Kritikan Akan Membuat Semakin Terkenal; Belajar Dari Al Ghazali


Memang benar, setiap orang berhak menilai apa saja terhadap pemikiran seseorang. Perbedaan pandangan orang terhadap sesuatu apapun dan pikiran siapapun adalah wajar dan sangat alamiah. Karena setiap orang dibatasi oleh ruang dan waktunya masing-masing, dibatasi oleh kapasitas intelektual, perspektif, pengalaman hidup dan sebagainya.

Adalah juga lumrah, bahwa mereka yang mengagumi seseorang akan selalu memujinya setinggi langit dan setengah mengkultuskannya. Sementara, mereka yang membencinya akan selalu mengolok-oloknya sebagai orang yang serba buruk, penuh cacat dan sebagainya.

Kiranya sangat tepat dan cocok apa yang disampaikan oleh Imam Syafi’i untuk renungkan, agar melihat segala sesuatu secara objektif dan rela untuk mengapresiasinya walaupun hal itu berada pada kawan kita yang berpakaian berbeda dengan kita. Kata Imam al-Syafi’i dalam syairnya:

وعين الرضا عن كل عيب كليلة كما أنّ عين السخط تبدي المساويا

“Dan pandangan mata cinta akan menutupi segala keburukan (buta pada bopeng wajah kekasih), sebagaimana pandangan mata benci akan menampakan kebaikan menjadi keburukan”.

Syahdan, berbicara tentang penilaian terhadap kritik pemikiran seseorang, saya kira menarik sekali jika membahas pemikiran Al-Ghazali dalam sejumlah tulisannya, terutama “Ihya’ Ulum al-Din” dan “Tahafut al-Falasifah”. Kedua, kitab ini adalah dua karyanya yang paling kontroversial dan yang paling banyak dibaca, didiskusikan dan dikritisi para peneliti pikiran-pikiran Al-Ghazali.

Dua buku ini telah menciptakan dampak luar biasa atas pikiran dan kehidupan kaum muslimin. Ia telah menciptakan kegoncangan di kalangan para intelektual, para cendikiawan dan para filosof. Argumen-argumen Al-Ghazali demikian kuat dan sulit dibantah. Tetapi, ia juga memunculkan gelombang kegembiraan di sebagian kalangan ulama dan kaum sufi.

Para kritikus Al-Ghazali menganggap bahwa akibat buku tersebut, Ilmu Pengetahuan dan peradaban kaum muslimin di seluruh dunia mengalami kebangkrutan besar, sehingga sulit untuk bangkit kembali sampai hari ini. Sebagian orang yang kecewa berat atas realitas umat Islam itu melemparkan tanggung jawab kebangkrutan itu kepadanya, “Kebangkrutan peradaban kaum muslimin sekarang ini gara-gara dia,” demikianlah kata mereka.

Dua ratus tahun sesudahnya, lahir di Andalusia, seorang cendikiawan dan filusuf muslim besar: Ibnu Rusyd al-Hafid. Ia menulis buku “Tahafut al-Tahafut” sebagai kritik keras terhadap buku Al-Ghazali: Tahafut al-Falasifah. Ibnu Rusyd mencoba menggerakkan kembali diskusi-diskusi filsafat, dan pemikiran rasional.

Dalam bukunya “Fashal al-Maqal fi Ma Baina al-Syari’ah wa al-Hikmah min al-Ittishal”, Ibnu Rusyd mengemukakan keharusan kaum muslimin untuk menggunakan akal-pikirannya. Agama dan Filsafat tidaklah bertentangan. Keduanya bagaikan saudara sesusuan. Pikiran-pikiran Ibnu Rusyd lah yang kemudian memengaruhi kebangkitan Eropa. Akan tetapi, meski demikian, dunia muslim tetap lebih terkesima dan terpengaruh oleh pikiran-pikiran Al-Ghazali.

Barangkali, menurut penulis, tidak ada tokoh muslim sepanjang sejarah peradaban Islam yang diserahi tanggungjawab besar seperti ini kecuali Al-Ghazali. Ini tentu saja tidak adil dan melawan prinsip tanggung jawab personal. “Setiap orang bertanggungjawab atas dirinya sendiri,” “Tuhan tidak mengubah nasib suatu bangsa kecuali dirinya sendiri yang mengubahnya,” begitu kata al-Qur’an. Kebangkrutan kaum muslimin tentu saja adalah tanggungjawab seluruh muslim. Ini adalah tantangan besar yang dihadapi kaum muslimin di seluruh dunia.

Sekalipun demikian, terlepas dari pandangan-pandangan yang amat kritikal dan caci-maki yang tajam terhadap Al-Ghazali, akan tetapi kebesarannya tetap saja tidak berkurang. Ia diakui oleh semua atau banyak pihak di Timur maupun di Barat sebagai cendekiawan besar yang pernah dihasilkan peradaban Islam.

Mereka mengakui Al-Ghazali sebagai pribadi besar dengan kecerdasan luar biasa (abqariy), “petualang” ilmu yang selalu haus dan tak pernah lelah berpikir dan menulis karya-karyanya yang begitu banyak dan bernilai abadi. Seluruh hidupnya diabdikan untuk mengeksplorasi ilmu pengetahuan dan menyebarkannya kepada siapa saja.

Iya, terlepas banyak orang yang tidak suka kepadanya, akan tetapi selama berabad-abad, kaum muslimin di banyak komunitas di dunia menikmati pikiran-pikirannya, terutama dalam karya besarnya “Ihya’ Ulum al-Din”.

Rupanya, di Indonesia, kitab ini dibaca di pesantren-pesantren bertahun dan berabad. Banyak juga yang mengatakan bahwa ketidaksukaan orang terhadapnya sudah cukup membuktikan bahwa Al-Ghazali sesungguhnya adalah seorang pemikir yang paling berpengaruh sepanjang sejarah.

Jelasnya, Al-Ghazali adalah seorang ulama yang bebas sekaligus pemilik hati yang tak pernah gentar terhadap siapapun, kecuali kepada Tuhan (Ghayr mubalin bi ridha al-radhin wa la bi sukhth al-sakhithin, wa la yakhafu lawmata la’im). Bahwa semakin banyaknya caci-maki dan hujatan, justru dia semakin besar. Wallahu a’lam bisshawaab.

Salman Akif Faylasuf

Salman Akif Faylasuf. Alumni Ponpes Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang nyantri di Ponpes Nurul Jadid, sekaligus kader PMII Universitas Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال