Pemikiran Etika Hidup Perspektif Mangkunegara IV

Penulis: Naufal Robbiqis Dwi Asta*

Setidaknya terdapat dua faktor utama jika berbicara tentang perpecahan kerajaan Mataram di pulau Jawa. Pertama, karena adanya perang antar saudara yang disebabkan oleh hasrat dari para pewaris tahta yang saling berebut kekuasaan. Kedua adanya intervensi dari VOC dibawah kendali Belanda yang juga mempengaruhi ketidakstabilan politik saat masa kekuasaan kerajaan Mataram. 

Akibatnya, kerajaan Mataram harus terpecah menjadi empat dinasti yang menduduki kekuasaan atas wilayah-wilayah tertentu di pulau Jawa. Empat dinasti tersebut terdiri dari Hamengkubuwono, Paku Alam, Pakubuwono, dan Mangkunegara. Empat golongan tersebut pastinya sampai sekarang telah menduduki wilayahnya masing-masing yang telah terbentuk dari sejarahnya.

Misalanya saja pada Mangkunegara yang pada awalnya dipimpin oleh seorang Raden Mas Said sebagai Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara I yang menduduki hampir seluruh wilayah Yogyakarta. Namun seiring berkembangnya zaman, wilayah tersebut dipersempit lagi hingga kini pada masa Mangkunegara X, terdiri dari tiga daerah yang meliputi wilayah Karanganyar, Wonogiri, dan Ngawen, Yogyakarta.

Jika berbicara tentang pemikiran dan karya-karya besar dari dinasti Mataram Mangkunegara, pastinya akan ditemukan pada sosok Raden Mas Sudira bergelar KGPAA Mangkunegara IV yang merupakan cucu Mangkunegara II. Beberapa karya yang diciptakan oleh Mangkunegara IV mengandung makna yang bersifat religius-filosofis. Hal tersebut dikarenakan Mangkunegara IV sendiri juga merupakan seorang Muslim. Cikal bakal dari segenap pemikirannya adalah tujuan utamanya untuk terbebas dari penjajahan Belanda pada saat itu. 

Disamping itu, karya-karyanya juga banyak membahas tentang pengetahuan untuk manusia mencapai kebijaksanaan dalam bertindak. Misalnya saja pada karya terbesarnya yaitu Serat Wedhatama. Kitab Wedhatama dapat diartikan sebagai karya sastra yang berisikan ajaran-ajaran untuk manusia dapat mencapai kebijaksanaan dengan berbudi luhur. Dalam Serat Wedhatama terdapat lima tembang jawa yang digunakan untuk memberikan langkah-langkah dan pendapatnya tentang budi luhur dan etika. 

Dalam konteks etika kehidupan, Mangkunegara IV membagi pandangannya tentang etika manusia yang merujuk dalam ranah kehidupan individual, sosial, dan pada Tuhan.

Pertama: Etika Individual 

Menurut Mangkunegara IV, seseorang hendaknya selalu memiliki sikap “eling lan waspada”. Seseorang dianjurkan untuk selalu ingat pada apa yang telah diajarkan oleh alam dan waspada terhadap apa yang dapat menjadi penghalang bagi dirinya. Ajaran tersebut mengajak kepada orang-orang untuk mengingat hakikat dari kehidupannya sendiri untuk selalu belajar dan memahami, serta mewaspadai hal apa saja yang dapat membuatnya lengah dan menghalangi kehidupannya. Lebih jauh dalam serat Wedhatama telah dijelaskan tentang manifestasi dari perlunya sikap eling lan waspada tersebut:

“Wajar saja kalau seperti itu; berobat kalau sudah terluka; Walau mempunyai ilmu sebakul besar, kalau sikapnya tidak menyejukkan hati; Sehingga pengetahuannya hanya dipakai, untuk mencari harta dan meraih pamrih (kepentingan)”

Makna dari pepatah tersebut adalah hendaknya seseorang menggunakan ilmunya dengan sebaik dan sebijaksana mungkin dengan berusaha mengimplementasikan nilai-nilai kebaikannya. Mangkunegara IV menjelaskan bahwa karakter seseorang yang berilmu adalah tidak menggunakan ilmunya hanya pada kemauan dan kepentingannya sendiri, bahkan juga dalam rangka memamerkan. Ilmu yang paling baik adalah ilmu yang dapat diwujudkan dengan sikap maupun tindakan kebaikan. 

Kedua: Etika Sosial 

Mangkunegara IV mengajurkan kepada yang lainnya untuk bertindak sopan santun, tidak menuruti kemauannya sendiri, dan tidak meremehkan orang lain. Mangkunegara juga menganjurkan yang lainnya untuk bersikap berpura-pura bodoh meskipun seseorang tersebut baik dan mudah bergaul. Berpura-pura bodoh dalam hal ini merupakan upaya untuk bersikap rendah hati dan bijaksana dalam menghadapi orang lainnya. Tujuannya agar seseorang dapat bersikap rendah hati dan tidak merasa sombong kepada orang lain.

Ketiga: Etika Dihadapan Tuhan

Dalam etika dihadapan Tuhan, Maangkunegara membaginya dalam empat jenis. Pertama, sembah raga yang dapat diwujudkan pada menyembah Tuhan dengan mengutamakan gerak laku badaniah atau amal perbuatan yang sifatnya lahiriah. Jenis pertama ini dapat dilakukan dengan melakukan segala tindakan kebaikan dengan didasari untuk berbadah kepada Allah SWT.

Kedua, sembah cipta yang dapat diwujudkan dengan upaya mengekang hawa nafsu. Dalam memenuhi nilai etika jenis kedua ini dapat dilakukan dengan berpuasa, tidak berbuat maksiat, dan lain sebagainya. Ketiga, sembah jiwa yang dapat diwujudkan melalui berdzikir kepada Allah SWT demi tercapainya jalan akhir dalam suluk.

Keempat, sembah rasa yang dapat diwujudkan dengan menyembah Tuhan melalui alat batin inti atau lubuk hati yang paling dalam. Jenis keempat ini merupakan tahapan yang paling tinggi dari tahapan sebelumnya karena tahapan ini sama halnya dengan puncak ma’rifat tasawuf. 

Ketiga etika yang diberikan oleh Mangkunegara IV dapat dikatakan sebagai hal yang relevan jika dimplementasikan dalam kehidupan sekarang. Di dasari dengan sikap “eling lan waspada” dalam diri, kehidupan akan dapat di kontrol menujun pada nilai-nilai kebaikan. Begitupun dalam ranah sosial yang dapat dimanifestasikan kepaya untuk selalu rendah diri dan sopan santun. Dengan menjalani sikap eling lan waspada, seseorang juga bisa mendapatkan ketenangan batin dalam beribadah kepada Allah SWT.

*) Mahasiswa Prodi Akidah dan Filsafat Islam Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال