Relevansi Pemikiran Ibnu Sina Terhadap Kenabian



Penulis: Mariaska Anggraeni*

Pengetahuan tentang kenabian ini lebih dikenal sebagai “filsafat kenabian”. Ibnu Sina dalam memaparkan persoalan kenabian, ia mengakui bahwa kenabian itu dimiliki oleh nabi yang disebut dengan al-quds atau intuisi ilahi yaitu suatu daya yang paling tinggi yang dapat diperoleh manusia sebagai nabi.

Selain itu Ibnu Sina juga mensetujui pernyataan Al Farabi bahwa kenabian terjadi akibat emanasi dari akal aktif. Kenabian merupakan nabi yang memiliki kekuatan yang diberikan oleh Allah intuisi Ilahi. Kekuatan tersebut dimiliki oleh manusia yang dipilih sebagai nabi. 

Menurut Ibnu Sina, status kenabian tidak dapat dicapai dengan akal yang mendasarinya saja. Namun itu bisa diperoleh para nabi dengan kekuatan IlahiPeran akal adalah memperhitungkan sesuatu dalam mendefinisikan bentuk pengalaman inderawi yang disinari oleh akal aktif, konsep abstrak yang tercetak pada akal dalam bentuk penalaran yang jelas dan sesuai disiapkan dan terpancar dari kecerdasan aktif. 

Hubungan antara jiwa dan tubuh adalah dasar perolehan manusia. Dalam hal ini, material bermakna dari teori interaksi Platonisme dan Descartes menjelaskan bahwa tubuh-tubuh dan jiwa adalah dua substansi yang saling berinteraksi. Pada diri nabi, telah diciptakan akal material. Pikiran ini terbentuk dari kebijaksanaan teoritis yang membuat nabi tak tertandingi oleh manusia seperti seorang filsuf.

Seorang nabi adalah seorang yang telah memperoleh pengetahuan tentang sifat kecerdasan lansung dan aktif. Menurut Ibnu Sina, status kenabian tidak dapat dicapai dengan akal yang mendasarinya saja. Namun itu bisa diperoleh para nabi dengan kekuatan Ilahi

Ibnu Sina menyatakan bahwasanya ada karakteristik antara nabi, filosof dan mistikus. Namun, para nabi dibedakan dari filosof dan mistikus atas kepemilikan imajinasi yang kuat. 

Kemampuan imajinasi ini yang menjadi dasar bagi para filosof untuk membahas proses wahyu yang yang diperoleh oleh nabi. Nabi bukanlah sekadar pemikiran atau mistikus, melsainkan pelaku sejarah peradapan manusia dengan dengan karakteristiknya tertentu. 

Nabi juga memiliki hukum-hukum tersendiri. Maka dari itu, antara wahyu kenabian dan religio sosial merupakan bagian yang sangat penting dari status nabi.

Dalam pandangan Ibnu Sina dikenal dengan tiga sifat kenabian. Pertama , yang berhubungan dengan fakultas imajinatif, kedua yang terkait dengan intelek (dan melibatkan diskusi tentang ads, “wawasan” atau “intuisi”), ketiga yang tekait dengan jiwa manusia secara keseluruhan (yaitu, dengan muarrika atau fakultas motif, sedangkan dua yang pertama berhubungan dengan dua jenis Mudrika atau fakultas persepsi). 

Ibnu Sina beragumen bahwa nubuat merupakan kemampuan seorang nabi terhubung dengan realitas puncak tanpa bantuan kemampuan penalaran, Ibnu Sina juga berpandangan bahwa kenabian itu terjadi akibat pancaran dari akal aktif, yang tersambung dengan al-qudsi (intuisi suci) yang dimiliki seorang nabi untuk menampung pancaran nubuat. 

Manusia biasa, meskipun memiliki akal dan memaksimalkanya, belum tentu dapat menerima pancaran akal aktif yang membuahkan wahyu. Oleh karna itu, hanya manusia khusus yang memiliki jiwa suci yang dapat menerima pancaran tetrsebut.

Seorang nabi memiliki dasar yang kuat dan bersifat menyejarah, kekuatanya masih tunduk dalam rumus-rumus evolusi sejarah.

Menurut Ibnu Sina, jiwa suci yang dimiliki seorang nabi merupakan klarifikasi penempatan manusia. Nabi memang seorang manusia, tetapi tidak bisa ditempatkan sebagai manusia biasa pada umumnya. Pada diri nabi, akalnya dan jiwanya, telah dipenuhi pancaran akal aktif. Oleh karena itu, menurut ibnu sina, kenabian dapt diperoleh berdasarkan hasil dari persenyawaan akal potensial dan daya jwa suci. 

Ibnu Sina menegaskan bahwa nabi-nabi juga dikaitkan dengan Tuhan dengan imajinasi yang sangat kuat, selain itu juga karena imajinasi yang kuat bahwa mampu berbicara tentang surga yang penuh kebahagiaan dan siksaan neraka. 

Nabi memiliki tingkat kecerdasan yang sanggat tinggi dan kekuata intuisinya juga sangat berbeda baik secara kualitatif maupun kuantitatif.

Ibnu Sina juga menganggap nabi sebagai lambang pemberi hukum. Membuat orang menjadi baik secara sosial dan memberikan kehidupan dan moralitas di setiap langkah, seorang nabi cenderung menerapkan tujuan moral, sebagai pemberi hukum dan pengawas sebagai negarawan yang hebat dalam struktur sosial politik, membimbing manusia menuju derajat kesempurnaan kemanusiaan. 

Pada dasarnya hukum harus di bangun oleh seorang nabi karena hukum berfungsi sebagai pengendali kepentingan diri sendiri yang berlebihan dari orang banyak. Maka dari itu, sangat penting bagi nabi untuk mampu mewujudkan ketetapan-ketetapan hukum dalam perilakunya sekaligus memusyawarahkan persoalan atau tema-tema yang akan ditetapkan dan diterima oleh nalar manusia. 

Hanya seoarang nabi dengan ketajaman akal dan kemampuan imajinasi yang mencapai hal ini. Kesadaran kenabian sebagai pangkat tertinggi umat manusia, membagi misi nabi menjadi teori dan praktis. Para nabi tidak hanya menyampaikan tatanan universal Tuhan tetapi juga menentukan arah kehidupan praktis. 

Kenabian adalah kecerdasan tingkat yang sangat tinggi dan nabi menangkap petunjuk suci dari langit, kemudian karena keunggulannya dia ditunjuk oleh allah untuk menafsirkan kehendak tuhan untuk manusia dan seluruh makhluk alam semesta.

*) Mahasiswa Universitas Islam Sunan Ampel Surabaya Program Studi Akidah dan Filsafat Islam.

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال