Katanya Jumlah Warga Muhammadiyah Menurun Drastis ?

Dr. M.Muttaqin, M.H

Beberapa hari terakhir ini semua anggota grup WA Muhammadiyah dihebohkan oleh pernyataan Denny JA dalam unggahan di akun Tiktoknya. Ia katakan kalau Warga Muhammadiyah dalam 20 tahun terakhir mengalami penurunan yang sangat drastis. Bahkan disajikan data tahun 2005 jumlah warga Muhammadiyah 9,4 % dari populasi penduduk Indonesia, sementara di tahun 2023 menurun menjadi 5,7 %. Tentu ini adalah penurunan yang sangat drastis. 

Benarkah pernyataan Denny JA tersebut? 

Sebagai warga Muhammadiyah tentu harus kritis dalam menanggapinya. Masalah benar dan salah data yang disajikan olehnya, tentu kita harus menunggu klarifikasi dan tanggapan dari elite Muhammadiyah yang mengetahui kepastian jumlah warga Muhammadiyah yang terdata di tahun 2005-2023.

Banyak komentar yang sangat menarik dari Unsur Pimpinan & Kader Muhammadiyah di grup WA. 

Para elite Muhammadiyah berkomentar, menurutnya populasi warga Muhammadiyah mengalami penurunan dikarenakan banyak warga Muhammdiyah yang lari ke Salafi, MTA, Tarbiyah, DDII, NU, dan sebagainya. Kemudian mereka memberikan solusi agar semua warga Muhammadiyah membuat Kartu Tanda Anggota Muhammadiyah. 

Sementara komentar kader Muhamadiyah tingkat PP yang digadang-gadang sebagai ujung tombak persyarikatan membenarkan pernyataan banyaknya warga Muhammadiyah yang pindah halauan ke gerakan lain. 

Disebutkan oleh Ust. Haris Thahari Al Hafidz, ada beberapa faktor penyebab warga Muhammadiyah banyak yang pindah halauan, diantaranya:

  1. Elite Muhammadiyah terlalu sibuk mengurusi urusan atas dengan jargon berkemajuan, sementara akar rumput dilupakan. Sehingga digarap mereka. 
  2. Dakwah Muhammadiyah terlalu sibuk membesarkan AUM sementara basis perkaderan masjid, ranting, dan cabang tidak dikuatkan. Sehingga diisi mereka. 
  3. Perkaderan model darul arqam atau Baitul Arqam dinilai sifatnya hanya seremonial dan show, serta tidak ada follow up setelahnya. Jauh Lebih efektif dakwah kultural, praktis, dan kajian berkelanjutan yang dibutuhkan masyarakat. Kajian seperti ini yang dinantikan oleh jamaah, sementara mereka dari luar Muhamadiyah yang lebih sering mengisi.
  4. Website dan medsos fatwa-fatwa agama ebih mudah diakses dan masif dari luar Muhammadiyah, sementara para Muballigh Muhammadiyah banyak yang pasif dakwah di medsos. Muhammadiyah lebih aktif seminar dan menulis karya ilmiah di kampus-kampus yang bahasanya terlalu tinggi dan hasilnya tidak mudah diakses oleh masyarakat luas.
  5. Para Muballigh Muhammadiyah kurang pandai menjadi figur dan kurang disukai ketika berdakwah di pedesaan. Hal itu disebabkan karena penyampaian yang kebanyakan monoton dan isinya kaku. Berbeda dengan NU, Salafi, Tarbiyah, dll. 
  6. Seseorang baca kitab-kitab NU seperti: Safinatun Najah, Mabadi' fikih, Bidayatul Hidayah, Taqrib, Qarib, Fathul Mu'in sudah bisa membawa paham agama NU yang kental untuk disampaikan di masyarakat. Begitu juga seseorang baca kitab Salafi seperti: Kitab Tauhid, Ushul Tsalatsah, Aqidah Washithiyah dll sudah terbentuk paham agamanya. Pertanyaannya apakah HPT yang diajarkan di masyarakat bisa seperti itu? Terkadang tafsirnya berbeda masing-masing ustaz dan cenderung terlalu ilmiah di masyarakat. 

6 pernyataan diatas dapat kita jadikan cambuk untuk berbenah. Bagi warga Muhammadiyah yang menjadi elite jangan pernah merasa paling hebat & pintar. Sementara para muballigh yang ada di akar rumput juga jangan pernah merasa paling berjasa dan sudah sempurna dalam berdakwah. Mari kita evaluasi bersama kekurangan kita. 

Solusi untuk mengatasi permasalahan ini adalah menguatkan dakwah perkaderan akar rumput yang masif lewat kajian praktis, intensif, dan berkelanjutan.

Dibutuhkan dakwah bil hal kultural khas Muhammadiyah hingga akar rumput dan dakwah medsos yang masif. Selain pendekatan dakwah harus menyenangkan dan menggembirakan.

Semoga tulisan singkat ini bermanfaat. Aamin. 

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال