Menggali Aspek-aspek Yang Terpinggirkan dalam Sejarah Pemikiran Filsafat


Penulis: Kendra Lanang Zaky Mawardi*

Pertemuan antara agama dan ilmu sosial harus dilihat dalam dua dimensi, normatif dan historis. Dimensi normativitas menitikberatkan pada ajaran-ajaran wahyu yang terkandung dalam teks-teks agama, sedangkan dimensi historisitas menyangkut pemahaman dan penafsiran aturan-aturan agama yang dilakukan oleh individu atau kelompok, kemudian menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupannya sehari-hari. 

Sayangnya, dimensi normatif dan historis seringkali berjalan secara terpisah. Misalnya, pengajaran ilmu agama Islam yang bersifat normatif dan bersumber dari kitab-kitab tertentu seringkali tidak diperhatikan. Memantau perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi serta ilmu-ilmu sosial, ekonomi, hukum dan masyarakat pada umumnya. 

Akibatnya masyarakat kehilangan relevansi nilai-nilai spiritual dan moral serta terputus dari berbagai aspek kehidupan yang menunjang eksistensinya. Akibatnya, terjadi proses dehumanisasi di berbagai aspek kehidupan terkait agama dan ilmu pengetahuan.

Namun seiring dengan semakin kompleksnya pemikiran ilmiah, paradigma pemisahan tegas antara normatif dan historis mulai berubah. Integrasi tasawuf dan budaya menunjukkan hal yang sama, budaya merupakan realitas yang diciptakan, dibentuk, dan dilembagakan. 

Artinya perspektif ilmu sosial terhadap kebudayaan adalah sebuah hasil. Jika kita memandang kebudayaan sebagai suatu proses, maka proses itu adalah sesuatu yang ada dan terus berkembang. Kebudayaan dibentuk oleh sekelompok orang melalui tindakan yang berulang-ulang dan diakui secara sosial.

Dalam konteks demikian, agama sering diidentikkan dengan tradisi atau ekspresi budaya yang mencerminkan keyakinan seseorang terhadap ketuhanan dan merupakan ekspresi keyakinan seseorang terhadap kekuatan yang lebih tinggi. Jika hubungan agama dan tradisi dipandang sebagai penjelasan sejarah dan kebudayaan, maka setiap aspek agama merupakan hasil kreativitas manusia yang relatif. 

Artinya, kebenaran agama, yang diakui “benar” oleh setiap individu, pada hakikatnya adalah sesuatu yang dapat dijelaskan dan diungkapkan oleh manusia, dibandingkan dengan “kebenaran” mutlak Tuhan. Oleh karena itu, segala bentuk upaya manusia untuk memelihara, memperbarui, atau memurnikan tradisi keagamaan harus dilihat sebagai hasil proses sejarah umat manusia, tanpa harus menyatakan pendapat apa pun. Orang yang tepat dapat menyangkal “fakta” yang dikemukakan orang lain, sekaligus menyatakan pendapatnya sebagai “benar”.

Pertumbuhan tasawuf di dunia Islam tampaknya dimulai melalui aktivitas individu para sufi. Para sufi ini sebenarnya tidak mampu menyebarkan pengetahuan mereka kepada orang lain. Sebab, tasawuf sejatinya tidak bisa dianggap sebagai ilmu dalam pengertian tradisional, karena tidak memuat fakta empiris, logika, rasionalitas, dan sistematisitas. 

Lebih tepatnya, tasawuf dapat dianggap sebagai serangkaian pengalaman yang mengarah pada komunikasi dengan Nur Ilahi, penuh emosi dan muncul dalam berbagai aspek kehidupan, pencarian kesederhanaan, meluangkan waktu untuk beribadah, keinginan untuk bertemu Tuhan dan selalu siap sedia. untuk menanggapi panggilan-Nya.

Hikmah sufi adalah tradisi mistik yang berakar pada ajaran Alqur'an dan teladan Nabi Muhammad SAW. Dalam konteks sejarah, istilah “Sufi” mengacu pada dimensi spiritual luas yang mencakup wilayah dengan perbedaan budaya dan bahasa yang mencolok. Namun, semua aliran sufi dipersatukan oleh otoritas spiritual yang bersumber dari wahyu Alqur'an dan teladan Nabi Muhammad SAW. 

Pada hakikatnya tasawuf adalah jalan mistik yang diawali dengan transformasi jiwa atau pencarian jalan menuju Tuhan. Tujuan akhir dari perjalanan ini adalah untuk mencapai kesempurnaan dalam kesatuan antara manusia dan Tuhan.

Dalam konteks yang lebih luas, sejarah tasawuf dapat dilihat sebagai sejarah pencarian ilmu tentang Tuhan yang dikenal dengan makrifat. Tujuan utama mistik adalah untuk mencapai pemahaman praktis tentang Tuhan, dan semua aspek kemanusiaan lainnya berada di bawah tujuan utama ini. 

Secara khusus, semua konsep dan doktrin sufi, seperti perjalanan spiritual, perjanjian asli dengan Tuhan, sifat Muhammad, dan hierarki orang-orang suci Allah, berperan dalam pencarian pengetahuan tentang Tuhan melalui pengalaman praktis disebut al- 'arif.

Tasawuf menjadi alat bagi mereka yang mengikuti ajarannya untuk mencapai kebenaran sejati. Tasawuf adalah jalan menuju kebenaran ini dan pada tingkat tertinggi, dalam dimensi batin, tasawuf menjadi bagian penting dari kebenaran ini dan alat untuk mencapai hadirat Tuhan Yang Maha Esa.

Tradisi sufi yang menggabungkan berbagai doktrin kosmis dan metafisik berkembang dalam kurun waktu yang lama di bawah bimbingan guru dan ahli sufi Irfani. Tradisi ini mencakup metode realisasi spiritual yang mencakup banyak aspek spiritual yang berbeda, termasuk tindakan, cinta, dan pengetahuan.

Tasawuf telah menjadi bagian integral dalam perkembangan Islam sejak awal sejarahnya pada abad ke-7 hingga saat ini, dan telah menyebar ke seluruh dunia, mulai dari Senegal dan Maroko hingga Indonesia dan Tiongkok. Tarekat sufi dapat ditemukan di semua negara Muslim, juga di India, Cina, Rusia, Afrika non-Muslim, dan bahkan sejak abad ke-20 mereka telah mempengaruhi berbagai aspek agama di dunia Barat. 

Di dunia Islam, tasawuf mempunyai dampak yang signifikan terhadap aspek sosial, etika, filosofis, teologis, ilmiah dan artistik, termasuk kaligrafi, seni miniatur, arsitektur dan perencanaan kota. Selain itu, tasawuf berperan penting dalam memfasilitasi pertemuan dan dialog antara Islam dengan agama dan budaya lain.

Integrasi Agama dan Sains

Bertemunya agama dan ilmu-ilmu sosial, seperti yang dijelaskan oleh Amin Abdullah, menekankan bahwa Islam harus dipahami dalam dua dimensi, yaitu normativitas dan historisitas. 

Dimensi normatif berkaitan dengan ajaran wahyu yang terdapat dalam teks-teks keagamaan, sementara dimensi historis berkaitan dengan pemahaman dan interpretasi individu atau kelompok terhadap aturan agama yang menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Namun, seringkali dimensi normatif dan historis berjalan secara berbeda.

Misalnya, pengajaran ilmu-ilmu agama Islam yang bersifat normatif-tekstual seringkali tidak mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, serta ilmu-ilmu sosial, ekonomi, hukum, dan humaniora pada umumnya. 

Dampaknya, manusia kehilangan relevansi nilai-nilai spiritual dan moral, serta terputus dari berbagai aspek kehidupan yang mendukung eksistensinya. Proses dehumanisasi besar-besaran terjadi di berbagai aspek kehidupan dalam konteks keagamaan dan penerapan ilmiah.

Namun seiring berkembangnya pemikiran ilmiah yang semakin kompleks, paradigma pemisahan tegas antara normativitas dan historisitas telah berubah. Artinya rumusan berpikir ilmiah yang ada telah berubah seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan perubahan zaman. 

Dalam konteks ilmu pengetahuan Islam, perubahan ini tidak perlu dikhawatirkan, karena inti pemikiran ilmiah Islam bersumber pada nilai-nilai tauhid yang tertanam dalam Alqur'an dan dalam fitrah manusia. Pada saat yang sama, kebutuhan untuk mengakhiri dogmatisme dan ortodoksi yang membatasi kebebasan berpikir dan mendorong integrasi antara tradisi dan modernitas semakin meningkat.

Perjuangan antara kapitalisme dan sosialisme memunculkan pemikiran alternatif di kalangan umat Islam, dengan studi sosial yang berupaya mengatasi bias Barat dalam memahami festival masyarakat. 

Namun perlu dicatat bahwa hubungan antara agama dan ilmu pengetahuan merupakan persoalan yang kompleks, seringkali muncul dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan yang berakar pada sulitnya membedakan aspek normatif dan historis dalam konteks keberagaman umat manusia, khususnya dalam Islam.

Membangun hubungan yang sehat antara agama dan sains memerlukan pemahaman yang jelas tentang dua entitas yang sama kompleksnya. Dalam hal ini, pembagian dimensi keagamaan menurut Stenmark menjadi empat aspek (sosial, teologis, epistemologis, dan teoretis) dapat membantu memahami hubungan praktis, historis, dan lebih simetris antara agama dan sains. Refleksi ini juga mencoba mengatasi polarisasi hubungan antara agama dan ilmu pengetahuan, yang mungkin bersinggungan dalam dimensi teologis namun terpisah dalam dimensi metodologis.

Lebih lanjut, pemikiran filosofis menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan tidak hanya mencakup nilai-nilai kebangsaan tetapi juga pandangan metafisik atau asumsi filosofis yang mendasari pemahaman ilmiah. Dalam konteks ini, unsur keagamaan dapat merasuk ke dalam ilmu pengetahuan untuk memecahkan permasalahan keilmuan tertentu.

Meski berbeda pandangan, upaya integrasi Islam dan sains merupakan langkah menuju pemahaman yang lebih komprehensif dan terpadu. Dengan memahami bahwa agama dan ilmu pengetahuan dapat saling berkontribusi dan mengintegrasikan ilmu pengetahuan dan agama, kita dapat mengupayakan jalan yang lebih harmonis dalam hubungan ini.

Tasawuf

Mengenai tatanan moral (al-Akhlaq al-Karimah) yang diperkenalkan oleh Islam, ideologi ini menggambarkan gagasan-gagasan yang hakikatnya muncul sejak  kehidupan Nabi Muhammad SAW. Gagasan ini dikembangkan secara praktis di kalangan para Sahabat dan Tabi'in, dan disebut “Tasawuf” atau tasawuf. Tasawuf merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan Islam yang menekankan pada pendidikan spiritual dan pembentukan al-Akhlaq al-Karimah (akhlak mulia) di kalangan pengikutnya. 

Tasawuf merupakan salah satu aspek esoterik Islam yang menggambarkan kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog langsung antara  hamba dan Tuhan. Walaupun hakikat tasawuf sudah ada sejak zaman Nabi, namun istilah “Tasawuf” sebagai ilmu Islam merupakan hasil pengembangan kebudayaan Islam, sama seperti ilmu-ilmu Islam agama lain seperti fikih dan tauhid. Pada masa Rasulullah, istilah "Tasawuf" belum dikenal, dan yang ada hanyalah sebutan untuk para Sahabat Nabi. 

Tasawuf atau Sufisme, sebagai bagian dari filsafat Islam, diformulasikan secara luas sebagai pemahaman tentang hakikat al-Haqq (kebenaran ilahi). Kata "mistik" sendiri berasal dari bahasa Yunani yang meluas ke dalam bahasa-bahasa lain, termasuk bahasa Arab, Persia, dan Turki. 

Sebaliknya, istilah "Sufi" memiliki konotasi religius yang lebih spesifik, mengacu pada mistik dalam tradisi Islam. Beberapa etimologi mengaitkan kata "Sufi" dengan arti "bersih" atau "terpilih." Beberapa bahasa Eropa juga mengaitkannya dengan kata Yunani yang berarti "menutup mata." 

Tasawuf juga dijelaskan sebagai cinta yang mendalam kepada Yang Maha Mutlak, yang memisahkan mistik sejati dari tapa brata (askeetisme). Cinta Ilahi membuat pencari kebenaran mampu menghadapi segala rintangan dan penderitaan dengan ketabahan, sebagai ujian untuk menyucikan jiwa mereka. Cinta ini dapat membimbing ahli mistik untuk mencapai kesatuan dengan yang Ilahi, melampaui batasan dunia materi. 

Penting untuk diingat bahwa Tasawuf adalah cabang keilmuan dalam Islam yang muncul setelah masa hidup Rasulullah. Istilah ini tidak dikenal pada masa Rasulullah, dan kata "Tasawuf" secara etimologis berasal dari bahasa Arab. Meskipun terdapat perbedaan pendapat tentang asal usul kata ini, kata "Tasawuf" secara umum terkait dengan konsep kesucian dan penyucian hati, serta pengetahuan tentang Tuhan dan hakikat segala sesuatu. Ini mencerminkan ajaran Alqur'an tentang pentingnya penyucian hati dalam Islam.

Dengan demikian, Tasawuf atau Sufisme merupakan bagian penting dari warisan intelektual dan spiritual dalam Islam, yang menekankan pentingnya kebersihan hati dan kesadaran akan realitas ilahi.

Mengenai tatanan moral (al-Akhlaq al-Karimah) yang diperkenalkan oleh Islam, ideologi ini menggambarkan gagasan-gagasan yang hakikatnya muncul sejak  kehidupan Nabi Muhammad SAW. Gagasan ini dikembangkan secara praktis di kalangan para Sahabat dan Tabi'in, dan disebut “Tasawuf” atau tasawuf. Tasawuf merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan Islam yang menekankan pada pendidikan spiritual dan pembentukan al-Akhlaq al-Karimah (akhlak mulia) di kalangan pengikutnya. 

Tasawuf merupakan salah satu aspek esoterik Islam yang menggambarkan kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog langsung antara  hamba dan Tuhan. Walaupun hakikat tasawuf sudah ada sejak zaman Nabi, namun istilah “Tasawuf” sebagai ilmu Islam merupakan hasil pengembangan kebudayaan Islam, sama seperti ilmu-ilmu Islam agama lain seperti fiqh dan tauhid. Pada masa Rasulullah, istilah "Tasawuf" belum dikenal, dan yang ada hanyalah sebutan untuk para Sahabat Nabi. 

Tasawuf atau Sufisme, sebagai bagian dari filsafat Islam, diformulasikan secara luas sebagai pemahaman tentang hakikat al-Haqq (kebenaran ilahi). Kata "mistik" sendiri berasal dari bahasa Yunani yang meluas ke dalam bahasa-bahasa lain, termasuk bahasa Arab, Persia, dan Turki. 

Sebaliknya, istilah "Sufi" memiliki konotasi religius yang lebih spesifik, mengacu pada mistik dalam tradisi Islam. Beberapa etimologi mengaitkan kata "Sufi" dengan arti "bersih" atau "terpilih." Beberapa bahasa Eropa juga mengaitkannya dengan kata Yunani yang berarti "menutup mata." 

Tasawuf juga dijelaskan sebagai cinta yang mendalam kepada Yang Maha Mutlak, yang memisahkan mistik sejati dari tapa brata (askeetisme). Cinta Ilahi membuat pencari kebenaran mampu menghadapi segala rintangan dan penderitaan dengan ketabahan, sebagai ujian untuk menyucikan jiwa mereka. Cinta ini dapat membimbing ahli mistik untuk mencapai kesatuan dengan yang Ilahi, melampaui batasan dunia materi. 

Penting untuk diingat bahwa Tasawuf adalah cabang keilmuan dalam Islam yang muncul setelah masa hidup Rasulullah. Istilah ini tidak dikenal pada masa Rasulullah, dan kata "Tasawuf" secara etimologis berasal dari bahasa Arab. 

Meskipun terdapat perbedaan pendapat tentang asal usul kata ini, kata "Tasawuf" secara umum terkait dengan konsep kesucian dan penyucian hati, serta pengetahuan tentang Tuhan dan hakikat segala sesuatu. Ini mencerminkan ajaran al-Qur'an tentang pentingnya penyucian hati dalam Islam.

Dengan demikian, Tasawuf atau Sufisme merupakan bagian penting dari warisan intelektual dan spiritual dalam Islam, yang menekankan pentingnya kebersihan hati dan kesadaran akan realitas ilahi.

وَنَفْسٍ وَّمَا سَوّٰىهَاۖ فَاَلْهَمَهَا فُجُوْرَهَا وَتَقْوٰىهَاۖ قَدْ اَفْلَحَ مَنْ زَكّٰىهَاۖ وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسّٰىهَاۗ

Artinya: 

“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah  mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”. (QS. Asy-Syams, ayat: 7-10).

Pada hakikatnya tasawuf adalah upaya para ahli tasawuf untuk mengembangkan suatu disiplin ilmu yang mencakup aspek spiritual, psikis, ilmiah, dan jasmani. Disiplin ini diyakini dapat membantu proses penyucian jiwa atau hati, seperti yang disyaratkan oleh kitab suci Islam. 

Tasawuf merupakan suatu proses berpikir dan merasakan yang sifatnya sulit didefinisikan secara tepat. Hal ini termasuk menemukan jalan menuju cinta dan kesempurnaan spiritual serta transisi dari kehidupan biasa ke kehidupan sufi yang didedikasikan untuk ibadah, pemurnian spiritual, dan ketulusan hati hanya untuk cinta kepada Allah.

Menurut Dr.H. A. Mustafa, Tasawuf adalah kehidupan spiritual yang menjadi hakikat manusia, dengan tujuan mencapai hakikat tertinggi, mendekatkan diri kepada Allah dan mensucikan jiwa dari keterbatasan jasmani dan amal shaleh.

Secara umum tasawuf menekankan spiritualitas dalam berbagai aspek kehidupan. Para sufi atau ahli tasawuf meyakini keunggulan aspek spiritual dibandingkan aspek fisik. Mereka percaya bahwa dunia spiritual lebih nyata dan nyata dibandingkan dunia material. 

Selain itu, mereka percaya bahwa Tuhan, sebagai penyebab utama segala sesuatu yang ada, juga bersifat spiritual. Hal ini mencerminkan keyakinan bahwa dunia spiritual berperan penting dalam pencarian kebenaran dan kedekatan dengan Tuhan dalam tradisi sufi.

Banyak hikmah yang bisa dipetik dari tasawuf. Mulai saat ini tidak ada lagi waktu untuk berdebat atau mempertanyakan tasawuf, hanya membuang-buang waktu saja. Sudah waktunya untuk menghilangkan apa yang baik dari tasawuf dan meninggalkan apa yang tidak sesuai dengan hukum Islam. 

Di sisi lain, tasawuf harus terus meningkatkan ukhuwah Islamiyah dan menjadi lebih inklusif dibandingkan eksklusif. Mereka harus membuka pintu bagi orang lain, bukannya menutup diri seolah-olah hanya mereka yang tahu kebenarannya.

Para sufi sebelumnya, seperti Syekh Abdul Qadir Djaelani, Hamzah fansuri dan tokoh sufi lainnya, adalah teladan moralitas dan sikap rendah hati. Mereka merasa sedih dan terganggu ketika dicintai, dipuja, dan dipuji secara berlebihan, bahkan melebihi pujian Nabi sendiri.

Dalam konteks kebudayaan Indonesia, ajaran tasawuf tidak bertentangan. Sebaliknya, terdapat keterkaitan erat antara kebudayaan Indonesia dengan ajaran tasawuf. Jika kompleks ini dikelola dengan baik, tidak ada yang dapat menghalangi umat Islam di Indonesia untuk mencapai kejayaan yang unik, berbeda dengan kejayaan umat Islam di tempat lain.

*) Mahasiswa

Editor: Adis Setiawan

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال