In Memoriam Kiai Hasyim Asy’ari: Dari Melawan Penjajah Hingga Mendirikan Nahdlatul Ulama


Sudah tidak bisa diragukan bahwa Kiai Hasyim Asy’ari adalah sosok yang sangat istimewa. Perjalanan hidupnya dihabiskan untuk beribadah, mencari ilmu, dan mengabdi bagi kemuliaan hidup. Keseluruhan hidupnya dapat dijadikan lentera yang menyinari hati dan pikiran para penerusnya untuk melakukan hal serupa. Meskipun harus diakui tidak mudah untuk melakukannya, tetapi setidaknya akan muncul komitmen untuk mencintai ilmu dan menebarkannya demi kemajuan umat.

Kiai Hasyim adalah salah satu tokoh yang menentang keras segala bentuk penjajahan asing terhadap negeri tercinta, pada masa kolonialisme. Ia mengimbau segenap umat Islam agar tidak melakukan donor darah kepada bangsa Belanda. Selain itu, ia juga melarang para ulama mendukung Belanda dalam pertempuran melawan Jepang.

Haram hukumnya berkongsi dengan penjajah karena penjajahan dalam bentuk apa pun tidak dibenarkan dalam Islam. Membela Belanda dalam peperangan melawan Jepang tidak termasuk jihad. Sebaliknya, ia justru mendorong terciptanya kemerdekaan yang dikenal istilah “Indonesia Parlemen”.

Sikap tegas tersebut dilakukan Kiai Hasyim dalam rangka menunjukkan kedaulatan dan kemerdekaan setiap warga dari segala belenggu penjajah. Selain itu, hal ini juga sesuai dengan karakter seorang ulama yang teguh dalam pendirian dan tidak mudah diiming-imingi hadiah duniawi. Apalagi saat berhadap dengan penjajah yang telah merampas hak seluruh warga untuk hidup secara merdeka dan manusiawi.

Menentang Belanda

Itu sebabnya, pada masa penjajahan, Kiai Hasyim merupakan sosok yang berada di garda terdepan dalam rangka menentang segala macam penindasan yang dilakukan oleh para penjajah. Salah satu perannya yang sangat populer adalah tatkala ia mengeluarkan fatwa perlawanan terhadap Belanda.

Fatwa itu terdiri dari tiga butir. Pertama, perang melawan Belanda adalah jihad yang wajib dan mengikat dilaksanakan oleh seluruh umat Islam Indonesia. Kedua, kaum Muslimin dilarang menggunakan kapal Belanda selama menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Ketiga, kaum Muslimin dilarang menggunakan pakaian atau atribut yang menyerupai penjajah.

Dalam buku Ijtihad Kebangsaan Soekarno dan NU, dikatakan bahwa fatwa Kiai Hasyim itu sangat efektif dalam menumbuhkan semangat perlawanan terhadap penjajah. Dan, poin yang paling terpenting untuk dicatat adalah bahwa fatwa tersebut lahir dalam konteks membela Tanah Air untuk mencapai kedaulatan dan kemerdekaan.

Karena itu, tak heran jika kemudian Presiden Sukarno memberikan penghargaan kepada Kiai Hasyim sebagai Pahlawan Nasional. Karena jihad yang dideklarasikan oleh Kiai Hasyim itu dicatat dalam sejarah sebagai “jihad kebangsaan”. Bangsa Indonesia yang saat itu dalam posisi terjajah mempunyai hak untuk memerdekakan diri dari berbagai penindasan yang dilakukan para penjajah. Jihad tersebut terbukti sangat efektif dalam membakar patritisme umat sehingga para penjajah dapat dienyahkan dari Bumi Pertiwi.

Kemudian, pada saat negeri ini masih seumur jagung, Bung Karno melalui utusannya pernah sowan kepada Kiai Hasyim, kemudian bertanya:“Kiai, bagaimana hukumnya membela tanah air? Bukan membela Allah, membela Islam, atau membela al-Qur’an. Sekali lagi, membela tanah air?” sebenarnya, Kiai Hasyim sudah paham bahwa pertanyaan Soekarno itu bukanlah sebuah pertanyaan, melainkan isyarat ajakan untuk mempertahankan dan merebut kemerdekaan.

Namun demikian, sebagai seorang kiai yang bijaksana, Kiai Hasyim tidak langsung memutuskan sendirian, melainkan mengumpulkan perwakilan cabang NU dari seluruh Jawa dan Madura untuk bermusyawarah. Dan akhirnya, tepat pada tanggal 22 Oktober 1945, Kiai Hasyim bersama sejumlah ulama di kantor NU di Jawa Timur mengeluarkan sebuah resolusi jihad untuk melawan pasukan gabungan Belanda dan Inggris. Seluruh umat Islam terbakar semangatnya untuk melakukan perlawanan pada tanggal 10 November 1945. Peristiwa tersebut dikenal sebagai Hari Pahlawan Nasional.

Zuhairi Misrawi, dalam bukunya “Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, Moderasi, Keutamaan dan kebangsaan”, mengatakan bahwa dalam kondisi apa pun, Kiai Hasyim menolak mundur dari ancaman yang hendak dilakukan penjajah. Bahkan, tatkala Bung Tomo meminta Kiai Hasyim agar mengungsi dari Tebuireng karena penjajah sedang menuju tempatnya, justru Kiai Hasyim tidak mau menggubris permintaan tokoh kemerdekaan tersebut. Kiai Hasyim malah memilih untuk menghadapi penjajah dari pada mengungsi atau bersembunyi.

Bahkan, lanjut Zuhairi Misrawi, detik-detik akhir hayatnya pun dikisahkan dalam kondisi mengawal kemerdekaan. Pada bulan Ramadhan, tepatnya selepas shalat tarawih, Kiai Hasyim rutin memberikan pengajian kepada para Muslimatan. Tetapi, karena ada tamu utusan dari Bung Tomo dan Jenderal Sudirman, pegajian tersebut ditunda hingga besok harinya.

Pada umumya, pesan yang dibawa oleh Bung Tomo adalah soal dinamika pergerakan dan perjuangan melawan penjajah. Pada saat itu, Kiai Ghufran (salah seorang utusan) mengisahkan kepada Kiai Hasyim perihal peristiwa yang terjadi di Singosari, Malang, dengan banyaknya korban dari pihak rakyat yang berjatuhan. Jelasnya, keduanya mengabarkan situasi bangsa selepas Agresi Militer Belanda 21 Juli 1947.

Mendengar cerita tersebut, Kiai Hasyim berkata, “Masyaallah Masyaallah” ungkapan ini sebagai sebuah keprihatinan dan kepasrahan. Setelah mengucapkan hal itu, Kiai Hasyim tidak sadarkan diri dan jatuh pingsan. Rupanya, peristiwa tersebut merupakan akhir dari hidup seorang kiai besar yang telah mendeklarasikan hidupnya untuk umat dan bangsa.

Mendirikan Nahdlatul Ulama

Kita tahu, Nahdlatul Ulama (NU) adalah Jam’iyyah Diniyah Islamiyyah (organisasi sosial keagamaan Islam) yang didirikan oleh para ulama pesantren, pemegang teguh salah satu madzhab empat berhaluan Ahlussunnah wal Jama’ah ala madzahibil arba’ah, tetapi juga memperhatikan masalah-masalah sosial, ekonomi, perdagangan dan sebagainya dalam rangka pengabdian kepada bangsa, negara dan umat manusia.

NU sejak kelahirannya merupakan wadah perjuangan untuk menentang segala bentuk penjajahan dan merebut kemerdekaan negara Republik Indonesia dari kolonialisme Belanda dan Jepang, sekaligus aktif melakukan dakwa-dakwahnya untuk senantiasa menjaga kesatuan negara Republik Indonesia dalam wadah NKRI.

Sekurang-kurangnya, ada tiga alsan yang melatar belakangi lahirnya NU 31 Januari 1926, yaitu Pertama, motif agama; kedua, motif mempertahankan paham Ahlussunnah wal Jama’ah; dan ketiga, motif nasionalisme.

Dalam buku Nahdlatul Ulama (NU) dan Kontribusinya dalam Memperjuangkan Kemerdekaan dan Mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dikatakan bahwa motif nasionalisme adalah diantara tiga motif lahirnya NU, diantaranya yaitu Pertama, motif agama karena NU lahir atas semangat menegakkan dan mempertahankan agama Allah Swt. di Nusantara, meneruskan perjuangan Walisongo.

Terlebih Belanda, tidak hanya menjajah Nusantara, tapi juga menyebarkan agama Kristen, Katolik dengan sangat gencarnya. Mereka membawa para misionaris-misionaris Kristiani ke berbagai wilayah.

Kedua, motif mempertahankan Ahlussunnah wal Jama’ah, karena NU lahir untuk membentengi umat Islam khususnya di Indonesia agar tetap teguh pada ajarah Ahlussunnah wal Jama’ah, (para pengikut Sunnah Nabi, Sahabat dan Ulama Salaf Pengikut Nabi-Sahabat), sehingga tidak tergiur dengan ajaran-ajaran baru yang tidak dikenal pada zaman Rasulullah-Sahabat-Salafus Shaleh.

Faktor lain yang menjadi cikal-bakal lahirnya atau berdirinya Nahdlatul Ulama adalah sebagai perluasan dari suatu Komite Hijaz yang dibangun dengan dua tujuan. Pertama, untuk mengimbangi komite Khilafah yang secara berangsur-angsur jatuh ketangan golongan pembaharu, Kedua, untuk berseru kepada Ibnu Sa’ud penguasa baru ditanah Arab, agar kebiasaan beragam secara tradisi dapat diteruskan.

Sebenarnya, kelahiran Nahdlatul Ulama sudah lama dicita-citakan oleh Kiai Wahab Hasbullah. Setidaknya, sejak pengaruh pembaharuan Muhammad bin Abdul Wahab mulai masuk ke Indonesia kurang lebih sekitar abad XX. Selanjutnya, Kiai Wahab Hasbullah telah menyampaikan ide tersebut sekitar tahu 1924, ketika pertahanan Syarief Husein (Raja Hijaz; Makkah) mulai goyah dan kemudian jatuh ketangan Ibnu Sa’ud (Raja Nejed: Saudi Arabia).

Ide itu kemudian disampaikan kepada Kiai Hasyim Asy’ari. Namun, beliau belum bisa menyetujui, sebelum dikonfirmasikan terlebih dahulu kepada Allah SWT melalui jalan istikharah memohon petunjuk langsung kepada Tuhan. Namun, petunjuk itu bukan jatuh ketangan Kiai Hasyim selaku pemohon, melainkan diterima oleh Kiai Chalil, seorang ulama terkemuka di Bangkalan, Madura, yang juga guru Kiai Hasyim Asy’ari dan Kiai Wahab Hasbullah.

Lagi pula, posisi Kiai Hasyim ketika itu, lebih dikenal sebagai bapak Umat Islam Indonesia (Jawa), dan tempat meminta nasihat bagi banyak tokoh pergerakan nasional. Sehingga, ide untuk mendirikan perkumpulan tersendiri harus dikaji secara mendalam, karena bisa berkonotasi memecah belah persatuan umat (Alasan Kiai Hasyim bertindak hati-hati dalam hal ini adalah untuk mendirikan sebuah organisasi pada saat itu, bila tidak dihitung manfaat dan mudlarat-nya, justru akan menguntungkan pihak penjajah. Disinilah letak peran Kiai Hasyim sebagai bapak dan pendiri NU).

Dikarenakan faktor penyebab belum ada persetujuan dari sang Maha Guru (Kiai Hasyim Asy’ari), selama itu pula belum bisa diwujudkan. Setelah mendapat izin dari sang Maha Guru, Kiai Wahab Hasbullah langsung membentuk Komite Hijaz dan selanjutnya mengumpulkan para ulama untuk melahirkan Nahdlatul Ulama. Hal ini dapat dikatakan bahwa kemenangan Ibnu Sa’ud atas tanah Hijaz, bisa dijadikan faktor pemercepat lahirnya Nahdlatul Ulama.

Dan benar pada tanggal 31 Januari 1926 berdirilah Jam’iyah Nahdlatul Ulama. Ini berarti, kunci pembuka rahasia berdirinya Nahdlatul Ulama berada ditangan Maha Guru Kiai Hasyim Asy’ari. Tanpa mengurangi peran yang dimainkan Kiai Wahab Hasbullah, peran Kiai Hasyim Asy’ari dalam proses kelahiran Nahdlatul Ulama adalah penentu atau pemegang “kata putus” sebagai bapak proklamator berdirinya Nahdlatul Ulama.

Yang tidak kalah pentingnya untuk dicatat adalah, apa yang ada di dalam buku Tokoh Proklamator Nahdlatul Ulama (Studi Historis Berdirinya Jam’iyyah Nahdlatul Ulama), bahwa Kiai As’ad Syamsul Arifin ketika itu meadi santri Kiai Chalil, bertindak selaku mediator antara Kiai Chalil dengan Kiai Hasyim. Petujuk pertama, pada akhir 1924 sang mediator diminta oleh Kiai Chalil untuk megantarkan sebuah “tongkat” ke Tebuireg, disertai seperangkat al-Qur’an surat Thaha: 17-23 yag menceritakan mu’jizat Nabi Musa AS.

Petunjuk kedua, kali ini akhir tahun 1925, sang mediator kembali diutus Kiai Chalil untuk mengantarkan seuntai “tasbih” lengkap dengan bacaan asmaul husna (Ya Jabbar Ya Qahhar, berarti menyebut asma Tuhan yang Maha Perkasa) ketempat yang sama ditujukan kepada orang yang sama pula, yakni Kiai Hasyim Asy’ari. Sesampainya di Tebuireng, santri As’ad langsung menyampaikan tasbih yang dikalungkan dan mempersilahkan Kiai Hasyim mengambilnya sendiri dari leher As’ad.

Setelah tasbih diambil, Kiai Hasyim bertanya kepada As’ad “apa tidak ada pesan lain lagi dari Bangkalan? Spontan saja As’ad menyahut: “Ya Jabbar Ya Qahhar”, di ulang sampai tiga kali, sesuai sang guru. Kiai Hasyim kemudian berkata “Allah Swt. telah memperbolehkan kita mendirikan Jam’iyah”. Karena simbol-simbol langit itu baru turun menjelang akhir tahun 1925, maka sejak itu pula dimulai usaha perintisan kearah terbentuknya Nahdlatul Ulama. Wallahu a’lam bisshawab.

Salman Akif Faylasuf

Salman Akif Faylasuf. Alumni Ponpes Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang nyantri di Ponpes Nurul Jadid, sekaligus kader PMII Universitas Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال