Eksistensialisme dalam Dunia Modern : Pemahaman Tentang Kebebasan dan Keberadaan Manusia


Penulis: Abiyyu Padma Widya Cakti*

Pendahuluan

Aliran eksistensialisme berkembang pada abad ke 20 di Prancis dan Jerman, hal ini bukan sebagai akibat langsung dari suatu keadaan tertentu, tetapi disebabkan oleh respon-respon mendalam yang pernah dialami akibat runtuhnya kestabilan di berbagai tatanan dunia Barat. Perang dunia pertama mengakibatkan hancurnya keyakinan sebagai tindak lanjut kemajuan peradaban menuju kebenaran dan kebebasan. 

Kemudian dengan lemahnya struktur eksternal kekuasaan, seperti struktur ekonomi, politik dan kekuasaan pada saat itu yang sudah kehilangan legitimasinya, dan kuasa atas setiap perseorangan tidak lagi di tolerir karena ditentang dan dianggap tidak memiliki peran yang penting, dan pada saat itu para individu  hanya bisa tunduk pada kekuasaan internal atas dirinya sendiri. 

Dalam kondisi seperti ini akan mengantarkan para eksistensialis kembali pada diri manusia sebagai pusat filsafat yang sejati dan sebagai satu-satunya kekuasaan yang berlegitimasi. Dalam sejarah perkembangannya, eksistensialisme jelas mengarah pada fenomena kemanusiaan kongkret yang tengah terjadi. Sebagaimana diketahui, filsafat eksistensialisme berkembang pesat sejak perang dunia kedua, yang seolah membenarkan perenungan filosofis pada kenyataan (kemanusiaan) yang kongkret. (Firdaus M Yunus, “Kebebasan dalam Filsafat Eksistensialisme Jean Paul Sartre,” t.t.5.)

Menurut pandangan Sartre yang menjadi pokok dari filsafat eksistensialismenya adalah bahwa esensi manusia mendahului eksistensinya manusia tidak lain adalah bagaimana manusia itu menjadikan dirinya sendiri. Inilah dasar pokok tindakan manusia dalam usahanya untuk memberikan makna terhadap eksistensinya.

Eksistensi manusia tidak hanya berpacu pada keberadaan manusia di ranah manusia, lebih dari itu Sartre ingin menjelaskan tanggung jawab yang seharusnya diemban oleh semua manusia sebagai manusia. Pandangan inilah yang menjadi tumpuan Sartre atas pendapatnya bahwa eksistensialisme itu mempunyai sifat dan tertentu, yaitu humanisme. Oleh karena itu Sartre memandang bahwa eksistensialisme adalah sebagai teori yang membimbing manusia, sepanjang dengan jalan hidup dan sebagai dokrin yang mencakup sifat manusia.(Jean Paul Sartre, Eksistensialisme dan Humanisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 76.). 

Kebebasan dalam filsafat eksistensialisme ini merupakan pembahasan utama karena hubunganya yang sangat erat dengan eksistensi manusia. Kajian mengenai kebebasan merupakan hal yang sangat penting. 

Sebagai sebuah aliran filsafat kontemporer, eksistensialisme membahas tentang kebebasan tidak hanya dalam kawasan metafisika yang sering diperdebatkan pada masa klasik, tetapi lebih condong pada wilayah etika praktis yang tidak hanya akan berakhir menjadi sebuah perdebatan teoritik yang sulit dipahami tetapi akan membawa kita pada kesadaran bahwa kebebasan harus diaktualkan. dalam ruang etika, dimana individu-individu yang bebas harus menjalani dan berbagi ruang untuk mengaktualisasikan kebebasannya satu sama lain.(Kebebasan Manusia dalam Filsafat Eksistensialisme Studi Komparasi Pemikiran,” 123, diakses 26 Oktober 2023, https://core.ac.uk/display/229577285?utm_source=pdf&utm_medium=banner&utm_campaign=pdf-decoration-v1.)

Kebebasan dalam Eksistensialisme

Menurut Jean Paul Sartre, kebebasan merupakan landasan nilai utama dalam eksistensialisme. Manusia memiliki potensi kebebasan untuk keluar dari kondisi yang membatasi dan menentukan jalan hidupnya sendiri. Kebebasan berarti manusia memiliki kemampuan untuk memilih dan menentukan sikap dari berbagai alternatif yang ada. Namun, kebebasan juga membawa tanggung jawab dan beban, sehingga manusia tidak bisa lepas dari kewajiban-kewajiban yang ada. (Sihol Farida Tambunan, Kebebasan Individu Manusia Abad Dua Puluh: Filsafat Eksistensialisme Sartre, Jurnal Masyarakat Dan Budaya 18, no. 2 (2016): 218, https://doi.org/10.14203/jmb.v18i2.412.)

Sartre menganggap manusia 'terhukum untuk bebas', yang berarti manusia memiliki kebebasan tetapi juga harus bertanggung jawab atas kebebasannya. Kebebasan individu manusia dalam eksistensialisme juga dianggap sebagai ciri pesimis, karena manusia dianggap 'terhukum untuk bebas' dan kebebasan dianggap sebagai sesuatu yang menghukum. Eksistensialisme juga mengajarkan bahwa manusia harus mencari jati diri dan meningkatkan kemampuan yang dimilikinya melalui keberadaan hidupnya.

Kebebasan berpikir dan eksistensi individu manusia menjadi fokus utama dalam eksistensialisme, yang membedakannya dari aliran filsafat tradisional yang lebih berlandaskan pada rasio dan empiris. Namun, Sartre juga menolak adanya Tuhan dalam konsep pemikirannya dan menganut paham ateisme.

Baginya, kebebasan manusia tidak boleh terbatas oleh aturan-aturan yang ditetapkan oleh Tuhan.Dalam eksistensialisme, kebebasan individu manusia menjadi landasan nilai yang sangat penting, namun juga membawa tanggung jawab dan beban. Kebebasan ini memungkinkan manusia untuk mencari makna hidupnya melalui keberadaan hidupnya sendiri.(Sihol Farida Tambunan, Kebebasan Individu Manusia Abad Dua Puluh: Filsafat Eksistensialisme Sartre, Jurnal Masyarakat Dan Budaya 18, no. 2 (2016): 230, https://doi.org/10.14203/jmb.v18i2.412.)

Keberadaan dalam Eksistensialisme

Dalam eksistensialisme, keberadaan manusia ditempatkan pada pusat perhatian, dan kebebasan serta pilihan-pilihan yang dihadapi oleh manusia dalam kehidupannya menjadi tema utama. Para filsuf eksistensialis sering menekankan pentingnya kegelisahan, sebagai tanda ketiadaan dasar objektif aksi, dan hal ini sering direduksi sebagai nihilisme moral atau eksistensial.

Tema yang sering berulang dalam karya-karya filsafat eksistensialis adalah pertemuan yang terus-menerus dengan absurditas, sebagaimana dilihat dalam Mitos Sisifos Albert Camus.  Eksistensialisme mempunyai konsep bahwa keberadaan manusia hanya realistis sejati, dan setiap individu harus memenerima tanggung jawab untuk dirinya sendiri. Eksistensialisme sangat berhubungan dengan pendidikan, karena pusat pembicaraan eksistensialisme adalah keberadaan manusia sedangkan pendidikan hanya dilakukan oleh manusia.

Tujuan pendidikan dalam eksistensialisme adalah untuk mendorong setiap individu agar mampu mengembangkan semua potensinya untuk pemenuhan diri. Dalam eksistensialisme, kebebasan menjadi tema utama, dan kebebasan manusia adalah kebebasan mutlak. Jean-Paul Sartre menempatkan eksistensi manusia mendahului esensi, sehingga manusia harus sadar karena tidak ada makhluk lain yang bereksistensi selain manusia. Kondisi seperti itu telah mengantarkan para eksistensialis kembali pada diri manusia sebagai pusat filsafat yang sejati dan sebagai satu-satunya kekuasaan yang berlegitimasi. (Gusti Muhammad Shadiq Pandangan Eksistensialisme Tentang Eksitensi Manusia” (2006), https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/36370/.)

Kesimpulan

Kebebasan adalah nilai sentral dalam eksistensialisme, menurut Jean Paul Sartre. Manusia memiliki potensi kebebasan untuk menentukan jalannya sendiri, tetapi kebebasan ini juga membawa tanggung jawab. Sartre menyebut manusia "terhukum untuk bebas" karena kebebasan dianggap sebagai beban. 

Eksistensialisme menekankan pentingnya keberadaan manusia, kegelisahan, dan pertemuan dengan absurditas kehidupan. Pendidikan dalam eksistensialisme bertujuan untuk mengembangkan potensi individu, dan kebebasan adalah tema utama yang membedakan eksistensialisme dari filsafat tradisional. Eksistensialisme menempatkan manusia sebagai pusat filsafat yang sejati dan satu-satunya kekuasaan yang berlegitimasi.

*) Pendidikan Sarjana di UIN Sunan Ampel Surabaya hobi saya adalah membaca terutama pada novel dan sejarah peradaban Islam entah kenapa akhir-akhir ini saya senang menulis baik itu tentang filsafat ataupun kajian keIslaman.

Editor: Adis Setiawan

Daftar Pustaka

GUSTI MUHAMAD SHADIQ. “PANDANGAN EKSISTENSIALISME TENTANG EKSISTENSI MANUSIA,” 2006. https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/36370/.

Jean Paul Sartre. Eksistensialisme dan Humanisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

“KEBEBASAN MANUSIA DALAM FILSAFAT EKSISTENSIALISME (STUDI KOMPARASI PEMIKIRAN MUHAMMAD IQBAL DAN JEAN PAUL SARTRE).” Diakses 26 Oktober 2023. https://core.ac.uk/display/229577285?utm_source=pdf&utm_medium=banner&utm_campaign=pdf-decoration-v1.

Tambunan, Sihol Farida. “KEBEBASAN INDIVIDU MANUSIA ABAD DUA PULUH: FILSAFAT EKSISTENSIALISME SARTRE.” Jurnal Masyarakat Dan Budaya 18, no. 2 (2016): 59–76. https://doi.org/10.14203/jmb.v18i2.412.

Yunus, Firdaus M. “KEBEBASAN DALAM FILSAFAT EKSISTENSIALISME JEAN PAUL SARTRE,” t.t.


Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال