Perkembangan Filsafat Islam dari Masa ke Masa


Penulis: Rosa Putri Salsabillah*

KULIAHALISLAM.COM - Perkembangan filsafat Islam sebagai bagian tidak terpisahkan dari sejarah panjang khazanah pemikiran Islam sesungguhnya bukan sesuatu yang sederhana. Banyak aspek dan hubungan yang harus dipahami, dijelaskan dan diuraikan. 

Ketidaktelitian dalam mencermati, memilah dan memilih persoalan inilah yang sering menyebabkan kita tidak tepat untuk menilai dan mengambil tindakan. Adanya sikap yang anti-filsafat di sebagian kalangan umat Islam atau anggapan bahwa filsafat Islam hanyalah berasal dari Yunani, salah satu sebabnya adalah karena adanya kekurang telitian tersebut. (A. Khudori Soleh, Mencermati Sejarah Perkembangan Filsafat Islam, Vol. 10, No. 1, Mei 2014)

Pemikiran filsafat Islam yang berkembang pasca penerjemahan atas buku-buku Yunani, pertama kali, dikenalkan oleh Al Kindi (806- 875). Dalam kata pengantar untuk buku ‘Filsafat Utama’ (al-Falsafah al-Ûla), yang dipersembahkan pada khalifah al-Mu`tashim (833-842 M), Al Kindi menulis tentang objek bahasan dan kedudukan filsafat, serta ketidaksenangannya pada orang-orang yang anti filsafat. 

Al Kindi telah memperkenalkan persoalan baru dalam pemikiran Islam dan mewariskan persoalan filsafat yang terus hidup sampai sekarang: (1) penciptaan alam semesta, bagaimana terjadinya, (2) keabadian jiwa, apa artinya dan bagaimana pembuktiannya, dan (3) pengetahuan Tuhan, apa ada hubungannya dengan astrologi dan bagaimana terjadinya.

Dalam ruang lingkup pengertian filsafat Islam yang 'sempit' (yang saya maksudkan dengan istilah 'sempit' adalah rumusan pemik:iran filsuf Muslim yang dipengaruhi oleh alam pikiran Yunani), saya memandang perlu untuk: terlebih dahulu memahami garis besar konsepsi filosofis Plato dan Aristotel dalam hal yang menyangkut teori pengetahuan. 

Dalam dunia pemikiran Islam, setidaknya, juga ada dua corak: stereotyped pemikiran epistemofogis seperti yang telah terurai di atas. Yang pertama, adalah corak pemikiran Platonis atau Neoplatonis yang lebih rnenekankan kurang bennak:nanya pengalaman inderawi manusia untuk: rnemperoleh ilmu pengetahuan yang sejati dan lebih cenderung untuk berpegang teguh pada dunia idea yang abstrak, intelek, tualistik, ahistoris. 

Dalam kaitan ini, teori emanasi (faidh) dalam hal penciptaan alam adalah contoh yang paling konkrit. Farabi dan Ibn Sina lebih menekankan pada Hakikat Realitas yang tetap, kekal, tidak berubah-rubah dan dari situ muncul teori 'Intellek Sepuluh' yang dikembangkan oleh Ibn Sina. Bayang-bayang Plato juga sangat kentara dalam pemikiran Al Farabi. Sedang pemikiran Aristoteles membayang-bayangi pemikiran Ibn Rusd.

Dalam tubuh filsafat Islam sendiri, sebenarnya, ada sikap ambivalensi dalam mengambil alih pernikiran Plato. Sikap ambivalen ini tercermin dalam pemildran filsafat (falsafah) dan pemildran sufism. Jika Al Ghazali menolak teori emanasi Al Farabi dan Ibn Sina dalam ruang lingkup metafisika spekulatif bahkan sampai menuduh para pencetusnya sebagai 'keluar dari Islam', tapi lain sekali ceritanya di lingkungan teologi spekulatif sufism. Kalangan sufism menerima dengan tangan terbuka teori-teori Neoplatonis dan tidak menganggap pencetusnya keluar dari rel Islam. (Dr. M. Amin Abdullah, Aspek Epistemologis Filsafat Islam)

Filsafat Islam, Muslim atau Arab?

Di abad keduapuluh hingga sekarang ini, para ahli ketimuran dan keIslaman masih belum sepakat mengenai istilah yang tepat dan seharusnya digunakan apabila kita bicara tentang filsafat yang digeluti golongan ahli pikir dari umat Islam. 

Sebagian sarjana orientalis lebih suka menyebutnya ‘Filsafat Arab‘ (Arabic Philosophy). Ernest Renan, Dimitri Gutas, dan Peter Adamson yang mewakili kelompok ini beralasan bahwa filsafat yang tumbuh berkembang di dunia Islam adalah hasil sebuah proses intelektual yang panjang dan rumit, di mana para sarjana Muslim maupun non-Muslim (terutama Yahudi dan Nasrani) turut aktif mengambil bagian. 

Namun, mereka yang berbeda-beda bangsa dan agama itu mengambil bahasa Arab sebagai medium untuk menyatakan pikiran-pikirannya. Bahasa Arab telah menjadi ‘lingua franca‘ bagi para ilmuwan dan cendekiawan yang berasal dari berbagai negeri yang berjauhan seperti Andalusia (kini Spanyol) dan Khurasan (Iran) itu.

Alasan kedua, para penekun filsafat pada periode awal seperti Al Kindi dan Al Farabi lebih banyak bergelut dengan karya-karya filsuf Yunani semisal Plotinus dan Aristoteles ketimbang merintis filsafat Islam tersendiri. 

Namun, bukan mustahil di balik semua alasan itu tersembunyi rasisme intelektual bahwa yang namanya filsafat itu mesti produk pemikiran Yunani dan karenanya apa yang dikerjakan kaum Muslim sekadar menerima dan memeliharanya untuk diwariskan kepada generasi sesudah mereka pun bisa jadi terselip alasan ideologis untuk pilihan istilah tersebut. 

Menurut Seyyed Hossein Nasr, mereka yang suka memakai istilah “Arabic Philosophy” biasanya mengkaji filsafat Islam sebagai barang purbakala atau artefak museum, sehingga pendekatannya melulu historis dan filologis. 

Maka, filsafat Islam di mata para orientalis semisal Van den Bergh hingga Gutas ibarat sosok mumi dari mahluk yang lahir di abad ke-9 dan mati di abad ke-12 Masehi. Mereka ini, kata Nasr, biasanya tidak peduli dan tidak mengerti bahwa filsafat Islam adalah kegiatan pikiran yang senantiasa hidup dari dahulu sampai sekarang. (Syamsuddin Arif, Filsafat Islam Antara Tradisi dan Kontroversi, Vol.10, No.1, Mei 2014) 

Kesimpulan

Adapun sumber filsafat yang digunakan didunia islam terdiri dari sumber yaitu normative dan historis. Sumber normative ialah konsep filsafat pendidikan Islam yang berlandaskan dari Alquran dan Sunnah, Alquran sebagai sumber Normative filsafat pendidikan Islam yang pertama dan utama merupakan petunjuk bagi kehidupan manusia. 

Sumber historis sementara itu Sunnah sebagai sumber historis, selalu memberikan unjuk rasa terhadap masalah pendidikan. Seperti halnya konsep pendidikan yang diberikan Rasulullah adalah konsep pendidikan tanpa batas dalam arti disebut pendidikan sepanjang hayat. Dan adapun urgensi filsafat Islam adalah segala persoalan pendidikan akan ada tumbuh dari waktu ke waktu, yang menjadi sudut pandang bagi ahlinya masing-masing. 

Siapa saja yang belajar filsafat pendidikan akan memiliki pandangan yang jangkauannya empirik atau eksperimental terhadap ilmu pengetahuan. Dengan berlandaskan asas berfikir logis maka berfilsafat pendidikan berarti adanya kemampuan intelektual dan membentuk pribadi pendidik yang baik. Dan tokoh-tokoh yang lahir dari dunia Islam terdiri dari seperti Al-Kindi, Ibnu Sina Al-Farabi, dan Al-Ghazali, Al-Razi, Ibnu Tufail, dan Ikhwan Al-shafa‟.

*) Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.


Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال