Senjakala Modernitas Nietzsche: Pembunuhan Tuhan dan Pembantaian Ontologis

Penulis: Raisul Amin Loamena*

Und Jungst Horte ich ihn dies wort sagen: “Gott ist tot: an seinem Mitleiden mit den menschen ist Gott gostorben”. (Baru-baru ini kudengar kata-kata ini darinya: “Tuhan telah mati: karena belas kasihnya kepada manusia”). Also Sprach Zarathustra S. 348.  

Pendahuluan

Panggung sejarah melaui Renaisance telah membuka lembar kematian Tuhan dan melakukan pembantaian terhadap sejarah panjang ontologis. Lahirnya renaissance membentuk satu karakter dasar manusia-manusia pemberontak dengan satu iming-iming dan isyarat bahwa manusia merupakan satu makhluk yang memiliki potensi di luar batas. 

Pahaman evolusi Darwins dan pahaman Humanisme yang mengambil tempatnya di panggung Renaisance benar-benar melahirkan satu corong kebrutalan manusia. Dari sumbangan evolusi Darwins-lah posisi Tuhan sebagai pencipta alam semesta dengan segala isinya menjadi absurd di mata sebagian besar ilmuwan sains. Sebagaimana yang di ungkap oleh John F. Haught, evolusi Darwins menghantam persis jantung teologi dengan menyatakan bahwa segala sesuatu yang berada di alam semesta tumbuh berkembang secara evolutif dari hal yang sangat sederhana, dengan acak-acak dan serba kebetulan. 

Bahkan bagi Graham Ward, teologi adalah bentuk diskursus tentang cita yang di arahkan pada sesuatu yang lain dam mustahil. Sehingga teori Evolusi Darwins telah mengubah wajah kehidupan dan melempangkan jalan menuju atheisme.

Sebagaimana yang di catat oleh Christian Smith dan Robert D. Woodberry dalam essay nya yang berjudul Sosiologi Agama, ia merekam kekhawatirannya melalui ungkapan bahwa “tiga dasawarsa silam, para sosiolog maupun pemikir-pemikir tidak banyak lagi mencurahkan pemikirannya pada agama sebagai kekuatan paling penting dalam kehidupan sosial, tidak pula agama di pandang sangat signifikan”. 

Melalui studi antropologi Anthony Wallace, Cristian Smith dan Robert D. Wodberry merangkum pandangan bahwa “masa depan evolusioner agama adalah kepunahan. Kepercayaan pada makhluk adi kodrati dan kekuatan supranatural yang memengaruhi alam tanpa mematuhi hukum-hukum alam akan tergerus dan hanya menjadi kenangan sejarah yang menarik. Kepercayaan pada kekuatan supranatural di takdirkan punah di seluruh dunia, sebagai akibat dari meningkatnya keandalan dan persebaran ilmu pengetahuan ilmiah”.

Era Renaisance yang di tandai dengan ciri khas modernitas dan perkembangan ilmu pengetahuan yang tidak lagi mampu di bendung menampilkan wajah kejamnya. Di hadapan Modernitas, Agama dan tuhan menjadi produk yang tidak laku, layaknya barang bekas yang tidak terjual di pasar harian maupun mingguan. 

Agama dan tuhan yang dulunya merupakan sebuah produk manusia tentang segala keindahan dan keagungan serta menjadikan cinta sebagai kekuatan, kini menjadi puing-puing reruntuhan sisa peradaban yang hanya di bahas apabila di perlukan. Jika dulu untuk menunjukkan tentang bukti kekaguman terhadap keindahan tuhan dicurahkan lewat penyembahan, maka di senjakala modernitas, manusia telah menganggap tuhan dan agama sebagai sumber utama yang membuat manusia celaka dan membuat manusia hidup dalam kemiskinan berkelanjutan. 

Abad ke-19 menjadi penanda bahwa konsep Idealisme akhir yang di bangga-banggakan oleh Plato dari Yunani hingga Hegel seorang filsuf yang berasal dari Jerman telah sepenuhnya di tamatkan oleh Friedrich Nietzche. Seorang anak kemarin sore dengan begitu mudah mengakhiri masa ke-emasan dan kejayaan para pemikir terdahulu yang telah mengambil posisi dan kedudukan yang kuat dalam bingkai sejarah panjang filsafat dan Ilmu pengetahuan. 

Tidak ada lagi tuhan dan sebutan apapun itu, kini manusialah yang menjadi pusat alam semesta. Pikiran-pikiran tradisional yang di anut sedemikian rupa seperti tahayyul, agama, mitos maupun metafisika tradisional di seret ke liang lahat untuk di kubur secara dalam-dalam agar tidak lagi nampak di permukaan Bumi. Dengan sebuah aforismenya yang paling terkenal “ Gott ist tot” Nietczhe menegaskan bahwa hari ini tuhan telah mati dan kita telah membunuhnya. 

Kritik tajam Nietzche tersebut hadir untuk mengamputasi keyakinan-keyakinan yang membelenggu hidup manusia layaknya se-ekor unta yang mengangkat beban berat di padang pasir. Dalam karyanya Thus Spake Zarathustra, Nietzche melihat agama sebagai bentuk yang paling sempurna dalam merendahkan harkat dan martabat seorang manusia dan tuhan merupakan vestifal penipuan terbesar dalam panggung sejarah hidup manusia.

Sepanjang sejarah hidup manusia, bagi Nietzche agama dan tuhan telah membelenggu, mengamputasi dan mengurung kebebasan berpikir umat manusia, sehingga tidak pernah di temukan setidaknya satu dalil kuat untuk membela agama ini. Menurut Nietzche, keyakinan-keyakinan formal terhadap sosok adi kodrati justru hadir dan menuai problematika yang berkelanjutan, membuat manusia-manusia celaka, membuat manusia-manusia menjadi miskin, sehingga dalam menempatkan agama sebagai sesuatu yang sentral nampaknya terdengar begitu menggelikan, sebab kebebasan berekspresi, kebebasan berpikir hampir tidak bisa di ungkapkan, baik itu melalui lisan maupun melalui tulisan. 

Bahkan yang lebih buruk, agama telah menghalangi laju perkembangan ilmu pengetahuan, sehingga ketika ilmu pengetahuan terhalang, yang ada manusia menjadi makhluk yang tidak berpotensi dan di bawah kendali. Oleh karenanya, sebelum manusia itu lebih jauh masuk dan menanamkan keyakinan itu secara kuat, hal-hal yang tersebut harus di singkirkan terlebih dahulu, bila perlu di bunuh dan di kubur sedalam-dalamnya, walaupun itu adalah tuhan. 

Untuk lebih memahami pemikiran Nietzche, kita akan berkenalan terlebih dahulu dengan sosok Nitczhe dan mengintip dapur serta perpustakaan Filsafat Nietczhe di penghujung Senjakala Modernitas.

Biografi Singkat Nietczhe

Seorang manusia dengan ciri khas kontroversial yang bernama Friedrich Nietzche telah lahir di Roken Saksonia Jerman pada 15 Oktober tahun 1884. Ia telah di besarkan dalam lingkungan yang sangat taat pada agama Kristen. Ayahnya seorang pendeta yang taat, begitupun kakek maupun kakek buyutnya (ayah dari ibunya) juga seorang pendeta. 

Terlahir dari darah seorang pendeta tentunya mengisyaratkan bahwa dirinya sebetulnya telah di didik secara religius walaupun akhirnya kelak ia berambisi ingin membunuh tuhan. Nietzche memiliki seorang adik perempuan dengan nama Elisabeth. Adiknya inilah yang kelak memiliki peran khusus dalam karya-karya Nietzche yang di terbitkan setelah kematiannya. 

Pada tahun 1864, ia mengenyam pendidikan di Universias Bonn untuk mempelajari teologi dan kesustraan klasik Yunani dan melakukan studi tentang filologi klasik. Saat itu dirinya telah meninggalkan agama Kristen. Dirinya berkenalan dengan pemikiran Schopenhaur saat menjadi mahasiswa. 

Berkenalan dengan pemikiran Schopenhour melalui karyanya Schopenhour yang berjudul die welt als wille und vourstellung (dunia sebagai kehendak dan Representasi) yang terbit pada tahun 1818 ternyata mengubah arah hidup Nietzche dari filologi ke Filsafat. Disinilah awal kelana Nietzche merajut jaring pemikiran yang menyenangkan, yakni Filsafat. 

Selain berkenalan dengan pemikiran Schopenhaur, ia juga mengagumi seorang komponis yang berasal dari jerman yang berrnama Richard Wagner (1813-1883), bahkan pada tahun 1872 pada bulan januari, Nietzche menerbitkan satu buku yang berjudu The Birth of Tragedy yang secara khusus di persembahkan untuk sahabatnya yang bernama Richard Wagner tersebut. Dalam lika-liku perjalanan hidup seorang Nietzche, ia telah menjadi Profesor dalam filologi klasik di universitas Basel Swiss Sejak berumur 24 tahun, walaupun kelak ia mengakhiri jabatannya sebagai Profesor pada tahun 1879 karena kesehatannya semakin teraganggu.

Nietzche memulai masa pemberontakannya serta pembantaian para pemikir terdahulunya pada periode 1976-1877 saat dirinya menulis dan menerbitkan bagian pertama dari karyanya yang berjudul human all to human (Manusiawi terlalu manusiawi) dengan sub judul “Buku untuk orang yang berjiwa bebas” yang dia persembahkan untuk Voltaire sebagai bentuk pembebasan terhadap kultus jerman, idealisme. Sejak saat itu, dirinya mulai fokus untuk menuliskan pemikiran-pemikirannya yang kontroversial.

Pada juli 1881, ia menulis “hari-hari pertama bulan agustus 1881 di Sils Maria, 6000 kaki di atas permukaan laut dan jauh lebih tinggi lagi di atas segala hal manusiawi”. Selain itu, dirinya juga menulis buku indah dengan judul the gay Science (Sains yang menyenangkan), yang membahas tema-tema besar seperti Zarathustra, Kematian tuhan yang melampaui (ubermench), kehendak kuasa (the will to power) dan kekembalian yang sama secara abadi (the eternal recurrence of the same). Di tahun-tahun berikutnya, ia menulis buku diantaranya thus spoke Zarathustra (Demikianlah Zarathustra bersabda), beyond good and evil (Melampaui baik dan jahat), the genealogy of morality (Genealogi Moral), the fall Wagner (Kasus Wagner dengan sub judul Problem bagi para musisi), Nietzche lawan wagner, the anticrisht dan Ece homo (inilah Manusia). Di usianya yang ke 56 tahun, Nietzche meninggal dunia akibat Pneumonia pada tanggal 25 Agustus 1900. Demikian riwayat singkat hidup Nietzche.

Mengintip Dapur dan Perpustakaan Pemikiran Nietczhe

Setelah beralih dari biografi singkat Nietzche, Kita akan berjalan dan bergerak mengintip dapur serta perpustakaan pemikiran Nietzche. Sebagaimana yang telah di singgung sebelumnya, bahwa sosok Nietzche adalah sosok yang paling kontroversial di era modernitas. Kenapa tidak, hanya dengan kurun waktu 65 tahun, ia telah menenggelamkan seluruh kepercayaan tradisional masyarakat internasional dengan menawarkan pemikirannya yang brutal.

Nietzche pertama-tama meletakkan posisi manusia sebagai makhluk yang memiliki kebebasan tunggal dalam menentukan sikapnya, namun ternyata kebebasan manusia tidak di gunakan sebagaimana mestinya. Dalam nuansa kebebasan, seharusnya manusia bisa melakukan apapun selama itu tidak berkaitan langsung dengan kemanusiaan orang lain, namun karena ada satu kepercayaan akan adanya kehidupan akhir dan tuhan akan menghukum siapapun yang berbuat dosa, maka kebebasannya di kurung seperti merpati yang tidak bisa keluar dari sangkarnya. 

Kenyataan tersebut memang terjadi di abad pertengahan, yakni kekuasaan gereja seolah-olah mengurung kebebasan manusia, bahkan ilmu pengetahuan yang tidak sesuai dengan ajaran kristen, maka ilmu pengetahuan tersebut di anggap salah, sehingga seorang pemikir yang mencoba untuk memperkenalkan pemikiran-nya itu dianggap melawan tuhan. Galilea Galilei menjadi satu contoh konkret untuk melihat bagaimana dominasi iman kristen telah menutup wajah ilmu pengetahuan.

Problem teologis kristen, teks bible dan pengalaman barat yang begitu trauma terhadap hegemoni gereja selama berabad-abad lamanya menjadi faktor utama bagi Nietzche menolak agama sebagai pengatur, karena selama periode kekuasaan gereja, agama dan tuhan telah mengurung kebebasan manusia. Melihat agama dan tuhan telah mengurung kebebasan manusia, dirinya lantas meninggalkan keyakinannya terhadap agama dan tuhan. 

Saat itulah dia memulai untuk melancarkan serangannya pada kaum-kaum agamais yang masih percaya kepada tuhan. Melalui bukunya yang berjudul “Thus Spake Zarathustra” dirinya mengkritik dengan keras tokoh agamais melalui karakter yang bernama Zarathustra. Melalui karaketer tersebut, Nietzche mengungkapkan kekesalannya dengan pernyataan “jika teologi masih membelenggu dan mendominasi aturan dan nilai yang berlaku dalam kehidupan masyarakat, maka yaknilah filsafat dan ilmu pengetahuan tidak akan pernah berkembang”. Pernyataan tersebut tidak langsung datang tanpa alasan dari Nietzche, melainkan dengan alasan-alasan yang bisa di pertanggungjawabkan.

Berdasarkan jejak rekam sejarah, di abad pencerahan skeptis dan revolusioner, memang saat itu agama secara alami bergerak berciri konservatif, devensif, bersekutu dengan kekuasaan dan kaum elit. Sebagai contoh misalnya Gereja Katolik Prancis di abad ke XVIII, yang pasti dalam banyak kasus agama memang terbukti konservatif, elitis, dan bersekutu dengan kekuatan-kekuatan penindas. 

Seperti dikutip oleh Muhammad Legenhausen di abad-abad pertengahan, istilah extra ecclesiam nulla salus (tidak ada keselamatan di luar gereja), dan extra ecclesiam nullus propheta (tidak ada nabi di luar gereja), menjadi bahasa-bahasa yang mesti di dengar setiap hari. Hal itulah yang mengharuskan Martin Luther menempelkan 95 tesis sebagai bentuk perlawanan tertulis terhadap penyimpangan Gereja Katolik yang kelak Akibatnya, menimbulkan perang dan saling membantai antara pengikut dari Gereja Katolik dengan Protestan. 

Kenyataan-kenyataan yang terjadi Pada abad ke-13 dan seterusnya yang menampilkan tokoh-tokoh agamais yang mewakili keyakinan Katolik mendirikan peradilan-peradilan khusus untuk menghukum orang-orang yang di anggap menyimpang dari katolik, sehingga bagi yang menyimpang dari keyakinan tersebut akan di bakar. Peter de Rosa, dalam bukunya, Vicars of Christ: The dark Side of the Papacy, mencatat, bahwa sikap itu menambah kemunafikan menjadi kejahatan gereja. (it merely added hypocricy to wickedness), karena menurutnya yang sangat mengherankan dalam soal ini adalah penggunaan cara siksaan dan pembakaran terhadap korban yang di lakukan oleh gereja saat itu. Hal-hal itulah yang kemudian mengharuskan Nietzche menolak dominasi keyakinan-keyakinan tertentu, dan bila perlu keyakinan itu harus di bumi hanguskan.

Berangkat dari latar belakang tersebutlah, Nietzche berkonsentrasi pada pengungkapan tentang eksistetensi keberadaan manusia yang bebas. Pandangan yang berkonsentrasi pada eksistensi manusia meniscayakan bahwa dalam kehidupan, manusia memegang peran yang sentral, sehingga norma, budaya, agama maupun keyakinan tidak berpengaruh pada kehidupan manusia. Oleh karenanya, di perpustakaan pemikirannya, Nietzche di sebut sebagai penganut aliran Nihilisme. 

Dalam corak pemikiran Nihilisme, orang-orang membaca bahwa ajaran ini menghendaki bahwa manusia harus melepaskan keyakinannya, karena keyakinan tidaklah sepenuhnya benar. Namun jika di tinjau berdasarkan konsep pemikirannya, nihilisme sesungguhnya mengharuskan bahwa manusia memiliki kebebasan, dan kebebasan tersebut harus di gunakan. Meminjam pemikiran Deridda, bahwa bahasa itu selalu mengambang dan multi tafsir, oleh karenanya, keterangan dari Nietzche memang harus di pahami berdasarkan alur sejarah dan konteks keadaan pada waktu itu.

Berbekal argumentasi yang ketat dengan ciri pemikiran yang Avorisme dalam gaya Filsafatnya, Nietzche mengukur kebebasan manusia baru bisa di realisasikan manakala manusia telah menolak sistem, baik itu sistem keyakinan, sistem budaya, keyakinan akan roh maupun tuhan harus terlebih dahulu di lepaskan, karena sistem tersebut merupakan penjara. Jika sistem tersebut tidak di lepaskan maka manusia pasti terbelenggu dengan kondisi moral yang tidak menentu. Menurut Nietzche, manusia harus terbebas dari makna absolute yang menjamin dirnya dan dunianya, dan kondisi ini tidak akan pernah tercapai tanpa adanya penilaian dan penolakan terhadap system yang melahirkan konsep tersebut, dan system yang paling mendasar mempengaruhi lahirnya konsep demikian menurut Nietzche adalah system metafisika lama yang selama ini berkembang pada masa sebelum Nietzche dan membelengu kebebasan dan kreatifitas manusia.

Ia berpendapat bahwa Sistem tentunya mengekang, mulai dari pikiran, keyakinan hingga tubuh, sehingga semangat mempromosikan gagasannya tentang nihilisme adalah gairah menolak sistem. Hal tersebut bahkan bisa kita lacak bukan hanya memalui argumentasi yang di ucapkan, namun melalui gaya tulisannya yang tidak sistematis yang hanya menampilkan kata-perkata atau paragraf yang tidak beraturan serta tidak terikat dari paragraf sebelum serta sesudahnya sesungguhnya menunjukkan bahwa ia berkomitmen agar sistem tersebut tidak mengekang.

Pada buku Der Wille zur Macht, Nietzsche membuka tulisannya dengan gagasan tentang nihilisme. Pada karyanya yang lain, yaitu Die Frohliche Wissenschaft juga di temukan konsepnya tentang Nihilisme. Dengan nihilisme ini, ia sebenarnya ingin mengatakan bahwa apa saja yang dahulu dianggap bernilai, absolut, dan sacral, kini sudah mulai pudar dan menuju keruntuhan, sehingga tidak ada lagi yang bermakna dan absolut. Nihilisme sebagai runtuhnya nilai dan makna absolutisme, meliputi seluruh bidang kehidupan manusia. Seluruh bidang ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu pertama, keagamaan, termasuk di dalamnya Tuhan dan moral. Kedua, ilmu pengetahuan. Runtuhnya dua bidang ini membuat manusia kehilangan jaminan dan pegangan untuk memahami dunia dan hidupnya. Singkatnya, nihilisme mengantarkan manusia kepada situasi krisis, karena seluruh kepastian hidup (Absolutisme) pasti akan runtuh.

Runtuhnya absolutisme akibat perkembangan pemikiran nihilisme Nietzche melahirkan corak kecendrungan kebebasan berkehendak (voluntarisme). Walaupun hampir mirip dengan yang di gambarkan oleh Arthur Schopenhauer (1788-1868) yang menyatakan bahwa manusia berkehendak sesungguhnya merupakan energi yang selalu menjadi daya pendorong untuk hidup. 

Dalam satu paragraf, Schopenheaur mengatakan bahwa menerima dunia hanya semata-mata sebagai ide merupakan pandangan yang sewenang-wenang. Kesadaran hanya merupakan sebagian dari hakikat manusia, hakikat manusia lainnya adalah “kehendak”. Kehendak menurut Schopenhauer merupakan dorongan, insting, kepentingan, hasrat, dan emosi. Dalam diri manusia pikiran-pikiran (rasio) hanya merupakan lapisan atas dari hakikat manusia. Watak manusia itu ditentukan oleh kehendaknya. Kehendak tidak mengenal payah, karena terjadi tanpa kesadaran, seperti halnya jantung berdetak, paru-paru, yang beraktifitas tanpa perlu dipikirkan. 

Bagi Schopenhauer, kehendak tidak hanya menjadi pendorong bagi aktifitas manusia, tetapi kehendak juga menjadi pendorong bagi gerak alam semesta (dunia), yaitu sebagai kehendak dunia. Di sini kehendak seolah-olah berperan sebagai daya hidup dalam dunia, kehendaklah yang menghidupi dunia dan menjadi motor penggerak perkembangan dunia dan manusia. Dengan demikian kehendak bagi Schopenhauer menjadi daya pendorong hidup segala hal, sehingga pengertian kehendak diletakkan sebagai kehendak untuk hidup.

Di perpustakaan Nietzche, argumentasi Schopenhaur di reifikasi menjadi kebebasan berkehendak untuk berkuasa. Dalam reifikasi argumentasi Schopenheaur, Nietzche menuturkan bahwa manusia tidak hanya memiliki kehendak untuk hidup, namun tentunya manusia juga memiliki satu kehendak untuk berkuasa. Sehingga dalam membentengi argumentasinya, Nietzche hendak meniadakan segala sesuatu yang berkuasa, walau tuhan sekalipun. Dengan kehendak berkuasa inilah manusia kemudian bisa menjadi manusia unggul (Uebermench). Oleh karenanya jika kita ingin melacak pemikiran Nietzche, kita pasti akan menemukan bahwa pijakan dasarnya adalah Nihilisme, kemudian ia beranjak menuju manusia unggul. Lalu apa itu manusia unggul menurut Nietzche?

Bagi Nietzche, manusia bukanlah makhluk yang bersumber dari supranatural, oleh karenanya yang penting dalam diri manusia adalah badannya bukan jiwanya. Sehingga kekuatan fisik sangat di butuhkan bagi dirinya agar dapat tumbuh dan berkembang dengan lebih baik. Berdasarkan kekuatannya, individu manusia terklasifikas ke dalam dua kelompik, yakni yang bermoral budak (herden moral) dan moral tuan (herren moral). Sebagai konsekuensi dari keinginan Nietzche untuk menciptakan tipe manusia unggul, maka tujuan hidup manusia tidak lah lain untuk berkuasa. Di samping itu, harus memenuhi berbagai Prasyarat, seperti mengubah sistem atas kemampuan sendiri dan mengenal diri sendiri. Dalam hal mengenal diri sendiri, hal utama yang perlu di persiapkan adalah menggali kebenaran yang bersifat objektif.

Dalam melacak kebenaran pada zamannya, Nietzche melihatnya sebagai kebenaran metafora atau kebenaran ilusi, karena saat itu, dominasi wilayah keyakinan sudah di anggap sebagai kebenaran final, sehingga dirinya menyebut sebagai kebenaran metafora. Diagnosisi tersebut tidak bisa di pisahkan dari zamannya dan sejarah panjang. Impilakasinya tentu akan mengarah pada satu analisa bahwa kebenaran saat itu hanyalah pengalihan yang tidak bersesuaian langsung dengan realitas sebagaimana adanya, karena tidak ada kebenaran yang sesungguhnya yang memang di anggap sebagai kebenaran yang berdikari, melainkan hanya keyakinan yang terus menciderai nilai kebenaran. Bahkan, ungkapan metafora oleh Nietzche adalah semacam pemanusiaan (antropomorfisme) terhadap realitas yang dihadapinya. Walhasil, kebenaran adalah ilusi yang telah dilupakan sebagai ilusi dan dipegang atau diyakini sebagai realitas yang sesungguhnya.

Demikianlah Nietzche, di dapur dirinya telah di didik sedemikian rupa oleh keluarga yang terlahir dari darah kristen yang berpredikat seorang pendeta sehingga Di dapur pemikiran yang bersifat privat yakni pembicaraan mengenai tuhan beserta latar belakangnya, Nietzche lantas menyeret permasalah tersebut agar di bicarakan dalam ruangan perpustakaan terbuka sehingga bisa di pertengkarkan secara objektif. Kini wacana metafisika di lempar ke dunia yang menerima realitas sebagaimana layak adanya. Pelemparan tersebut di bicarakan dalam wilayah yang lebih realistis di ruangan perpustakaannya, sehingga ia menguji kelayakan keyakinan yang di anut oleh pendahulunya. Melalui pengujian di dapatkan bahwa agama sebenarnya merupakan sumber segala penderitaan dan kemiskinan berkepanjangan dan pertumpahan darah, oleh karenanya ia berkomitmen untuk menolak sistem ketuhanan maupun agama dengan mengajukan satu solusi bahwa manusia harus bersikap bebas dan tidak terbelenggu. Ketika manusia telah bebas, maka manusia akan menjadi makhluk yang unggul. Ke unggulan tersebut bisa kita temukan melalui pencarian jati diri menggunakan rasio tanpa melibatkan sesuatu yang adi kodrati layaknya yang di perbincangkan oleh para teolog-teolog sebelumnya.

Menuju Gerbang Akhir Senjakala Modernitas: Pembunuhan Tuhan dan Pembantaian Ontologis Nietzche 

Sebagaimana yang kita ketahui jika Modernisme adalah anak kandung dari era-Renaisance. Hal tersebut di ungkapkan oleh Adisusilo yang mencatat awal kemunculan zaman modern ini dimulai dari kebangkitan renaissance pemikiran masyarakat Eropa terhadap model-model pemikiran yang berkembang di zaman Romawi. Istilah renaissance (Bahasa Prancis) berasal dari kata rinascita (Bahasa Italia) yang artinya kelahiran kembali. Pertama kali istilah Rennaisance diperkenalkan oleh Giorgio Vasari pada abad ke-16 untuk menggambarkan semangat kesenian Italia mulai abad ke14 hingga ke-16 yang bernapaskan semangat kesenian Yunani dan Romawi kuno.

Menurut Burckhardt dalam Adisusilo (2013: 68) bahwa renaissance bukan sekedar kelahiran kembali kebudayaan Romawi dan Yunani kuno tetapi merupakan kebangkitan kesadaran manusia sebagai individu yang rasional, sebagai pribadi yang otonom, yang mempunyai kehendak bebas dan tanggung jawab. Manusia bebas, rasional, mandiri dan individual merupakan prototipe manusia modern, manusia yang sanggup mempunyai keberanian untuk memandang dirinya sebagai pusat alam semesta (antroposentris) dan bukan Tuhan sebagai pusatnya (teosentris). Manusia tidak lagi berpegang pada prinsip momento mori (ingatlah bahwa engkau akan mati) tetapi diganti dengan semboyan carpe diem (nikmatilah kesenangan hidup).

Hubungan erat antara Renaisance dengan momentum kelahiran era-Modern telah membunuh beragam keyakinan atas kuasa adi kodrati. Di akhir senjakala modernitas, diskursus mengenai tentang tuhan dan agama yang telah di bicarakan sejak era Plato telah berakhir mengenaskan. Jauh sebelum era Modernitas, pertanyaan-pertanyaan ontologis tentang apa yang ada, bagaimana sesuatu itu bisa di katakan ada hingga menuju pada puncak pertanyaan apakah tuhan itu ada merupakan pertanyaan layak di pertengkarkan dan mendapatkan jawaban dengan berbagai jenis kepercayaan yang lahir dari mitos-mitos tertentu, namun di era modernitas, jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak lagi mewakili keyakinan akan sesuatu yang bersifat adi kodrati, karena semuanya sudah mampu di jelaskan secara metodologis ilmu pengetahuan. Hal tersebut turut di pengaruhi oleh pahaman evolusi Darwins yang menganggap bahwa semua berjalan sesuai hukum evolusi.

Pahaman evolusi Darwins dan pahaman Humanisme yang mengambil tempatnya di panggung Renaisance benar-benar melahirkan satu corong kebrutalan manusia. Laju perkembangan pemikiran Evolusi Darwins Sebagaimana yang di ungkap oleh John F. Haught, menghantam persis jantung teologi dengan menyatakan bahwa segala sesuatu yang berada di alam semesta tumbuh berkembang secara evolutif dari hal yang sangat sederhana, dengan acak-acak dan serba kebetulan. Bahkan bagi Graham Ward, teologi adalah bentuk diskursus tentang cita yang di arahkan pada sesuatu yang lain dam mustahil. Sehingga teori Evolusi Darwins telah mengubah wajah kehidupan dan melempangkan jalan menuju atheisme.

Pada kasus seputar teori evolusi Darwin misalnya, dia telah mengubah world view secara radikal lewat dua mantra ajaibnya: “seleksi alam” (natural selections) dan “yang layak yang akan terus hidup” (survival of the fittest). Walaupun Iistilah ini dimunculkan lebih dulu oleh Herbert Spencer saat membahas filsafat evolusi tapi diskursus tentang Evolusi meledak saat dipopulerkan setelah oleh Darwin. Darwin dianggap memisahkan Tuhan jauh-jauh dari tindakan penciptaan, meski ada yang berpandangan bahwa “menciptakan sesuatu dengan potensi evolusi bawaan adalah lebih hebat daripada menciptakan suatu entitas yang baku”.

Abad ini memberikan satu keyakinan penuh bahwa pertanyaan-pertanyaan ontologis tentang tuhan telah berakhir sepenuhnya, dan tuhan menjadi sesuatu yang tidak layak lagi untuk di perdebatkan layaknya pemikir-pemikir teologi dahulu. Sebagaimana satu ungkapan komentar Michel Foucault dalam salah satu wawancara mengenai suatu masa kematian Tuhan dan pembantaian Ontologis“…Manusialah yang akhirnya menyadari kebebasannya; akhirnya, , kematian Tuhan menandai berakhirnya metafisika, walaupun pada akhirnya Tuhan tidak digantikan oleh manusia, dan ruang itu tetap kosong”

Referensi:

Anam, N. Dekonstruksi God-Consciousness Tuhan New Nietzsche Di Abad Post-Tuhan (Abad Kematian Massal Tuhan). Al-‘Adâlah, 14.

Armstrong, K. (2017). Fields of Blood: Mengurai Sejarah Hubungan Agama dan Kekerasan. Mizan Pustaka.

Aryati, A. (2018). Memahami Manusia Melalui Dimensi Filsafat (Upaya Memahami Eksistensi Manusia). El-Afkar: Jurnal Pemikiran Keislaman dan Tafsir Hadis, 7(2), 79-94.

Haught, J. F. (2002). God After Darwin Tuhan Sesudah Darwin Teologi Evolusioner.

Heelas, Paul, Tentang Diferensiasi dan Dediferensiasi: Sebuah Kata Pengantar, dalam buku, Agama Sudah Mati?, Ed. Paul Heelas, dkk. (Jakarta: Mediator, 2003)

DE L’ESTUDIANT, N. O. M., Górriz, E. B., & Andrés, R. Reconstructing the Narrative.

143-150.

Fitriyana, N. F. N. (2016). Inkuisisi Gereja Katolik Terhadap Umat Islamdi Spanyol. Jurnal Ilmu Agama: Mengkaji Doktrin, Pemikiran, dan Fenomena Agama, 17(2), 213-230.

Foucault, M. (1999). Agama, Seksualitas, Kebudayaan: Esai, Kuliah Dan Wawancara Terpilih Michel Foucault. Edited by Jeremy R. Carrete. Yogyakarta: Jalasutra.

Francis, K. A. (2006). Charles Darwin and the origin of species. Bloomsbury Publishing USA.

Haught, J. F. (2002). God After Darwin Tuhan Sesudah Darwin Teologi Evolusioner.

Heelas, Paul, Tentang Diferensiasi dan Dediferensiasi: Sebuah Kata Pengantar, dalam buku, Agama Sudah Mati?, Ed. Paul Heelas, dkk. (Jakarta: Mediator, 2003)

Hidayat, S. (2014). Sacred Science vs. Secular Science: Carut Marut Hubungan Agama dan Sains. Kalam, 8(1), 87-102.

Karimuloh, A. (2003). Kritik Nietzsche Terhadap Metafisika Dalam Pemikiran Filsafat

Mas' udi, M. Posmodernisme Dan Polemik Keberagamaan Masyarakat Modern (Antitesis Posmodernisme Atas Dinamika Kehidupan Modernisme). Fikrah, 2(2), 61070.

Misbahuddin, M. G. METAFISIKA: NASR DAN NIETZSCHE (Studi Komparasi) (Bachelor's thesis).

Munir, M. (1997). Filsafat Voluntarisme. Jurnal Filsafat, 1(1), 15-24.

Munir, M. (2006). Voluntarisme (Filsafat Kehendak) dalam Filsafat Barat. Jurnal Filsafat, 16(3), 309-321.

Muslih, M. (2018). Konsep Tuhan Nietzsche dan Pengaruhnya terhadap Pemikiran Liberal. Kalimah: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, 16(2), 136-157.

Nietzsche, F. (2022). The gay science. DigiCat.

Nietzsche, F. (2008). Thus spoke Zarathustra: A book for everyone and nobody. Oxford University Press.

Nietzsche, F. W. (1929). Beyond good and evil (p. 300). Modern Library, Incorporated.

Nietzsche, F. W. (1995). Beyond good and evil: On the genealogy of morality.

Nietzsche, F. W. (1896). The Case of Wagner: The Twilight of the Idols; Nietsche Contra Wagner;[The Antichrist] (Vol. 11). Macmillan & Company.

Nietzsche, F. (2004). Ecce homo (1888). On the Genealogy of Morals and Ecce Homo, 197-344.

Pradnyayanti, L. P. S., & Safira, D. M. A. I. (2021). Kehendak Untuk Berkuasa Dan Manusia Unggul Dalam Perspektif Friedrich Nietzche. Vidya Darsan: Jurnal Mahasiswa Filsafat Hindu, 2(2), 143-150.

Purwanto, M. R. (2005). Filsafat Eksistensial Nietzsche dan Wacana Agama: Studi Filsafat Nietzsche dan Kontribusinya dalam Dekonstruksi Wacana Agama.

Ritzer, G. (2004). Teori sosiologi modern. Pustaka Belajar

Safi’I (2020), Memahami Konsep Manusia Unggul Versi Friedrich Nietzsche dan Muhammad Iqbal, SeAP (Southeast Asian Publishing).

Sutarjo, A. R. (2013). Sejarah Pemikiran Barat: Dari yang Klasik Sampai yang Modern. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Tandyanto, Y. (2015). Membaca'Kebenaran'Nietzsche. Melintas, 31(2), 130-153.

*) Penulis adalah mahasiswa aktif Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) Universitas Muhammadiyah Bima. Selain selalu fokus Dengan studi Ilmu Hukum Tata Negara melalui beberapa tulisannya, ia juga aktif dalam menulis opini tentang Filsafat. 

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال