Perempuan Timur dalam Pandangan Orientalisme

Penulis: Alfina Ni’matul Kasanah*

Orientalisme telah mejadi pokok pembicaraan yang sering dibahas dalam kajian gender. Pandangan Barat yang menganggap eksotis dan misterius terhadap dunia Timur, bukan hanya pengaruhnya terhadap negara-negara Timur malainkan juga mempengaruhi pandangan mereka terhadap perempuan di Timur. Orientalisme sendiri telah menempatkan perempuan Timur kedalam posisi yang suborditas (kerterbatasan dalam ruang lingkup) dan kemudian menimbulkan penindasan terhadap Timur.

Permasalahan Timur terutama dalam Islam sendiri telah menjadi sorotan dari Barat tentang masalah kesetaraan gender serta peran dan partisipasi perempuan dalam kebudayaan Timur. Masalah tentang isu kesetaraan gender pada bidang pendidikan yang kemudian memunculkan berbagai macam sanggahan dan kritik yang kemudian dianggap tidak memberikan ruang bagi kaum perempuan. Justru sebagian besar kultur Timur dianggap terlalu berpihak dan maskulin terhadap kaum laki-laki.

Kecaman yang sering dilontarkan oleh para aktifis gender nusantara bahkan telah mendunia tersebut bukanlah sesuatu yang baru dalam konteks perspektif menurut sejarah umat manusia. Masalah perbedaan peran serta status perempuan dan laki-laki telah menjadi perhatian utama saat ini. Pandangan para orientalis Barat terhadap Timur sering kali di dasarkan pada konsepsi mengenai sifat yang hanya berdasarkan pada prasangka yang subjektif, yang kemudian menyebabkan penindasan dan diskriminasi terhadap perempuan Timur.

Prasangka yang subjektif itu atau biasa disebut dengan stereotip termasuk pandangan yang membuktikan bahwa perempuan Timur itu seksualitas, aktif, serta tunduk pada laki-laki. Padahal pernyataan tersebut belum tentu benar adanya dan seringkali dibentuk oleh pandangan Barat yang telah didasarkan hanya dengan prasangka. Kajian gender telah membahas dampak negative dari pandangan Barat terhadap perempuan Timur termasuk dalam kasus yang dimana orientalisme digunakan sebagai penindasan.

Penindasan terjadi pada perempuan Afghanistan selama pemerintahan Taliban pada tahun 1990 an, yang dimana perempuan dilarang menghadiri acara pendidikan dan dilarang bekerja diluar rumah. Justifikasi dengan pandangan bahwa perempuan Timur harus hidup dalam batas yang telah ditetapkan oleh budaya dan agama mereka sendiri. Perempuan yang dibatasi dalam setiap geraknya.

Kata “orientalisme” merujuk pada pandangan Barat tentang dunia kehidupan di Timur atau disebut dengan “orient”. Berarti kata orientalisme yaitu bukan hanya tentang penjelasan atau deskripsi tentang budaya Timur melainkan juga tentang cara pandang Barat yang seringkali dipengaruhi oleh prasangka terhadap budaya Timur. Didalam budaya Timur sering kali digambarkan dengan menekankan pada aspek mistis dan eksotis. Sementara realitas sosial dan sejarah serta politiknya sudah terabaikan.

Orientalisme seringkali menciptakan suatu perbedaan dua bagian (biner) antara ‘Barat’ dan ‘Timur’ yang memandang Timur sebagai sesuatu yang eksotis dan inferior. Tetapi perlu diingat bahwa pandangan tersebut berasal dari penelitian dan kajian awal tentang budaya Timur pada abad ke 18 dan abad ke 19, dan tidak mewakili pandangan menyeluruh atau konsisten dari seluruh masyarakat Barat dalam orientralisme. 

Perempuan Timur juga digambarkan sebagai sosok yang eksotis, pasif, dan memiliki kecantikan sendiri yang memikat. Representasi tersebut dihasilkan oleh pandangan dan paparan Barat terhadap perempuan Timur yang dibangun melalui karya seni dan sastra yang telah dipengaruhi oleh pemikiran orientalisme. Contohnya dalam orientalisme adalah gambaran perempuan Timur sebagai bagian rumah yang terpisah khusus yang hidup dalam keterasingan dan terjebak dalam struktur sosial yang otoriter dan patriarki.

Selain itu perempuan Timur juga dipandang sebagai objek seksual bagi kaum laki-laki Timur yang hidup dalam sistem budaya patriarki yang tidak memiliki kebebasam dalam menentukan nasib hidupnya sendiri. 

Pemikiran ini memperteguh stereotip bahwa perempuan Timur hanya dipandang memiliki nilai estetika dan seksualitas semata. Sementara itu perempuan juga dianggap bermutu rendah dibandingkan dengan perempuan Barat yang lebih cantik dan modern serta terdidik.

Dalam Orientalisme kedudukan perempuan bukan hanya direpresentasikan sebagai sosok yang tidak memiliki suara dalam masyarakat maupun masalah politik. Pernyataan tersebut memperkuat bahwasannya perempuan Timur tidak memiliki partisipasi dalam masalah politik dan hak sipil yang setara dengan laki-laki.  Orientalisme secara keseluruhan telah membangin stereotipe dan representasi yang sudah merendahkan perempuan timur dan telah memperkuat ketiadaksetaraan gender di kalangan masyarakat Timur.

Dalam pergaulan hidup pada zaman masyarakat Arab jahiliyah sudah memiliki aturan seperti hukum tentang hukum waris, perkawinan, perdagangan, dan lainnya. Tetapi, dalam hukum waris jahiliyah dan perkawinan, posisi perempuan dianggap tidak berharga. Laki-laki bisa menikahi perempuan lebih dari satu tanpa memberikan mas kawin atau batas maksimum, sementara kaum perempuan tidak memiliki hak untuk mendapatkan bagian warisan harta dari keluarga atau orang tua yang meninggal.

Tetapi dalam Islam ada bagian hak warisan bagi perempuan meskipun tidak sebesar yang diterima oleh kaum laki-laki. Hal tersebut menunjukkan bahwa secara sejarah, Islam telah memperlihatkan kebiasaan hukum Arab jahiliyah dengan memperhatikan posisi perempuan dalam konteks hukum Islam. Dalam beberapa kasus terutama saat munculnya iden yang memeberikan bagian warisan bagi perempuan dari ajaran Islam Islam telah menimbulkan respon yang keras dari para tokoh Arab pra Islam yang memegang erat tradisinya.

*) Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال