Konsep Pendidikan Karakter Menurut Kiai Hasyim Asy’ari


Pada dasarnya, pendidikan tidak terlepas dari sumber pokok ajaran Islam yaitu Al-Qur’an. Sebagai pedoman umat Islam, al-Qur’an menetapkan ketentuan tentang pendidikan seperti yang dijelaskan bahwasanya Allah Swt. akan meninggikan derajat seseorang yang senantiasa mencari ilmu. (QS. Al-Mujadalah: 11).

Itu artinya, untuk membentuk karakter seseorang sangat tidak mungkin tanpa pendidikan, karena pendidikan tidak hanya mendidik peserta didiknya menjadi manusia yang cerdas, melainkan juga membangun kepribadiannya agar berakhlak mulia.

Kita tahu, pola pemikiran Kiai Hasyim tentang pendidikan dalam kitab Adabul Alim Wal Muta’alim, beliau mengawali penjelasannya dengan mengutip ayat-ayat al-Qur’an dan Hadist, yang kemudian dijelaskan secara komprehensif. Misalnya, beliau menyebutkan bahwa tujuan utama ilmu pengetahuan adalah mengamalkannya.

Tentu saja, hal itu dimaksudkan agar ilmu yang dimiliki menghasilkan manfaat sebagai bekal untuk kehidupan di akhirat nannti. Mengingat begitu pentingnya sebuah ilmu pengetahuan, maka syari’at mewajibkannya untuk menuntut ilmu dengan memberikan pahala yang besar.

Karakteristik pemikiran Kiai Hasyim tentang pendidikan karakter dalam kitab Adabul Alim Wal Muta’alim, dapat dikategorikan kedalam corak yang praktis dan berpegang teguh pada al-Qur’an dan Hadist. Kecenderungan lain misalnya dari pemikiran beliau adalah mengetengahkan nilai-nilai etis yang bernafaskan sufistik.

Kecenderungan ini bisa dilihat dari gagasan-gagasannya, misalnya keutamaan menuntut ilmu. Menurut Kiai Hasyim, ilmu dapat diraih jika orang yang mencari ilmu menyucikan hati dari segala kepalsuan, noda hati, dengki, iri hati, aqidah yang buruk dan akhlak tercela.

Lalu bagaimana pendidikan karakter menurut Kiai Hasyim


Sekurang-kurangnya, ada tujuh konsep pendidikan karakter yang tawarkan oleh Kiai Hasyim dalam kitab Adabul Alim Wal Muta’alim, yaitu: Pertama, memurnikan niat. Niat merupakan sesuatu yang sangat fundamental dalam segala hal, baik dalam mencari ilmu, mengajar, dan perbuatan yang terpuji atapun tercela semuanya tergantung dari niatnya. Rasulullah Saw. bersabda:

إنما الأعمال بالنيات وإنمالكل امرئ مانوى (رواه البخاري)

Artinya: “Sesungguhnya setiap amalan tergantung kepada niatnya. Sesungguhnya setiap orang itu akan mendapatkan sesuatu yang menjadi niatnya”.

Menurut Syaikh al-Zarnuji dalam menuntut ilmu, sebaiknya seorang pelajar berniat mencari ridha Allah Swt., mengharap kebahagiaan akhirat, menghilangkan kebodohan dari dirinya sendiri dan dari orang-orang bodoh, menghidupkan agama, dan melestarikan Islam, karena sesungguhnya kelestarian Islam hanya dapat dipertahankan dengan ilmu.

Dalam kitab Adabul Alim Wal Muta’alim dijelaskan oleh Kiai Hasyim bahwa, dalam pembelajaran dibutuhkan kemurnian niat seperti mencari ilmu, dan mengajar ilmu hendaknya murid dan guru memurnikan niatnya untuk mencari ridha Allah Swt.

Artinya, segala perbuatan yang dilakukan oleh murid dan guru senantiasa diniatkan untuk Allah semata. Misalnya pada saat belajar, mengajar, dan mengamalkan suatu ilmu yang diperolehnya dengan niat mengharap ridha Allah Swt., tidak bertujuan duniawi, baik berupa kepemimpinan, jabatan, harta benda, keunggulan atas teman-temannya, dan penghormatan masyarakat.

Untuk itu, Kiai hasyim Asy’ari dalam kitab Adabul Alim Wal Muta’alim, menganjurkan kepada guru dan murid senantiasa untuk selalu memurnikan niat dalam mencapai sebuah ilmu, mencari ilmu, dan menyebarkannya semata-mata mencari ridha Allah Swt., mengamalkan ilmu, menghidupkan syari’at menerangi hati, menghiasi nurani dan mendekatkan diri kepada Allah Swt. dengan niat yang baik.

Kedua, berperilaku qana’ah. Qana’ah adalah sikap yang selalu menerima sesuatu apa adanya yang telah diberikan oleh Allah kepadanya. Kiai Hasyim dalam kitab Adabul ‘Alim Wal Muta’alim, menjelaskan bahwa seorang guru dan murid senantiasa harus berperilaku qana’ah dalam segala aspek kehidupannya, baik terhadap makanan maupun pakaian yang dimilikinya, dan bersabar atas kondisi ekonomi yang pas-pasan.

Dengan menerima segala sesuatu yang telah diberikan oleh Allah, maka karakter ini akan lebih mempermudah dalam mencapai sebuah ilmu dan perbuatan yang baik, karena karakter ini dapat membentengi hati dan akal terhadap hal-hal yang kurang bermanfaat dan justru akan melemahkan semangat dalam mencapai sebuah ilmu.

Ketiga, bersikap wara’. Wara’ adalah sikap berhati-hati dalam segala tingkah-lakunya. Menurut al-Zarnuji, seseorang ketika menuntut ilmu kemudian disertai wara’, maka ilmu yang diperolehnya akan berguna, belajar menjadi mudah, dan mendapatkan pengetahuan yang berlimpah.

Menurut Kiai Hasyim, sikap wara’ tidak hanya tertentu kepada murid saja, tetapi juga seorang guru harus senantiasa bersikap wara’ dalam hal apapun. Seperti, guru dan murid harus meneliti betul terhadap kehalalan makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan segala kebutuhannya yang lain, bahkan sesuatu yang subhat.

Kiai Hasyim dalam kitab Adabul Alim Wal Muta’alim, menganjurkan kepada guru dan murid untuk senantiasa bersikap wara’ dalam kehidupannya, karena hal itu dapat memudahkan dalam menerima ilmu dan cahaya ilmu, dapat menerangi hati, serta meraih manfaatnya ilmu.

Keempat, berperilaku tawadhu’. Tawadhu’ adalah sikap rendah hati, tidak menganggap dirinya sendiri melebihi dari orang lain, dan tidak menonjolkan dirinya sendiri, yang mana sikap ini perlu dimiliki oleh setiap guru dan murid. Lebih dari itu, karena sikap tawadhu’ merupakan cara untuk menjauhkan diri dari sifat sombong, sehingga guru juga akan mempunyai rasa hormat kepada siapapun.

Kiai Hasyim dalam kitab Adabul Alim Wal Muta’alim, menganjurkan kepada setiap guru dan murid untuk senantiasa bersikap tawadhu’. Misalnya, ketika guru menjelaskan pelajaran, murid harus mendengarkannya biarpun dia sudah paham. Begitu pula ketika murid menjelaskan suatu pelajaran, maka guru juga harus mendengarkannya, dan menghargai pendapat orang lain, agar pembelajaran dan ilmu yang dipelajarinya mudah dipahami dan bermanfaat baginya.

Kelima, berperilaku zuhud. Zuhud adalah sikap menggunakan fasilitas yang ada baik berupa benda dan lain-lain semaksimal mungkin menurut kebutuhannya dan tidak berlebih-lebihan, yakni sekiranya tidak membahayakan diri sendiri dan keluarga dengan diiringi sikap menerima sesuatu apa adanya.

Artinya, guru dan murid harus membiasakan diri untuk berperilaku zuhud dalam segala aspek kehidupannya, tidak berlebihan dan tidak pula kikir. Kehidupan sederhana merupakan kehidupan yang wajar yang terletak diantara hidup kekurangan dan hidup mewah, atau dengan kata lain hidup yang seimbang.

Kiai Hasyim dalam kitab Adabul Alim Wal Muta’alim, menganjurkan kepada guru dan murid untuk senantiasa bersikap zuhud dalam kehidupannya, karena karakter ini dapat membentengi diri dari sikap pemboros dan bakhil, serta tidak terlalu memikirkan urusan duniawi yang menjadi penghambat terhadap tercapainya keberhasilan suatu ilmu dan akhlak yang mulia.

Keenam, berperilaku sabar. Menurut al-Zarnuji, kesabaran dan keteguhan merupakan modal yang besar dalam segala hal, tetapi hal itu sangat jarang orang melakukannya. Dalam menuntut ilmu, hendaknya bersabar dan bertahan kepada seorang guru dan kitab tertentu, sehingga ia tidak meninggalkannya sebelum sempurna.

Kiai Hasyim dalam kitab Adabul Alim Wal Muta’alim, menganjurkan kepada guru dan murid untuk senantiasa berperilaku sabar dalam segala hal. Seperti, murid harus bersabar terhadap buruknya akhlak seorang guru, bahkan dia harus menafsiri dengan sebaik-baiknya terhadap perbuatan-perbuatan guru yang merupakan sikap aslinya dengan menganggap bahwa, perbuatan tersebut bukanlah perilaku guru yang sebenarnya.

Ketika guru bersikap kasar kepada murid, maka hendaknya murid yang memulai minta maaf, mengaku salah dan memohon keridhaan seorang guru, guru harus bersabar terhadap buruknya karakter yang dimiliki seorang murid. Guru juga harus menggaulinya dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang seolah-olah bergaul dengan anak kandungnya.

Ketujuh, menghindari hal-hal yang kotor dan maksiat. Dalam hal ini, setiap guru dan murid senantiasa menghindari hal-hal dapat menjatuhkan martabat dirinya menjadi tercela di tengah-tengah masyarakat, dan perilaku tersebut dapat menghilangkan cahaya hati dan kejernihannya. Juga, dapat menghilangkan kefahaman dalam belajar. Hati harus disucikan dari sifat-sifat yang tercela.

Maka dari itu, Kiai Hasyim dalam kitab Adabul Alim Wal Muta’alim, menganjurkan kepada setiap guru dan murid untuk senantiasa menghindari perbuatan kotor dan maksiat. Misalnya, seperti minum-minuman keras, berzinah, dan mencuri. Karena perbuatan tersebut dapat menghilangkan pemahaman terhadap suatu ilmu dan juga dapat menjauhkan diri dari Allah Swt. Wallahu a’lam bisshawab.


Salman Akif Faylasuf

Salman Akif Faylasuf. Alumni Ponpes Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang nyantri di Ponpes Nurul Jadid, sekaligus kader PMII Universitas Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال