikorupsi mempunyai nilai yang sangat strategis dan politis bagi pemerintahan suatu negara. Saat ini permasalahan korupsi tidak hanya menjadi isu lokal, namun menjadi isu internasional. Bagi negara-negara berkembang, keberhasilan dalam menekan angka korupsi merupakan suatu pencapaian yang unik. Hal ini akan berdampak pada masuknya investasi asing ke dalam negeri.

Negara-negara dengan tingkat korupsi yang tinggi tentu akan kehilangan daya saingnya untuk merebut modal asing yang sangat dibutuhkan oleh negara-negara berkembang. Negara-negara maju dan lembaga donor internasional sangat memperhatikan tingkat korupsi yang dikeluarkan oleh lembaga survei internasional seperti Transparency International dan PERC. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia menaruh perhatian serius terhadap upaya pemberantasan korupsi. Salah satu upayanya adalah dengan membentuk lembaga antikorupsi bernama KPK.

Upaya penanggulangan tindak pidana korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa, pembuat Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana dirubah dengan Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memformulasikan beberapa hal penting, yang dianggap dapat dipakai sebagai alat untuk menjerat dan mendatangkan efek jera kepada pelaku, yakni asas pembuktian terbalik dan sanksi yang berat, termasuk pidana mati. Kebijakan formulasi pasal-pasal yang berkaitan dengan kedua hal ini tentu didasarkan pada pemikiran dan dilatarbelakangi oleh keinginan untuk memberantas tindak pidana korupsi. Namun, kebijakan formulasi ini tidak diikuti oleh kebijakan aplikasi. Sebagaimana asas pembuktian terbalik enggan untuk diterapkan dalam persidangan tindak pidana korupsi, maka hakim tindak pidana korupsi juga enggan untuk menerapkan ancaman pidana mati terhadap pelaku tindak pidana, meskipun nyata-nyata negara telah dirugikan milyaran, bahkan trilyunan rupiah, dan banyak anggota masyarakat kehilangan kesempatan untuk menikmati kesejahteraan akibat dari tindak pidana tersebut.

Bahaya Korupsi Merusak Birokrasi

Korupsi sudah merambah ke banyak aspek kehidupan mulai dari pelayanan publik sampai dengan pengadaan barang dan jasa pemerintah, mulai dari pemerintah daerah sampai pemerintah pusat, mulai dari BUMN/D sampai sektor swasta. Predikat sebagai negara korup tentunya sangat tidak menguntungkan bagi Indonesia sehingga menimbulkan wabah secara luas terhadap kondisi kemanan, sosial, dan pertumbuhan ekonomi baik skala nasional maupun global. Sebagai kejahatan yang berdampak luas, maka sejak tahun 1999 Indonesia telah menyatakan bahwa tindakan korupsi adalah suatu kejahatan liar biasa yang harus ditangani secara luar biasa pula salah satunya dengan membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2003. Terdapat lima penyebab korupsi yakni kesempatan (opportunity), tekanan (pressure), pembenaran (rationalization), kewenangan (capability), dan kehilangan integritas (lack of integrity). Disini juga diuraikan secara praktik mengenai apa saja yang harus diwaspadai oleh berbagai pihak untuk mengetahui gejala awal yang akan menuntun pada suatu tindak pidana korupsi.

Korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa, dampak yang ditimbulkan dari tindak pidana korupsi dapat merusak nilai-nilai demokrasi, moralitas, merugikan keuangan negara, pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat serta merupakan ancaman terhadap cita-cita menuju masyarakat adil dan makmur, di Indonesia terdapat tiga lembaga penegak hukum yang berwenang menangani kasus tindak pidana korupsi yakni Kepolisian, Kejaksaan dan KPK. Tindak pidana korupsi dikategorikan sebagain kejahatan luar biasa yang tidak hanya menimbulkan bencana bagi perekonomian nasional, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat.

Korupsi sebagai kejahatan, memang bukan kejahatan biasa yang seringkali disebut dengan “extraordinary crime”(kejahatan luar biasa). Pengkatagorian korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary), telah sesuai dengan watak dasar korupsi itu sendiri yang destruktif (merusak) semua aspek dalam pembangunan, baik pembangunan yang bersifat fisik maupun non-fisik. Untuk itu upaya yang biasa-biasa saja dalam pemberantasan korupsi akan menjadi kontradiksi dengan sifat dasar korupsi itu sendiri. Secara faktual hampir di setiap rezim yang berkuasa, masih belum on the track, tegasnya bahwa upaya yang dilakukan belum berbanding lurus dengan sifat dasar korupsi. Hal demikian adalah jawaban dari pertanyaan, kenapa kejahatan korupsi (corruption crime) cenderung tidak mengalami penurunan, bahkan ada indikasi kenaikan.(Prof. DR. Suteki, SH., MH).

Korupsi menjadi salah satu faktor penghambat pertumbuhan ekonomi bangsa. Setiap bentuk tindak pidana yang merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara harus dicegah dan ditindak seobjektif mungkin. Faktor penyebab terjadinya tindak pidana korupsi adalah penyalahgunaan kepercayaan, amanah, wewenang atau kedudukan masyarakat atau negara untuk kepentingan pribadi. Penyebab terjadinya tindak pidana korupsi sulit dibuktikan di pengadilan, sehingga tindak pidana korupsi dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) sehingga menimbulkan hambatan dalam penuntutannya. Pelaku korupsi dan saksi serta orang-orang yang terlibat di dalamnya. Penyebab putusan independen dalam perkara korupsi adalah adanya perbedaan persepsi antara jaksa dan hakim baik mengenai penerapan hukum maupun penilaian terhadap fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan, adanya kesimpangsiuran atau ketidakpedulian masyarakat. Jaksa dalam menerapkan pasal yang disangkakan termasuk adanya pembahasan yuridis dalam surat tuntutan yang diajukan oleh penuntut umum kurang maksimal, sehingga menimbulkan celah bagi hakim untuk menyatakan bahwa penuntut umum tidak dapat membuktikan tuduhannya. Kendala yang dihadapi dalam penuntutan perkara pidana korupsi adalah campur tangan oknum atau pejabat pemerintah/negara tertentu yang ingin melepaskan terdakwa dari tanggung jawab, baik dengan menggunakan kekuasaan atau wewenang resmi, atau dengan imbalan uang, atau dengan ikatan keluarga.

Faktanya, di Indonesia kasus korupsi sudah diancam dengan hukuman mati sebagaimana tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun permasalahan yang ada pada kondisi saat ini, sebagian masyarakat Indonesia menolak hukuman mati dan memperjuangkan penghapusan hukuman mati dalam sistem pidana di Indonesia, dengan alasan mempertanyakan efektivitas penerapan Undang-undang tersebut, agar dapat memberikan efek jera. dan upaya pemberantasan pelaku tindak pidana korupsi.

Sanksi Pidana Kasus Korupsi

Pengaturan sanksi pidana terhadap orang sebagai pelaku tindak pidana korupsi yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan pemberantasan tindak pidana korupsi cukup luas cakupannya. Dapat dikatakan bahwa aturan yang berlaku di Indonesia sudah mampu mengakomodir sanksi pidana terhadap setiap tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pejabat atau penyelenggara negara, aparat penegak hukum, dan siapapun dalam jabatannya yang merugikan keuangan negara. Hanya saja, sanksi pidana yang diterapkan bisa dikatakan masih cukup ringan dan belum mampu memberikan efek jera. Pengaturan sanksi pidana yang relatif ringan ini akan melemahkan upaya pemberantasan korupsi, dan memberikan kesan bahwa sanksi pidana terhadap pelaku korupsi jauh lebih menguntungkan dibandingkan tindak pidana biasa. Penegakan hukum di Indonesia cenderung masih lemah dan hanya bersifat tajam dan runcing di bagian bawah dan tumpul di bagian atas. Tiga hal yang menjadi penyebab lemahnya penerapan hukum di Indonesia adalah, profesionalisme hakim, sanksi terhadap beberapa peraturan perundang-undangan, dan kesadaran masyarakat. Dari segi profesionalisme, tidak sedikit hakim di Indonesia yang masih dipertanyakan kualitas dan integritas moralnya. Ironisnya, tidak sedikit hakim di Indonesia yang menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya. Pada prinsipnya penerapan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi sudah sesuai dengan aturan yang berlaku di Indonesia. Persoalannya bukan terletak pada penerapan undang-undangnya, melainkan pada pengaturan sanksi yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Hal inilah yang mengakibatkan lemahnya penerapan hukum terhadap pelaku korupsi di Indonesia.

Penerapan pidana mati di Indonesia merupakan pidana yang paling berat yang diterapkan pada kasus-kasus yang dianggap sebagai kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime) seperti kasus Teroris, Narkoba, Makar dan Korupsi, pidana mati mempunyai landasan sebagaimana diatur dalam Pasal 10 huruf a angka 1e KUHP. Dalam kasus korupsi diancam hukuman mati sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi. Meskipun terdapat ancaman hukuman mati bagi pelaku tindak pidana, namun nyatanya sampai saat ini belum ada satupun Putusan Pengadilan Tipikor (Tipikor) di Indonesia yang berani memutus tindak pidana dengan hukuman mati, namun cukup jelas baik hukum nasional maupun dalam perspektif Islam. untuk membenarkan pemberlakuan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi dalam keadaan tertentu dan melakukan tindak pidana yang dapat merugikan kehidupan bangsa.

Tindak pidana korupsi merupakan suatu kejahatan luar biasa (extraordinary crime), sehingga dalam pemberantasannya harus dilakukan dengan langkah-langkah yang luar biasa (extraordinary measure), serta menggunakan instrument-instrument hukum yang luar biasa pula (extraordinary instrument). Dalam hal ini, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo 20 Tahun 2001 dalam Pasal 2 ayat (2) disebutkan; pidana mati terhadap koruptor dapat dijatuhkan dalam keadaan tertentu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pidana mati dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo 20 Tahun 2001 dapat dijatuhkan kepada koruptor dalam keadaan tertentu. Berhubung yang digunakan adalah kata dapat dalam Pasal 2 ayat (2), maka penjatuhan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi tersebut sifatnya adalah fakultatif. Artinya, meskipun tindak pidana korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), dapat saja tidak dijatuhi pidana mati. Sedangkan pidana mati terhadap koruptor menurut teori zawajir dan jawabir, hanya memiliki fungsi sebagai zawajir saja, dosa terpidana tidak terhapus karena hukuman itu. Karena sanksi ini merupakan jarimah taâ zir yang hukumannya ditentukan oleh penguasa. Sementara teori jawabir hanya berlaku bagi jarimah yang dijatuhi hukuman hadd, contohnya zina, sariqah (pencurian), qadhf (tuduhan zina), dan lain-lain, yang perbuatan dan sanksinya sudah ditentukan oleh Allah SWT.

Kesimpulan

Korupsi dapat menimbulkan dampak berbagai permasalahan sosial di masyarakat antara lain rusaknya sistem ketertiban sosial, tingginya biaya ekonomi dan sulitnya melakukan efisiensi, oleh karena itu perlu adanya upaya untuk mencegah tindakan korupsi melalui perbaikan sistem dan prosedur dengan membangun budaya organisasi yang mengedepankan asas dan pemberantasan korupsi dengan mendorong masyarakat berperan dalam pemberantasan korupsi sesuai kapasitas dan kewenangannya, maka masyarakat perlu ditanamkan nilai-nilai kejujuran dan kebencian terhadap korupsi melalui pesan-pesan moral.

Korupsi adalah kejahatan yang luar biasa. Pemberantasan tindak pidana korupsi ini memerlukan kebijakan pencegahan kejahatan yang komprehensif. Kebijakan ini hendaknya memadukan pendekatan penerapan hukum pidana dan pendekatan tanpa menggunakan hukum pidana. Kebijakan non-penal (pencegahan kejahatan tanpa menggunakan hukum pidana) dimaksudkan untuk mendorong dan menciptakan prakondisi yang kondusif bagi masyarakat Indonesia. Penerapan kebijakan penal (penerapan hukum pidana) terus dilakukan melalui mekanisme sistem peradilan pidana. Secara keseluruhan, pendekatan integratif ini tetap terintegrasi di bawah payung visi kebijakan kriminal.

Korupsi pada masa sekarang telah berkembang menjadi sebuah kejahatan luar biasa karena telah mengikis dan membahayakan keuangan dan perekonomian negara. Pemberantasan korupsi di Indonesia yang dilakukan secara konvensional yaitu dengan mencari pelaku tindak pidananya kemudian menjebloskannya ke penjara, belum cukup efektif untuk menekan angka tindak pidana korupsi. Dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, upaya yang dilakukan tidak hanya sekedar memberikan hukuman yang berat kepada pelakunya. Namun juga bagaimana mengembalikan aset negara yang dicuri dengan cara menyita aset para pelaku korupsi.

Korupsi menimbulkan kerugian yang besar bagi negara dan masyarakat, atau menimbulkan banyak korban, kepanikan, kegelisahan, atau ketakutan yang luar biasa pada masyarakat. Indonesia merupakan negara dengan Indeks Persepsi Korupsi tertinggi di Asia Tenggara. Rata-rata negara di Asia Tenggara menunjukkan tren penurunan perilaku korupsi, sedangkan di Indonesia menunjukkan tren peningkatan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Tahun 2018 melaporkan bahwa perkembangan Indeks Perilaku Korupsi di Indonesia telah menyentuh angka 2,0 pada periode 1999-2017, sedangkan di Vietnam, Tiongkok, Thailand, Kamboja, Filipina, dan Malaysia menunjukkan bahwa indeks perilaku korupsi cenderung menurun hingga mencapai angka 2,0. dikurangi nol. Selama periode 2014-2017, kasus korupsi yang ditangani KPK berjumlah 618 kasus yang terdiri dari kasus suap (55,02%), kasus pengadaan barang dan jasa (26,54%), kasus penyalahgunaan anggaran (7,44%), kasus perizinan (3,40%), perkara penagihan (3,40%), perkara pidana pencucian uang (3,07%), dan perkara menghalangi proses KPK (1,13%). Sedangkan pelaku kasus korupsi dengan persentase tertinggi adalah pihak swasta (25,37%), eselon I sampai III (23,13%), anggota DPR/DPRD (20%), dan sisanya dilakukan oleh pejabat eselon I hingga III (23,13%), anggota DPR/DPRD (20%), dan sisanya dilakukan oleh pejabat eselon I-III (23,13%), kepala lembaga/kementerian, walikota/bupati dan perwakilannya, gubernur, hakim, komisaris, duta besar, dan lain-lain (Panjaitan, 2018).

Dengan demikian, perilaku korupsi di Indonesia saat ini korupsi oleh banyak negara telah dipandang sebagai sebuah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) karena dampak sistemik yang ditimbulkan oleh tindakan korupsi. Indonesia sebagai Negara berkembang juga menghadapi persoalan korupsi yang menyentuh hampir seluruh sendi kehidupan. Upaya memberantas korupsi yang dianggap efektif dan murah adalah melalui pendidikan. Bidang pendidikan merupakan salah satu upaya preventif terbaik yang bisa dilakukan.

Fitratul Akbar

Penulis adalah Alumni Prodi Ekonomi Syariah, Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Malang

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال