Urgensi Tafsir Al-Qur’an


Secara tekstual tafsir bisa berarti jelas, nyata, terang dan memberikan penjelasan. Sedangkan kaitannya dengan Al-Qur’an, Tafsir diartikan sebagai penjelasan maksud yang sukar dari suatu lafaz atau ayat Al-Qur’an. Tegasnya, tafsir sesungguhnya merupakan upaya untuk memahami pesan-pesan Al-Qur’an.

Dalam perspektif Ushul al-Fiqh, bagaimana cara menjelaskan ayat Al-Qur’an disebut dengan bayan, yakni suatu ungkapan untuk mempertegas dan atau memperjelas maksud dari lafaz atau ayat Al-Qur’an. Dalam konsep ini, tafsir merupakan bagian bayan untuk menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an yang global.

Kemudian muncul pertanyaan, mengapa Al-Qur’an masih perlu diberi penjelasan sehingga membutuhkan penafsiran? Apakah Nabi tidak menjelaskan seluruh Al-Qur’an sehingga butuh penafsiran? Al-Qur’an sebagai petunjuk dalam mengikuti doktrin Islam harus diyakini (kebenarannya) dipahami (isinya) dan diamalkan (ajarannya).

Kronologi ini dalam kepribadian muslim dibangun secara berurutan, tidak bisa dicerai-berai atau dibalik. Sebab, untuk mengamalkan ajaran Al-Qur’an, kita terlebih dahulu perlu memahaminya. Mustahil kita dapat mengamalkan ajaran Al-Qur’an tanpa memahami terlebih dahulu isi dan kandungannya.

Begitu juga untuk memahami Al-Qur’an diperlukan keyakinan yang menjadi landasan bahwa apa yang akan dipelajarinya adalah sebuah kebenaran, sebab mempelajari sesuatu tanpa dilandasi keyakinan tersebut akan berakhir dengan dan mungkin juga menghasilkan sesuatu yang sia-sia. Jika inti dari ajaran (Al-Qur’an) adalah pengamalannya, maka pemahaman ajaran tersebut merupakan syarat menuju pengamalan paripurna.

Pada masa Nabi, para sahabat menanyakan langsung kepada Nabi ihwal yang dibutuhkan untuk pemahaman maksud dan tujuan Al-Qur’an, atau Nabi menjelaskan ayat-ayat yang dianggap perlu untuk dijelaskan. Dalam hal ini, Nabi berfungsi sebagai penyampai dan pemberi penjelasan. Tidak ada penjelasan yang pasti apakah Nabi menjelaskan keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an atau sebagiannya saja.

Namun demikian, fakta yang dapat ditemukan menunjukkan bahwa tidak semua penafsiran Nabi tentang ayat-ayat Al-Qur’an dapat diketahui secara keseluruhan. Mungkin karena penulisan hadits yang jauh setelah Nabi wafat atau karena memang Nabi tidak menjelaskan seluruh ayat Al-Qur’an.

Permasalahan berikutnya adalah, mampukah manusia memberikan penafsiran atau memberikan penjelasan kalam Tuhan? Sejauh mana penafsiran manusia dianggap sesuai dengan yang sebenarnya diharapkan Allah SWT sehingga dapat dijadikan dasar?

Untuk menjelaskan pertanyaan tersebut, perlu ditegaskan disini bahwa Al-Qur’an yang secara teologis diyakini sebagai bahasa Tuhan, pada kenyataannya ia menggunakan bahasa Arab. Sebaliknya, hadis yang kenyataannya menggunakan bahasa Nabi (bahasa Arab) menurut pandangan mayoritas ulama secara teologis diyakini sebagai bahasa Tuhan yang termetaforkan dalam bahasa Nabi.

Perlu ditegaskan disini, walaupun Al-Qur’an menggunakan bahasa Arab, tidak jarang kata yang dipergunakan Al-Qur’an berbeda dengan makna yang dipahami bangsa Arab ketika itu. Misalnya, kata salat yang menurut orang Arab berarti do’a, oleh Al-Qur’an dimaknai sebagai ucapan dan perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam.

Sebab itulah, maka sekalipun para sahabat adalah orang Arab, mereka masih memerlukan penjelasan secara langsung dari Nabi sebagai pemegang otoritas pertama dalam menafsirkan Al-Qur’an.

Contoh lainnya seperti kata al-kautsar. Orang Arab menggunakan al-kautsar untuk menamai segala sesuatu yang banyak bilangannya atau tinggi nilainya, bahkan orang yang mempunyai jasa yang banyak terhadap masyarakat disebut dengan al-kautsar. Akan tetapi, Nabi menjelaskan bahwa maksud al-kautsar dalam Surat al-Kautsar [108]: 1) tersebut adalah sebuah sungai/telaga yang diberikan Allah kepada beliau.

Setelah Nabi wafat, para sahabat memberikan penafsiran Al-Qur’an dengan berijtihad sendiri melalui pengkajian kebahasaan dan pengkajian terhadap kejadian-kejadian yang mengakibatkan turunnya ayat Al-Qur’an, atau bertanya kepada beberapa ahli tafsir yang terkenal pada masanya. Selain kegiatan menafsirkan Al-Qur’an, para sahabat juga mempunyai murid yang menerima seluruh pemikiran tafsir yang dicetuskannya.

Dari sini dapat dipahami bahwa tujuan penafsiran dan pengajaran Al-Qur’an tersebut untuk menjaga kebenaran maksud yang terkandung didalamnya. Namun, karena bahasa Al-Qur’an ada kalimat yang jelas (muhkam) dan yang belum jelas (mutasyabih) dalam beberapa hal penafsiran ulama terhadap Al-Qur’an berbeda-beda. Faktor yang mengakibatkan terjadinya perbedaan ini, antara lain: perbedaan bacaan, perbedaan dalam penjabaran kalimat (i’rab), kandungan makna ganda.

Mengingat adanya perbedaan diatas, maka seluruh hasil penafsiran ulama tidak tergolong ketentuan yang pasti (qath’i) melainkan bersifat nisbi (dhanni). Sekalipun hasil penafsiran ulama terhadap Al-Qur’an bersifat nisbi, apabila penafsirannya didasarkan atas atau bersumber dari Al-Qur’an, Hadis, perkataan sahabat dan tabi’in (bisa disebut dengan tafsir bi al-ma’tsur), maka hasil penafsirannya tersebut mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dan kita wajib berpedoman atau berpegang pada hasil penafsirannya tersebut. Wallahu a’lam bisshawab.


Salman Akif Faylasuf

Salman Akif Faylasuf. Alumni Ponpes Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang nyantri di Ponpes Nurul Jadid, sekaligus kader PMII Universitas Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال