Sintetis Antara Filsafat dan Tasawuf dalam Konsep Wahdatul Wujud Ibnu Arabi


Penulis: Muhammad Ihza Fazrian*

Dalam tulisan ini, penulis mencoba untuk menjabarkan pertemuan antara dimensi filosofis yang bercorak rasional, juga mengandung dimensi spiritual yang transenden. Konsep tersebut penulis dapatkan dari seorang filsuf sekaligus sufi besar dari dunia Islam yang berasal dari Cordoba, Spanyol bernama Ibnu Arabi. 

Ibnu Arabi memiliki nama asli Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Al Arabi At-Thai At-Tamimi. Ia lahir di Spanyol bagian utara, lebih tepatnya di Mursia pada 28 Juli 1165 M. Masa mudanya diisi dengan fokus belajar berbagai keilmuan seperti Alqur’an, Hadis, fikih, tasawuf dan filsafat. 

Secara etimologi, wahdah berarti “kesatuan” dan wujud berarti “realitas”. Kedua kata tersebut menyatu dan menjadi sebuah konsep utama dari pemikiran Ibnu Arabi. Wahdatul wujud merupakan konsep yang berusaha untuk menjabarkan antara Tuhan (Allah) dalam hubungannya dengan alam. 

Mengenai hal tersebut Ibnu Arabi menyatakan bahwa segala sesuatu yang nampak sekarang semata-mata merupakan tajalli “penampakan” Allah. Konsep wahdatul wujud hadir bertujuan untuk menjelaskan bahwa sesungguhnya aspek transenden merupakan sesuatu yang penting untuk dipahami. 

Hal ini bertujuan agar manusia mengerti bahwa hal tersebut seakan mengisyaratkan bahwa penciptaan dirinya merupakan alasan Allah sebagai realitas mutlak dan pencipta. Artinya manusia harus memiliki kesungguhan dalam membentuk batinnya agar dapat mengenal realitas mutlak tersebut.

Dalam penjabarannya, ada beberapa hal yang diperlukan untuk memahami wahdatul wujud sebagai sebuah sintetis filsafat dan tasawuf. Pertama, perlu diketahui dalam pemikirannya, Ibnu Arabi dipengaruhi oleh beberapa tokoh dalam bidang tasawuf dan filsafat. Dalam bidang filsafat, diantaranya tokoh-tokoh yang mempengaruhinya adalah Ibnu Sina dalam menjelaskan relasi Tuhan (Allah) dan alam. 

Kemudian Empidocles dalam menjelaskan atribut-atribut Ketuhanan dan Ikhwan as-Shafa dalam menjelaskan jiwa dan caranya mencapai Tuhan. Begitu juga dalam Tasawuf, tokoh-tokoh yang mempengaruhi konsep wahdatul wujud diantaranya adalah Al Hallaj, Hakim Tirmidzi dan Al Ghazali. 

Dari keseluruhan yang disebutkan, Ibnu Arabi mengunakan pemikiran tokoh-tokoh tersebut untuk menjelaskan simbol-simbol metafisik dan ide-idenya. Hal ini menunjukan upaya Ibnu Arabi dalam menggabungkan dua hal yang berbeda, yakni filsafat dan tasawuf sebagai bentuk keseriusannya dalam membuat konsep wahdatul wujud.

Kedua, Ibnu Arabi menjelaskan bahwa eksistensi itu hadir disebabkan oleh esensi yang mendahuluinya. Dalam wahdatul wujud, hal ini dapat dijabarkan menjadi empat tingkatan, ada (wujud) dalam sesuatu “wujudu syai fi ainih”, ada dalam pikiran dan konsepsi “wujudu syai fil ilmi” , ada lafaz yang diucapkan “wujudu syai fil lafzhi”, ada dalam sesuatu yang dituliskan “wujudu syai fi arruqumi”. 

Dari hal tersebut, selanjutnya Ibnu Arabi menjabarkan tentang heirarki dan pembagian dari wujud yang terbagi menjadi dua, wujud mutlak dan wujud nisbi. Wujud mutlak merupakan wujud yang paling tertinggi karena ia tidak terbagi atau tunggal. Wujud nisbi merupakan wujud yang sifatnya mungkin, ia terbagi menjadi dua yaitu bebas dan bergantung. 

Wujud bebas dapat dipahami dengan keberadaannya yang merupakan esensi sedangkan wujud bergantung merupakan wujud yang secara jelas terlihat di alam raya ini. Kemudian wujud bebas tersebut dbagi lagi menjadi dua yaitu spiritual dan material.  

Tentang Entitas Permanen (al-a’yan ats-sabitah) 

Perlu dipahami bahwa dalam konsep wahdatul wujud terdapat istilah yang disebut entitas permanen atau al-a’yan atsabitah. Entitas Permanen pada hakikatnya adalah bagian dari wujud nisbi, namun ia merupakan sesuatu yang permanen. Ini terjadi karena ia memiliki keterikatan dengan wujud mutlak (Tuhan) dan segala sesuatu yang terlihat pada alam ini adalah aktualisasi dari entitas tersebut. 

Meskipun dinamakan entitas permanen, ia berbeda dengan zat Tuhan itu sendiri. Lebih tepatnya dapat ia berada di tengah-tengah zat tuhan dan aktualisasi dari nya (alam raya). Artinya entitas ini bersifat paradoks. 

Ia bersifat qadim (lampau) sekaligus hadis (baru) dalam hubungan heirarki dan hubungannya dalam mengejawantah “tajalli”. Entitas tersebut qodim karena ia merupakan subjek pengetahuan yang ada pada Tuhan dan Hadis karena ia merupakan sesuatu yang muncul kemudian mewujud ke alam nyata dan merupakan bagian dari ruang dan waktu. 

Dari keseluruhan penjelasan di atas, pada akhirnya Ibnu Arabi menyatakan segala sesuatu yang beragam tadi sejatinya bukanlah realitas sesungguhnya. Ia menyatakan, realitas sesungguhnya adalah wujud mutlak itu sendiri yaitu Tuhan (Allah) itu sendiri. 

Hal ini karena adanya berbagai realitas tadi semata-mata merupakan akibat dari realitas mutlak yaitu tuhan (Allah). Hal ini tentunya menimbulkan pertanyaan serius, yaitu bagaimana keadaan ontologis alam ini? Apakah secara mutlak wujudnya tidak ada? Sehingga yang ada hanya wujud Tuhan (Allah) itu sendiri?

Tentunya Ibnu Arabi menjawab dengan serius perihal hal ini. Menurutnya, alam ini adalah al-Haq sekaligus bukan dirinya sendiri. Ia mengistilahkannya dengan prinsip dia bukan lah dia “huwa la huwa”, ia merupakan satu kesatuan dalam berbagai kontradiksi ontologis yang ada. 

Ia merupakan al-awwal (yang pertama) sekaligus al-akhir (yang terakhir), ia adalah az-zhahir (yang nyata) sekaligus al-bathin (yang tersembunyi) dan begitulah seterusnya. Ia menjelaskan bahwa, kesatuan tersebut disitilahkan juga olehnya sebagai al-jamu bainal adad (kesatuan dalam bertentang-tentangan). 

Kemudian Penggunaan simbol cermin juga menjadi suatu hal yang menarik dalam menjelaskan hubungan Tuhan (Allah) dengan alam. Ia menyatakan bahwa cermin tersebut merupakan sarana digunakan Allah untuk memperlihatkan diriNya. 

Dari cermin tersebut, banyak hal yang terpantul namun perlu diketahui bahwa hal tersebut sebenarnya bukanlah Allah itu sendiri. Dari hal ini dapat disimpulkan bahwa kontradiksi ontologis yang terjadi itulah realitas sesungguhnya (Allah). 

Daftar Pustaka

  1. Dr. H. A. Khudori Soleh M.Ag. FILSAFAT ISLAM Dari Klasik Hingga Kontempore. Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA, 201M.
  2. Dr. H. Syamruddin Nasution. M.Ag. Sejarah Peradaban Islam. Pekanbaru - Riau: Yayasan Pusaka Riau, 2013.
  3. Faza, Abrar M. Dawud. “TASAWUF FALSAFI.” Al-Hikmah: Jurnal Theosofi dan Peradaban Islam 1, no. 1 (6 Februari 2019). https://doi.org/10.51900/alhikmah.v1i1.4050.
  4. Mustamain, Kamaruddin. “Ontologi Tasawuf Falsafi dalam Konsep Wahdatul wujud Ibnu Arabi.” Rausyan Fikr: Jurnal Studi Ilmu Ushuluddin dan Filsafat 16, no. 2 (13 Desember 2020): 267–81. https://doi.org/10.24239/rsy.v16i2.630.
  5. OOM MUKARROMAH. “ITTIHAD, HULUL, DAN WAHDAT AL-WUJUD.” TAZKIYA 129 Jurnal Keislaman, Kemasyarakatan 16, no. 1 (2015).
  6. Seyyed Hossein Nasr. Tiga mazhab utama filsafat Islam. Yogyakarta: IRCiSoD, 2020.
  7. Suteja Ibnu Pakar. TOKOH-TOKOH TASAWUF DAN AJARANNYA. Yogyakarta: Deepublish, 2013.

*) Mahasiswa Program Studi Akidah dan Filsafat Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. 

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال