Apakah Benar Darah itu Najis ?



Kita tahu, bahwa dalam pandangan Islam, darah memiliki martabat yang tinggi karena merupakan bagian penting dari kebersihan dan kesucian jasmani manusia. Sekalipun demikian, zat yang terkandung dalam darah menuai pro dan kontra yang berkaitan dengan najis dan tidaknya darah, apabila digunakan atau dimanfaatkan dalam hal kesehatan maupun dalam ibadah amaliyah.

Semua para ulama setuju bahwa menemukan pengobatan untuk kesembuhan sangat penting dan hukumnya wajib. Namun, pengobatan itu harus berasal dari benda yang halal (tidak najis). Dan, kita tidak boleh menggunakan benda yang kotor atau najis ini (darah) sebagai obat dalam keadaan normal, kecuali dalam keadaan darurat.

Rupanya, ini diharamkan oleh mazhab Maliki, Hambali, dan mayoritas mazhab Hanafi. Akan tetapi, sebagian ulama mazhab Hanafi dan Syafi’i membolehkan penggunaan benda najis sebagai obat apabila tidak ada benda suci yang dapat digunakan sebagai penggantinya. Imam An-Nawawi dari mazhab Syafi’i menyebutkan:

 وَإِنَّمَا يَجُوْزُ التَّدَاوِي بِالنَّجَاسَةِ إِذَا لَمْ يَجِدْ طَاهِرًا يَقُوْمُ مَقَامَهَا، فَإِنْ وَجَدَهُ حُرِّمَتِ النَّجَاسَاتُ بِلَا خِلَافٍ، وَعَلَيْهِ يُحْمَلُ حَدِيْثُ: "إِنَّ اللَّهَ لَمْ يَجْعَلْ شِفَاءَكُمْ فِيْمَا حُرِّمَ عَلَيْكُمْ،" فَهُوَ حَرَامٌ عِنْدَ وُجُوْدِ غَيْرِهِ، وَلَيْسَ حَرَامًا إِذَا لَمْ يَجِدْ غَيْرَهُ. قَالَ أَصْحَابُنَا: وَإِنَّمَا يَجُوْزُ إِذَا كَانَ الْمُتَدَاوِي عَارِفًا بِالطِّبِّ، يَعْرِفُ أَنَّهُ لَا يَقُوْمُ غَيْرَ هَذَا مَقَامَهُ، أَوْ أَخْبَرَ بِذَلِكَ طَبِيْبٌ مُسْلِمٌ

Artinya: “Sesungguhnya berobat dengan menggunakan benda najis dibolehkan apabila belum menemukan benda suci yang dapat menggantikannya. Apabila telah didapatkan obat dengan benda yang suci, maka haram hukumnya berobat dengan benda-benda najis, tanpa ada perbedaan pendapat tentang hal ini. Inilah maksud dari hadist: “Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesehatan kalian pada sesuatu yang diharamkan atas kalian.” Maka berobat dengan benda najis menjadi haram apabila ada obat alternatif yang tidak mengandung najis, dan tidak haram apabila belum menemukan selain benda najis tersebut. Sahabat-sahabat kami (Pengikut Madzhab Syafi’i) berpendapat: Dibolehkannya berobat dengan benda najis apabila orang yang berobat mengetahui ilmu perobatan. Ia mengetahui bahwa belum ada obat suci yang dapat menggantikannya, atau berobat dengan benda najis itu direkomendasikan oleh dokter muslim yang adil.” (An-Nawawi, Al-Majmu’, juz 9, halaman 55).

Ini membuktikan bahwa, penggunaan benda najis sebagai obat diperbolehkan jika belum ditemukan benda suci yang dapat digunakan sebagai penggantinya. Oleh karena itu, penggunaan benda najis sebagai obat menjadi tidak diperbolehkan jika ada alternatif obat lain yang dapat digunakan.

Lalu Apa Saja Jenis Darah?


Jika kita berbicara terkait jenis-jenis darah yang ada dalam tubuh manusia, ulama secara rinci membagi ke dalam dua jenis darah. Pertama yaitu darah mengalir, dan kedua darah yang tidak mengalir. Hal ini diperkuat dalam hadis yaitu: “Telah menceritakan kepada kami:Abu Mush’ab telah menceritakan kepada kami: Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari (Ayahnya) dari (Abdullah bin Umar), bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Telah dihalalkan buat kalian dua jenis bangkai dan dua jenis darah, dua jenis bangkai adalah; bangkai ikan paus dan bangkai belalang, sedangkan dua jenis darah adalah darah hati dan limpa.” (HR. Ibnu Majah).

Dari hadits ini, para ulama kemudian mengelompokkan cairan darah menjadi dua jenis, yaitu darah yang mengalir dan darah yang tidak mengalir. Jenis darah yang mengalir dan darah yang tidak mengalir.

Pertama, darah mengalir. Dalam bahasa arab ad-Damm yang jama’nya dima’ yaitu cairan berwarna merah yang mengalir di tubuh hewan ataupun manusia. Darah yang mengalir biasanya di temukan di dalam tubuh ataupun diluar tubuh secara terus-menerus yang dapat disebabkan oleh beberapa hal. Misalnya luka, cedera, atau kondisi tertentu di dunia medis seperti haid ataupun pendarahan internal yang terjadi pada tubuh.

Demikian juga dalam Islam, darah yang mengalir memiliki banyak definisi dan aturan yang berkaitan dengan ibadah dan syariat. Darah mengalir dianggap sebagai objek yang najis dan haram untuk di manfaatkan. Ini di sebabkan, karena baunya menjadi busuk saat darah tersebut terpapar udara, dan berada di luar tubuh.

Darah yang mengalir memiliki implikasi penting dalam menjalankan ibadah dan syariat. Pemahaman tentang aliran darah yang mengalir harus dipahami dengan baik, agar kita mampu bertindak dengan tepat dalam situasi yang membutuhkan penggunaan atau penanganan darah di beberapa kondisi, dalam hal ini untuk menjaga keselamatan dan kesehatan jiwa manusia. Jelasnya, golongan darah mengalir adalah, darah haid, nifas, dan darah hewan.

Kedua, darah yang tidak mengalir. Darah yang tidak mengalir juga memiliki beberapa definisi dan aturan yang ada dalam ibadah dan syariah. Dalam Islam, darah yang tidak mengalir mengacu pada darah yang menggumpal atau membeku. Dan, beberapa macam darah yang dalam Islam dihukumi tidak najis.

Salah satunya adalah darah yang tidak mengalir (beku) yang terdapat pada beberapa bagian organ-organ yang menjadi pusat berkumpulnya darah, seperti darah yang terdapat pada limpa, hati, jantung, dan darah yang tersisa diurat daging dari binatang yang halal.

Kenapa darah ini dikatakan halal atau tidak najis? Jawabannya karena darah yang mengalir di dalam tubuh sejatinya tidak termasuk zat yang najis, sehingga beberapa organ yang ada di dalamnya seperti: limpa, hati, jantung menjadi tidak najis pula.

Ringkasnya, mengenai hukum darah, khususnya darah yang mengalir, di kelompokkan menjadi dua yaitu: pertama, darah yang mengalir dengan deras atau memancar, baik darah tersebut keluar dari tubuh manusia, ataupun darah dari hewan yang halal. Darah ini yang tidak boleh dikonsumsi atau digunakan untuk kebutuhan lainnya khususnya obat-obatan.

Kedua, darah mengalir, namun darah tersebut tidak berbentuk darah mengalir dan tidak dihukumi najis, yaitu darah yang ada di dalam tubuh atau organ-organ tubuh yang tidak termasuk ke dalam asal-muasalnya darah menjadi najis seperti limpa, hati, dan jantung. Sebab, karena organ-organ ini yang menjadi pusat berkumpulnya darah (Baca: Yusuf Al-Qaradhawi, Fikih Thaharah, 23.).

Lalu Apakah Darah Najis?


Yang jelas, mengenai kenajisan darah, ulama menyatakan bahwa darah termasuk ke dalam hal yang najis. Dalil yang menunjukan kenajisan darah terdapat dalam firman Allah SWT:

قُلْ لَّآ اَجِدُ فِيْ مَآ اُوْحِيَ اِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلٰى طَاعِمٍ يَّطْعَمُهٗٓ اِلَّآ اَنْ يَّكُوْنَ مَيْتَةً اَوْ دَمًا مَّسْفُوْحًا اَوْ لَحْمَ خِنْزِيْرٍ فَاِنَّهٗ رِجْسٌ اَوْ فِسْقًا اُهِلَّ لِغَيْرِ اللّٰهِ بِهٖۚ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَّلَا عَادٍ فَاِنَّ رَبَّكَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

Artinya: “Katakanlah, “Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya, kecuali daging hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir, daging babi karena semua itu kotor atau hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah. Tetapi barangsiapa terpaksa bukan karena menginginkan dan tidak melebihi (batas darurat) maka sungguh, Tuhanmu Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Al-An’am: 145).

Suatu waktu, Rasullullah diminta untuk menjelaskan apa yang dilarang oleh Allah Swt., sampai saat ayat ini turun. Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad Saw., bahwa larangan atas nama Allah Swt. hanya dapat dilakukan berdasarkan wahyu yang jelas, baik dalam bentuk teks dan makna seperti al-Qur’an, atau melalui pengajarannya seperti Sunnah, atau melalui penalaran terhadap petunjuknya. Rasulullah belum menerima wahyu yang melarang makanan kecuali yang diharamkan oleh Allah, seperti makanan yang berasal dari bangkai atau darah yang mengalir karena semuanya dianggap sebagai kotoran (rijs) oleh Allah Swt.

Sebagaimana yang dikutip oleh Quraish Shihab, bahwa Thahir In Asyur menyatakan saat turun ayat ini, tidak ada wahyu al-Qur’an yang mengharamkan makanan yang disebutkan dalam ayat tersebut. Meskipun hal ini disebutkan dalam surat Al-Ma’idah, namun ayat-ayat surah al-Ma'idah diturunkan di Madinah setelah turunnya surah Al-An’am.

Karena itu, menurutnya firman Allah Swt.: Sesungguhnya apa yang diwahyukan kepadaku adalah wahyu yang aku peroleh melalui pengajarannya, yakni as-Sunnah. Jika yang dimaksud dengan wahyu oleh ayat ini adalah al-Qur’an, maka “pengecualian” yang disebut pada lanjutan ayat ini belum ditemukan.

Artinya, karena belum ada ayat sebelum ayat ini yang membahas tentang keharaman binatang-binatang tertentu. Sedangkan ayat ini mengecualikan sesuatu dari wahyu Allah Swt., maka tentu saja wahyu yang dimaksud bukanlah ayat al-Qur’an, melainkan Sunnah. Wallahu a’lam bisshawab.

Salman Akif Faylasuf

Salman Akif Faylasuf. Alumni Ponpes Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang nyantri di Ponpes Nurul Jadid, sekaligus kader PMII Universitas Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال