Asymmetric Politics, Warfare: Prahara, Politisi, Penyelenggara, dan Etika Politik dalam Pesta Demokrasi 2024

 



Penulis: Ridwan Marwansyah*

Konsep dan istilah Assymmetic tidak hanya di gunakan dalam perang konvensional, konsep tersebut tidak selalu bersifat militer, di saat kontestasi politik pun di pakai oleh kalangan politisi di segala tingkatan. Pasti tidak asing dengan ”content based movement” yang selalu di tawarkan oleh mereka politisi dengan gaya penyampaian berbasis konten, meskipun terkadang apa yang di sampaikan pada kampanye-kampanye oleh mereka tidak selalu semuanya di realisasikan, di sini kita dapat melihat gejolak dari dampak hal tersebut yang menjadikan citra dari politik kurang baik di beberapa kalangan seperti mahasiswa, masyarakat sipil yang menjadi pengamat di luar arena kontestasi, karena bagi kebanyakan dari mereka buta atau tidak melihat patron dari tokoh politik yang benar-benar menunjukan sikap sebagai negarawan yang sebenarnya, dapat di simpulkan secara sederhana ketidakpercayaan publik terhadap apapun yang merujuk kepada politik itu wajar, karena saat ini belum lahir atau belum muncul seorang tokoh yang dapat menjadi patron di ranah politik, seharusnya para politisi memberikan contoh yang baik kepada kita terkhusus para kaum muda yang akan menjadi pewaris bangsa di masa yang akan datang.

Berbicara tentang penyelenggara dalam keberlangsungan Negara, Penyelenggara pemilu merupakan bagian penting untuk keberlangsungan politik, kepercayaan publik terhadap politik juga merupakan pekerjaan penting penyelenggara untuk menanamkan pendidikan politik terhadap publik juga. Namun kita lihat perjalanan daripada penyelenggara pemilu menghadapi 2024 yang sempat menimbulkan prahara dan kegelisahan publik, kala rekrutmen BAWASLU Kabupaten/Kota yang mengalami keterlambatan pengumuman hasil seleksi, dengan dalih keterbatasan personalia di BAWASLU Provinsi sangat tidak rasional mengawasi tingkat Kabupaten dan Provinsi secara bersamaan. 

Di susul dengan pernyataan sikap dari Koalisi Masyarakat Untuk Integritas Pemilu yang menduga bahwa tahapan seleksi tersebut ada sebuah agenda setting yang kuat dan terstruktur secara sistematis, hal ini lagi-lagi diduga merupakan kesengajaan penundaan dari pihak yang mempunyai kepentingan politik dengan memanfaatkan momentum seperti yang ada pada konsep strategi Assymmetric Politic. 

Akibatnya terjadilah kekosongan pimpinan Bawaslu di 514 Kabupaten/Kota karena masa jabatan Bawaslu Kabupaten/Kota yang sebelumnya habis di tanggal sebelum hasil pengumuman seleksi, padahal di saat yang bersamaan waktu itu pemilu sedang memasuki fase krusial yakni penetapan daftar Caleg sementara (DCS) yang berpotensi tidak dapat diawasi secara melekat oleh pengawas pemilu, dan hal ini bukan yang pertamakalinya di lakukan oleh BAWASLU. 

Penyelenggara Pemilu dalam undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu), Penyelenggara pemilu adalah lembaga yang menyelenggarakan pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh Rakyat. Ada tiga pihak penyelenggara pemilu yaitu : Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

Dalam konsep Asymmetric momentum atau timing adalah hal yang sangat penting, karena ketepatan waktu menyerang atau menarik ulur momen merupakan strategi yang perlu di perhatikan untuk mencapai keberhasilan yang di ikhtiarkan, seperti contoh kita lihat ketua umum partai Nasdem Surya Paloh yang tidak terburu-buru menentukan bakal calon wakil Presiden yang mendampingi Anies Baswedan, alih-alih dengan keinginan untuk mendorong calon dari Nahdlatul Ulama untuk strategi mengambil suara dari Jawa Tengah dan Jawa Timur : ”Ibarat pertandingan sepak bola Internasional seperti piala Dunia yang kawan-kawan ikuti, dua menit terakhir, bisa berubah semuanya, Nasdem juga belajar itu, jadi pengumuman Cawapres Anies bukan karena koalisi tidak solid” dalam hal tersebut Surya Paloh sudah memakai pola Asymmetric Politic dengan tidak langsung mengambil keputusan keinginan partai Demokrat untuk mendorong Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menjadi bacawapres mendampingi Anies Baswedan, momentum yang tepat merupakan hal yang penting, perlu perhitungan dalam mengambil sikap dan keputusan. 

Melihat titik beda dari nama serta momentum penentuan bakal calon wakil presiden, Partai Demokrat yang kala itu mendorong AHY untuk menjadi bacawapres, tentunya punya narasi untuk lebih meyakinkan koalisi dengan menyatakan harus memenangkan seluruh Indonesia bukan sekadar Jatim dan Jateng serta mendongkrak elektabilitas Anies yang masih di posisi tiga, namun pada akhirnya yang terjadi bukanlah pasangan Anies dan AHY lah yang terwujud melainkan pada Sabtu 2 September 2023 di Surabaya deklarasi Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar (Cak Imin) lah yang terwujud. Banyak yang mengatakan ini merupakan duet pasangan dari HMI X PMII, namun tidak terlalu penting juga untuk di besar-besarkan, karena hal semacam itu hanya akan menjadi masalah yang kecil namun kompleks diantara keduanya, karena seringkali timbul narasi like or dislike di kalangan kader organisasi eksternal mahasiswa.

Seharusnya AHY sudah mengetahui juga membaca hal tersebut akan terjadi dan banting stir untuk mencari rekan koalisi baru, di sisi lain Susilo Bambang Yudhoyono sebagai ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat seharusnya melihat hal tersebut bukan suatu yang asing dalam politik, namun SBY menilai manuver dari Nasdem mengejutkan dan tidak di sangka, mengingat keduanya sendiri punya backround militer yang sudah tidak asing dengan konsep strategi Asimetris dalam perang, dalam Dunia militer pastinya sudah tidak asing dengan Konsep Asymmetric Warfare yang merupakan strategi perang yang tidak hanya mengandalkan kekuatan kuantitas tentara dalam perang senjata, melainkan ada hal yang harus di perhatikan seperti, momentum serang, bertahan, memanfaatkan medan tempur, dengan perang budaya, ekonomi dan politik tentunya. 

Akan tetapi dalam konferensi pers yang diadakan Jumat, 1 September 2023 di Cikeas, Bogor, SBY mengatakan ”Saya mengetahui kader di lapangan sangat emosional, mungkin di antara kita tidak bisa menahan perasaan, oleh karena itu, mengawali sidang majelis tinggi yang kita laksanakan hari ini akan di sampaikan kembali press release untuk kita dengarkan, bayangkan kalau kita di tinggalkan satu-dua hari sebelum batas pendaftaran di KPU, bayangkan seperti apa kita. Kita masih di tolong Allah. Kita di selamatkan oleh sejarah. Hal tersebut merupakan langkah bijak, kontemplasi yang di sampaikan SBY untuk bisa membuat kader partai Demokrat menjadi bisa mengontrol secara emosional, sederhananya itu merupakan kata-kata penenang untuk kader partai, hal yang sangat memungkinkan bahwa SBY pun sudah mengetahui daripada resiko yang harus di ambil menyikapi prahara yang terjadi antara partai Demokrat dengan Koalisi dan Partai Nasdem.

Sekali lagi, momentum, keadaan, ketepatan merupakan suatu yang penting dalam strategi politik, namun etika dalam berpolitik harus juga punya nilai atau value yang menjunjung tinggi nilai daripada adab, agar politik dapat menjadi konsumsi publik yang bisa di pandang sehat di semua kalangan dan tidak ada lagi yang punya alergi terhadap politik.

*) Koordinator Koalisi Mahasiswa Sumedang

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال