Orientalisme Vis A Vis Oksidentalisme


Penulis: Moch Lukman Hakim Romadhon*


Occidentalism memiliki akar kata occident yang merupakan serapan dari bahasa Prancis kuno. Dalam bahasa Latin juga dikenal istilah occidentem yang berarti bagian langit dimana matahari terbenam, akar katanya adalah occido yang berarti terbenam. 

Kata occidentem memang memiliki banyak variasi perubahan dalam bahasa Latin, namun secara umum dapat dipahami bahwa yang dimaksud occident selalu merujuk pada barat dalam arah mata angin. 

Secara terminologis, telah muncul beberapa definisi oksidentalisme yang diusulkan para tokoh. Mukti Ali (1988) mendefinisikan, "oksidentalisme sebagai teori-teori dan ilmu-ilmu tentang agama, kebudayaan, dan peradaban Barat."

Hasan Hanafi (2000) mendefinisikan, "oksidentalisme sebagai suatu strategi atau sikap Timur-Islam menginvestigasi hal-hal yang berkaitan dengan Barat, baik budaya, ilmu, maupun aspek sosialnya, sebagai imbangan terhadap orientalisme." 

Adapun Burhanuddin Daya (2008) mendefinisikan, "oksidentalisme sebagai suatu aliran atau paham yang berkaitan dengan pengkajian akademik terhadap dan penguasaan pengetahuan tentang Dunia Barat seisinya, yang secara akademik dilakukan oleh kksidentalisme: sikap Timur terhadap Barat para ahli dari Timur dengan cara pandang Timur."

Tingginya tensi historis antara dunia Islam dan Barat secara umum juga menggoda kita untuk menarik titik awal oksidentalisme dari periode perjumpaan Islam dengan gagasan-gagasan Barat. Mungkin oksidentalisme akan diambil titik awalnya dari aktivitas ilmuan muslim pada akhir periode Dinasti Umayyah dan awal hingga pertengahan Dinasti Abbasiyah, sekitar abad ke-8 hingga 12 Masehi. 

Pada saat itu para ilmuwan di dinasti tersebut dengan tekun menerjemahkan dan mempelajari karya para filsuf Yunani. Artinya nalar, watak, keyakinan, kepercayaan orang-orang Eropa telah dipelajari dengan serius oleh orang-orang Timur.

Jika menentukan awal oksidentalisme bersamaan dengan periode orientalisme, juga bukan hal sederhana. Orientalisme sebagai sebuah lembaga maupun gerakan keilmuan dimulai pada abad 14. Disusul dengan maraknya penjelajahan bangsa Eropa ke dunia Timur hingga lahirnya periode kolonalisme. 

Pada saat itu upaya Timur mengenal Barat justru banyak dilakukan di Timur, sehingga memiliki keterbatasan konteks. Apalagi, pada abad 15 di Barat sedang marak inkuisisi terhadap muslim, terutama di Spanyol, sehingga upaya pengkajian tentang Barat juga terbatas secara politis. 

Kondisi ini pun sebenarnya masih dalam rentetan konflik Perang Salib yang terjadi sejak abad 11 hingga abad 13. Dengan demikian, kita tidak dapat berharap banyak terhadap Studi Timur ke Barat pada periode pertengahan tersebut. Sejak abad 11 hingga periode kolonialisme, atau abad pertengahan hingga modern, relasi Timur dan Barat sangat erat dengan eskalasi konflik yang kian masif.

Pada periode kolonialisme, bermunculan intelektual dan ulama Timur yang gigih mengkaji Barat. Pada umumnya mereka mengakui keunggulan Barat dan menyadari keterpurukan Timur. 

Pada saat yang sama juga menyadari ancaman ideologi dan politik Barat terhadap agama Islam dan umat Muslim. Oleh karena itu para tokoh yang bermunculan sejak awal abad 19 tersebut lebih dikenal sebagai pembaharu Islam dan revivalis atau orang yang ingin membangkitkan Islam untuk meraih kejayaannya kembali.

Tokoh-tokoh revivalis secara umum menyerukan agar umat Islam meniru modernitas Barat namun sekaligus memurnikan ajaran Islam. Kombinasi yang biasanya ditawarkan adalah purifikasi plus modernisasi. 

Sebut saja mulai Jamaluddin Al-Afghani, At-Thahthawi, Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridha, Qasim Amin, Thaha Husein, Muhammad Iqbal, Ahmad Dahlan, dan seterusnya. 

Dilihat dari kemampuan mereka memahami Barat dan kegigihan mereka mendorong modernitas ke dunia Timur, maka mereka telah cukup pantas disebut sebagai oksidentalis. Menurut Burhanuddin Daya (2008), "para tokoh modernis muslim tersebut dapat disebut sebagai pembuka jalan ke arah oksidentalisme."

Berbeda halnya dengan orientalisme yang sejak semula dimaksudkan sebagai kajian serius politik-budaya untuk melegitimasi kekuatan-kekuatan kolonial Barat di dunia Timur, oksidentalisme justru lahir dari problem metodologis orientalisme yang katanya obyektif. 

Padahal dibalik keobyektifan itu tersimpan kepentingan-kepentingan Barat untuk mendominasi, menata kembali, dan menguasai Timur. Rohanda dan Nurrachman menjelaskan, "orientalismelah yang telah memicu para intelektual nativis untuk mempertanyakan keabsahan (validitas) karya-karya para orientalis dalam membangun stereotip-stereotip ketimuran."

Oksidentalisme muncul belakangan justru ketika wacana orientalisme sudah mulai pudar, ketika wacana bipolar antara Barat dan Timur sudah semakin tidak dipercaya sebagai pembagian wilayah dunia. 

Oksidentalisme muncul hampir seiring dengan demam "globalisasi" yang tidak lagi menghendaki pembagian dunia secara bipolar, akan tetapi justru multipolar; bahwa tidak ada lagi bangsa dan kebudayaan yang tinggi dan rendah, semuanya berbaur dalam satu wilayah global (global village) yang derajatnya sama. 

Inilah yang menjadi titik inti perbedaan orientalisme dengan oksidentalisme; bahwa oksidentalisme tidak berupaya untuk membalikkan posisi dikotomis "superioritas" dan "inferioritas", tetapi lebih diarahkan pada bagaimana membangun rangsangan kultural ketimuran sambil menolak stereotip-stereotip Barat tentang Timur. Namun walaupun begitu, pembalikan posisi Timur sebagai "subyek" dan Barat sebagai "obyek" adalah bagian dari proses pemurnian Timur dari pengaruh stereotip-stereotip Barat ini.

Di sinilah peran seorang intelektual Muslim asal Mesir, Hassan Hanafi, tidak dapat diabaikan. Hassan Hanafi mengungkapkan bahwa arogansi pengetahuan Barat dapat dilacak kepada proyek epistemologisnya melalui ungkapan Rene Descartes, cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada), yang menandai babak awal modern Barat. 

Dari sana, Barat kemudian mendefinisikan dirinya sebagai subyek (yang berpikir), dan non Barat didefinisikan sebagai obyek. Menurut Hassan Hanafi, sangatlah mungkin untuk mempertukarkan posisi dan peran pengetahuan tersebut; non-Barat sebagai "subyek" dan Barat sebagai "obyek". 

Hanafi kemudian mendefinisikan oksidentalisme sebagai upaya pengkajian sekaligus dialog terhadap seluruh fenomena yang disebut "Barat": sumber-sumber peradabannya, fase-fase sejarahnya, struktur serta masa depannya. 

Di tangan Hassan Hanafi-lah, oksidentalisme memperoleh legitimasi pengetahuan sebagai sebuah proyek dialog antar peradaban dan upaya penulisan ulang sejarah peradaban manusia (re-historiografi) yang lebih adil terutama pembongkaran atas mitos Barat sebagai yang "kuat" dan Timur sebagai yang "lemah" untuk pendidikan generasi baru.

Sebagaimana halnya dengan orientalisme, yang menjadi obyek kajian oksidentalisme juga adalah konstruksi 'pengetahuan' manusia. Di dalam oksidentalisme, pengetahuan kemudian dikonstruksi sebagai obyek yang dapat mengantar manusia pada penghancuran stereotip-stereotip Barat terhadap Timur. 

Hal ini dapat dibuktikan melalui dekonstruksi pengetahuan itu sendiri. Menurut Hassan Hanafi, pengetahuan bukanlah produk satu arah, melainkan dua arah: input dan output (sebagaimana layaknya guru dan murid yang sedang berdialog) untuk saling memberikan pengayaan. 

Ia kemudian menambahkan bahwa apa yang disebut sebagai budaya murni tak lebih dari mitos yang didasarkan pada arogansi ras. Kebudayaan Eropa (Barat) sendiri merupakan hasil dari proses sejarah yang mengambil unsur-unsur pengetahuan dari peradaban Mesopotamia, Mesir, Persia, dan Cina.

*) Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال