Peran Santri Modern Mendalami Agama, Untuk Memajukan Negara

(Sumber Gambar: Redaksi Kuliah Al-Islam)


KULIAHALISLAM.COM - Peringatan Hari Santri Nasional merupakan suatu agenda tahunan yang diperingati oleh semua masyarakat terutama di kalangan santri dalam pondok pesantren dengan berbagai macam kegiatan. Peringatan Hari Santri penting direfleksikan dan menjadi momentum guna memupuk sikap nasionalisme dan menggelorakannya dalam aktualisasi kebangsaan. Salah satu aktualisasi yang dibutuhkan bangsa di era sekarang adalah jihad membangun bangsa. Kesungguhan dalam membangun bangsa mesti ditunjukkan dan dibuktikan oleh semua komponen bangsa.

Adanya Hari Santri Nasional digunakan sebagai momentum untuk meneladani semangat jihad kebangsaan pahlawan terdahulu, semangat kebangsaan, semangat cinta tanah air, semangat rela berkorban untuk bangsa dan negara Indonesia.

Penetapan Hari Santri Nasional merupakan hal yang membanggakan bagi kalangan ulama dan santri. Perjuangan para ulama dan santri terdahulu serta kontribusi ulama dan santri pada masa sekarang akhirnya mendapatkan apresiasi dari pemerintah dalam bentuk Hari Santri Nasional.

Presiden Joko Widodo menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional pada tanggal 22 Oktober 2015 melalui Keputusan Presiden Nomor 22 tahun 2015 yang ditandatangani pada 15 Oktober 2015. Penetapan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional ini merupakan pengakuan resmi dari pemerintah terhadap kontribusi ulama santri serta umat Islam dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.

Keputusan Presiden No. 22 tahun 2015 Tentang Hari Santri muncul sebagai sebuah realisasi dari janji antara Jokowi dan pimpinan Pondok Pesantren Babussalam Malang H. Thariq Darwis pada masa kampanye pemilihan presiden tahun 2014. Sebelum diputuskan menjadi sebuah Keppres, Hari Santri merupakan sebuah wacana yang tujuannya sebagai sebuah apresiasi sejarah, namun setelah direalisasikan, Keppres Hari Santri dianggap sebagai sebuah keputusan yang bernuansa politik oleh sebagian kelompok yang menolak. Dalam peringatannya, Hari Santri tidak disertai dengan hari libur Nasional. Hal tersebut yang kemudian menjadikan Hari Santri sebagai perbincangan dalam masyarakat.

Maksud Utama Hari Santri Nasional

Penulis menemukan empat maksud utama munculnya Keputusan Tentang Hari Santri, diantaranya pertama, hubungan Santri dan Nasionalisme. Hubungan antara Santri dan Nasionalisme dalam sejarah merujuk pada peran serta kontribusi para Kyai dan Santri (pesantren) dalam upaya mempertahankan kemerdekaan atas Belanda (NICA) yang kemudian dituangkan dalam sebuah Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 yang disampaikan oleh K.H. Hasyim Asy’ari. Kedua, bagian dari komunikasi politik. Merujuk pada fakta bahwa Keppres Hari Santri muncul berawal dari proses komunikasi antara Jokowi dan K.H. Thariq Darwis (Malang) ketika masa kampanye. Ketiga, penguatan identitas Santri. Keppres tentang Hari Santri Muncul sebagai sebuah pengakuan identitas terhadap kaum Santri. Keempat, Hari Santri sebagai sebuah simbol umat Islam khususnya Pesantren.

Dalam penetapannya, Keppres Tentang Hari Santri merujuk pada alasan sejarah yang tercantum dalam isi Keppres No. 22 Tahun 2015. Meskipun dipengaruhi nuansa politik dalam pewacanaannya, Hari Santri telah melalui proses administrasi serta musyawarah dari berbagai Ormas Islam di Indonesia. Hari Santri diharapkan mampu memicu semangat serta dedikasi Santri dan Pesantren dalam upaya menciptakan generasi intelektual Agama melalui pendidikan Pesantren, serta kontribusi dalam dalam penyelesaian masalah sosial, politik, ekonomi yang berasaskan nilai-nilai keislaman.

Mengisi Kegiatan Hari Santri

Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi yang ada di Indonesia menjadikan bangsa ini terlena serta membuat nilai-nilai kebangsaan memudar dan dapat menimbulkan dampak yang kurang baik untuk bangsa yaitu kemerosotan generasi saat ini. Peran pondok pesantren disini sangatlah penting untuk menanamkan nilai kebangsaan santri melalui kegiatan yang ada di pesantren, apalagi nilai kebangsaan di kalangan santri sudah mulai banyak yang memudar disebabkan karena adanya budaya luar yang masuk di lingkungan pesantren dan akhirnya banyak ditiru oleh kalangan santri di pesantren.

Berdasarkan deskripsi data ditemukan bahwa: Pertama, tergambarkan dalam kegiatan pelaksanaan Hari Santri Nasional di pesantren yaitu dengan melakukan upacara bendera merah putih dengan pemberian amanat dari pembina, pembacaan UUD NKRI 1945, pancasila, janji santri dan melakukan penghormatan kepada bendera merah putih diiringi dengan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya serta melakukan perlombaan-perlombaan seperti lomba pidato dengan menyampaikan materi bertema kebangsaan dan Hari Santri Nasional, lomba beauty santri dengan berkreasi membuat busana dari sarung batik serta tanya jawab materi keislaman, serta lomba perkusi dengan berkreasi membawa alat musik dari lingkungan sekitar dan membawakan lagu Hari Santri Nasional. Nilai-nilai kebangsaan yang muncul dalam kegiatan tersebut yaitu nilai religius, nilai produktivitas, dan nilai demokrasi.

Makna Pondok Pesantren

Dalam proses pembentukan karakter tidaklah cukup hanya mengandalkan pendidikan yang diberikan di sekolah saja, akan tetapi perlu dukungan dan kerja sama dengan lembaga pendidikan diluar sekolah, di antaranya melalui pendidikan Pondok Pesantren. Di era globalisasi pesantren dianggap sebagai tempat yang dominan untuk pembentukan karakter yang ideal. Pesantren juga memiliki ciri khas yang sangat kuat dan lekat. Pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia selalu mengupayakan santrinya untuk memiliki sifat akhlakul karimah.

Pondok pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam yang ada di Indonesia tentunya juga memiliki tujuan sebagaimana tersebut di atas. Lebih dari itu, pondok pesantren yang berciri khas keislaman memiliki tanggung jawab lebih besar untuk melahirkan santri yang cerdas keagamaannya, juga dalam kedisiplinannya.

Tujuan pendidikan di pondok pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT, berakhlak mulia, disiplin dalam kehidupan, mandiri, bebas dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan agama Islam dan kejayaan umat Islam di tengah-tengah masyarakat ('izzatu al-Islâm wa al-muslimîn), dan mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian Indonesia.

Di sepanjang hidupnya manusia akan terus mengalami perubahan situasi, sehingga dibutuhkan kesiapan mental dan kemampuan penyesuaian diri agar bisa bertahan di lingkungan baru tersebut. Pun di pondok pesantren. Pola kehidupan serba disiplin dan padatnya jadwal yang diterima santri akan memberikan dampak lain pada kehidupannya, sementara itu santri juga dituntut untuk hidup mandiri terpisah dari orang tua. Secara garis besar, Dhofier (1985) membagi pondok pesantren menjadi dua macam yakni pondok pesantren tradisional (salafi) dan modern (khalafi). Pada pondok pesantren tradisional, kiai mengajarkan ilmu agama langsung kepada santri dengan cara sorogan (individual) dan bandongan (kelompok), tidak ada penjenjangan belajar, kiai memiliki otoritas besar dan mutlak ditaati, serta kebanyakan tidak memberikan ijazah sebagai tanda keberhasilan belajar. Sedangkan pondok pesantren modern merupakan pencampuran antara sekolah umum dengan tradisi pesantren, serta hubungan santri-kiai lebih bersifat fungsional.

Pondok pesantren selain sebagai tempat mencari ilmu bagi santri, juga sebagai tempat tinggal sehari-hari. Santri tinggal dan menuntut ilmu di pondok selama waktu tertentu untuk mendalami ajaran Islam, untuk itu selain mendidik santri dalam bidang akademis seperti nahwu, shorof dan tafsir, pondok juga berkewajiban untuk mendidik santri dalam bidang non akademis seperti etika dan norma. Setiap pondok pesantren memiliki keunikan dan karakter tersendiri dalam menata manajemen operasionalnya, Untuk itulah pondok memerlukan manajemen yang baik dalam membantu mobilitas kegiatan santri baik dalam bidang akademis ataupun non-akademis.

Pesantren merupakan lembaga pendidikan islam tertua di Indonesia. Peran kiai dalam membentuk karakter santri, sejalan dengan apa yang dilakukan santri kepada kiainya, yakni santri sangat patuh kepada kiainya. Kiai sangat berpengaruh dalam kemajuan pesantren, karna kyai merupakan elemen paling pokok dari sebuah pesantren.

Peran kiai dalam menanamkan keta’dhiman santri kepada guru, hal ini terlihat dengan kehidupan santi-santri dengan keta’dhimannya bahkan dengan kaka kelasnya sekalipun, Pada diri kiai terdapat suatu sifat baik sehingga dengan sifat baik para santri memposisikan kiai tersebut sebagai Uswatun Khasanah, dan juga adanya kepedulian kiai terhadap santri sehingga setiap hari santri selalu diberi mau’idhoh tentang ajaran islam, termasuk mengenai keta’dhiman tersebut.

Kontribusi Santri Modern Berkemajuan

Nurcholish Madjid menyebut dua pendapat tentang asal usul kata santri.  Pendapat tentang asal usul kata santri. Pertama, kata santri berasal dari kata “shastri” dalam bahasa Sansekerta yang artinya melek huruf. C.C.Berg mengartikan shastri dengan orang yang tahu buku-buku suci Agama Hindu.

Pendapat ini merujuk kepada para santri yang berusaha mendalami agama melalui kitab-kitab bertulisan Arab asli maupun arab pegon. Kedua, kata santri berasal dari kata “cantrik” dalam bahasa Jawa berarti seseorang yang selalu mengikuti seorang guru kemana guru ini pergi menetap. Pengamat lain, A. H. John berpendapat bahwa santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru mengaji (Dhofier, 1982: 18). Dengan demikian, dari pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa santri adalah seseorang yang mendalami agama melalui kitab-kitab dengan mengikuti guru atau kyai.

Masa kemerdekaan adalah masa-masa para santri berperan baik dalam jalur diplomasi politik dan diplomasi maupun militer. Pada jalur Politik, tokoh tokoh pergerakan tergolong kaum santri seperti K.H. Abdul Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, Mr. Mohamad Roem, Abukusno Tjokrosujoso (Adik H.O.S. Cokroaminoto), H. Agus Salim dan lain sebagainya beberapa juga tergabung dalam anggota BPUPKI.

Di bidang militer lahir laskar Pembela Tanah Air pada bulan November 1943 lalu diikuti oleh kelahiran laskar Hizbullah beberapa minggu kemudian (Zuhri, 1987: 221-222). Kedua badan kelaskaran ini meskipun dibentuk awalnya untuk membantu Jepang, namun kedua badan kelaskaran tersebut menjadi cikal bakal BKR/TKR yang merupakan institusi militer pertama di republik Indonesia dan yang menjadi persamaan kedua badan kelaskaran tersebut adalah keterlibatan kaum santri di dalamnya.

Keterlibatan kaum santri berikutnya adalah dalam mempertahankan kemerdekaan. Resolusi Jihad yang dicetuskan oleh K.H. Hasyim Asy’ari adalah bentuk keterlibatan nyata para santri dalam menjaga dan mempertahankan tanah airnya dari penjajah yang ingin kembali menguasai Indonesia dengan jargonnya “hubbul wathoni minal iman”.

Para santri dahulu berjuang dengan mengangkat senjata demi memetik cita-cita merdeka dari penindasan penjajah. Sebab, penjajahan membuat diri masyarakat terancam, sukar melaksanakan keagamaan, harta pun dijarah, hingga martabat pun di koyak-koyak.

Memerangi mereka yang telah berbuat demikian adalah suatu kewajiban bagi setiap individu. Hal itu juga merupakan sikap patriotik santri. Mereka rela meninggalkan pengajiannya jika perang sudah diperintahkan oleh sang kiai.

Namun, hari ini di tengah bangsa yang sudah merdeka, tentu bentuk patriotisme bukan lagi dengan mengangkat senjata berupa senapang dan bambu runcing, melainkan kontribusi kita melalui ilmu pengetahuan, santri mampu menaruh kontribusinya di dalam pembangunan fisik negeri. Dengan pengetahuan kebudayaannya, santri dapat menyumbangkan pemikiran dan tenaganya untuk melestarikan tradisi yang sudah berlangsung sejak dulu, menciptakan inovasi, dan terus mengkreasikannya sehingga terus hidup di tengah globalisasi yang mengikis lokalitas.

Dulu para santri di samping sebagai orang yang mengkaji ilmu agama kepada kiyai, mereka juga berperan sebagai sosok pahlawan yang berjuang untuk meraih kemerdekaan RI dari tangan penjajah dengan menggunakan senjata berupa bambu runcing yang berlandaskan semangat jihad fisabilillah. Kini peran santri milenial dengan pendahulunya.

Santri milenial berperan aktif sebagai promotor dan kreatif merespon perkembangan zaman. Selain santri milenial yang rajin mengaji, menekuni ilmu keislaman, mengabdi kepada guru, mereka juga harus melek terhadap perkembangan teknologi informasi dan ilmu pengetahuan serta cakap dalam memainkan peranannya dengan itu diharapkan santri milenial dapat membantu dalam mewujudkan Indonesia berkemajuan.

Fitratul Akbar

Penulis adalah Alumni Prodi Ekonomi Syariah, Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Malang

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال