Pemikiran Politik Jamaluddin Al Afgani dan Muhammad Abduh



Penulis: Dwi Sukmanila Sayska

Biografi Singkat


Jamaluddin Al-Afghani dilahirkan di Afghanistan pada tahun 1839 dan meninggal dunia di Istambul pada tahun 1315 H/1897. Ada peneliti yang mengatakan ia di kota Asadabad, Iran. Ayahnya bernama Sayyid Syafdar, penganut mazhab Hanafi. Jamaluddin adalah keturunan Rasulullah, melalui Husein Ibn Ali Ibn Abi Thalib. Sejak kecil Jamaluddin telah menekuni berbagai cabang ilmu keislaman, seperti tafsir, hadis, tasawuf, dan filsafat islam. Ia juga belajar bahasa Arab dan Persia. Sejak remaja ia mulai menekuni filsafat dan ilmu eksakta menurut sistem pelajaran Eropa modern. Usia 18 tahun, ia berangkat ke India dan tinggal selama setahun lalu menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Mekkah.

Sedangkan Muhammad Abduh lahir di sebuah Dusun di dataran Delta sungai Nil, tepatnya di Mahallat Nashr Kabupaten Al-Bukhaira pada tahun 1849 M. Abduh lahir dari sebuah keluarga yang tidak tergolong kaya tetapi terkenal agamis. Muhammad Abduh  masih keturunan Umar bin Khatab dari garis ibunya. Menginjak tujuh tahun, Abduh sudah hafal Al-Quran dengan baik. Abduh dikirim ke masjid Ahmadi yang terletak di Thantha untuk menimba ilmu tajuwid dan ilmu pengetahuan lainnya. Sebagai tempat ibadah sekaligus merangkap tempat pendidikan, banum metode dan praktek pengajaran membuat Abduh kecil jenuh. Abduh kembali ke Thanta dan menikah di usia 16 tahun. Selanjutnya, ia memutuskan belajar ke Al-Azhar Kairo setelah sebelumnya mendapatkan pencerahan dari pamannya Darwis.

Karir Politik


Kiprah politik Jamaluddin al-Afgani di Afganistan dimulai sejak ia  berusia 22 tahun. Ia menjadi pembantu pangeran Dost Muhammad Khan, dilanjutkan tahun 1864 menjadi penasihat Sher Ali Khan & Perdana Menteri Muhammad Azham Khan. Awal karir politik internasional Al-Afgani adalah tahun 1869 ia lawatannya dari Afganistan ke India, selanjutnya naik haji ke Makkah, dan sempat berkunjung 40 hari di Mesir lalu ke Turki. Pada tahun 1871 ia berangkat lagi ke Hijaz lalu ke Mesir. Disinilah Al-Afgani bertemu dengan Abduh sehingga tahun 1879 Al-Afgani dan Abduh membentuk Al-Hizb al-Wathan (Partai Nasional) di Mesir, namun kemudian diusir dari Mesir, lalu pindah ke Paris.

Sementara Muhammad Abduh sejak tahun 1866 hijrah ke Kairo melanjutkan pendidikannya di Universitas Al-Azhar. Setelah tamat, ia mengajar di Darul Ulum, di al-Azhar dan di rumahnya dengan sistim diskusi, berbeda dengan sistim ceramah yang saat itu jamak digunakan. Setelah pindah ke Paris bersama Al-Afghani, tahun 1880 Muhammad Abduh dipanggil oleh Kabinet Partai Liberal (Ahrar) Mesir untuk diserahi jabatan sebagai kepala redaksi surat kabar al-Waqai’ al-Mishriyyah. Akan tetapi tahun 1882 Abduh diusir dari Mesir ketika terjadi Pemberontakan Urabi Pasya. Ia Kembali ke Paris dan tahun 1884 Abduh bersama Al-Afghani mendirikan perkumpulan Urwatul Wusqa di Paris, dan menerbitkan majalah selama 8 bulan. Majalah ini yang mengobarkan semangat keduanya ke berbagai negara.

Pada tahun 1889 Afghani diundang ke Persia menyelesaikan  persengketaan Rusia-Persia. Akan tetapi, Al-Afghani tidak disetuju sikap politik Persia yang pro terhadap politik Inggris. Akhirnya ia diusir oleh Syah Nasr al-Din dari Persia. Afghani pindah ke Istanbul tahun 1892 atas undangan Sultan Abdul Hamid. Lagi-lagi karena perbedaan pandangan dengan politik Islam yang direncanakan Istanbul, Afghani dibungkam hingga wafat tahun 1897 di Turki. Sedangkan Muhammad Abduh dari Paris hijrah ke London, lau ke Tunis dan akhirnya menetap di Beirut. Ia tidak lagi terlibat dengan urusan politik. Kegiatannya dialihkan ke bidang pendidikan dan menerjemahkan buku Jamaluddin al-Afghani untuk teru menyebarkan pemikiran-pemikirannya. Tahun 1889 Abduh diizinkan pulang ke Mesir, menjadi Hakim lalu mengajar di Al-Azhar. Abduh memimpin Al-Azhar tahun 1894 dan menjadi Mufti Agung Mesir tahun 1899 hingga ia wafat tahun 1905.

Pemikiran Politik


Pemikiran politik kedua tokoh ini sangat dipengaruhi oleh kondisi Umat Islam saat itu. Di antara kelemahan umat Islam adalah: 1) Absolutisme dan despotisme para penguasa muslim di berbagai negara, 2) Terpecah belah darena fanatisme mazhab, tersebarnya taqlid, takhayul, bid'ah, khurafat, 3) Sikap keras kepala dan keterbelakangan umat Islam dalam sains dan peradaban, dan 4) Kolonialisme dan imperialisme Barat ke negara-negara muslim.

Setidaknya ada 5 pemikiran politik Al-Afghani yang mempunyai dampak luar biasa bagi pergerakan di berbagai negara muslim. Pertama, Pan Islamisme yaitu menyatukan pendapat semua negara-negara Islam untuk kebangkitan peradaban termasuk sunni-syi’ah. Pan Islamisme mengandung 2 dimensi, yaitu: a) melawan intervesi dan dominasi Barat, dan b) melawan pemerintahan yang tidak pro rakyat, kapan perlu lakukan revolusi untuk merubah sistim autokrasi. Kedua, kembali kepada Al-Quran dan sunnah. Menurut Al-Afghani perbaikan umat harus dari perbaikan individu umat untuk kembali pada Al-Qur’an dan sunnah sebagai pedoman utama, hilangkan fanatisme mazhab serta tinggalkan khurafat dan bid’ah. Ketiga, pintu ijtihad masih terbuka. Al-Afghani menentang penutupan pintu ijtihad dan mengajak untuk mempergunakan nalar, seperti yang dikehendaki Nabi dan Al-Qur’an. Keempat, anti imperialisme. Al-Afghani berupaya menghilangkan fatalisme, dan menekankan tentang sunnatullah berjuang demi kemerdekaan dan terbebas dari penjajahan. Akan tetapi, kemajuan yang dibawa Barat tetap perlu diadopsi namun dipilih yang sesuai dengan Islam. Kelima, Kesetaraan Gender dimana laki-laki dan perempuan mempunyai kedudukan yang sama.

Sedangkan pemikiran politik Muhammad Abduh, meskipun banyak terinspirasi dari Al-Afghani, namun tetap mempunyai ciri khas tersendiri yang begitu mempengaruhi politik di Mesir dan dunia Islam umumnya. Abduh kritis terhadap kemajuan Barat, sekaligus kritis terhadap pengamalan agama dan menghindari taqlid, ia mengutamakan dalil atau argumen yang terkuat. Berbeda dengan Pan Islamisme Al-Afghani, Abduh lebih fokus untuk memperkuat solidaritas dan nasionalisme negara Arab serta bersama-sama berjuang memerangi kolonialisme dan imperialisme. Abduh berpendapat bahwa konstitusi ditentukan oleh masyarakat di suatu negara melalui musyawarah, tergantung oleh situasi dan waktu tertentu. Abduh juga menekankan bahwa pintu ijtihad masih terbuka dan tidak ada dikotomi ilmu Islam dan barat. Abduh mempunyai kontribusi yang sangat besar dalam perbaikan sistim pengajaran dan kelembagaan Pendidikan.

Upaya Penyebaran Pemikiran Politik


Dari perjalanan kedua tokoh ini, dapat disimpulkan bahwa Upaya menyebarkan pemikiran politik mereka dapat dilihat dair 3 cara. Pertama, orasi ilmiah di berbagai negeri Islam. Jamaluddin Al-Afgani orasi menyuarakan perlawanan pada penguasa zhalim bahkan mengajak revolusi, sedangkan Muhammad Abduh cenderung berorientasi untuk memperbaiki masyarakat terlebih dahulu. Kedua berkarya melalui tulisan, yaitu majalah Urwatul Wusqa, Tafsir Al-Manar yang ditulis Rasyid Ridha dari ceramah-ceramah Muhammad Abduh, dan buku-buku karangan Al-Afghani dan Abduh dalam bahasa Arab dan Persia. Ketiga, langsung terjun melakukan perubahan. Al-Afgani lebih berkecimpung di bidang politik dengan memberikan masukan langsung pada para penguasa di berbagai negeri Islam. Sedangkan Abduh fokus di dunia Pendidikan dan memperbaiki sistim baik di Unibersitas Al-Azhar maupun di Darul Ulum, Cairo University. 

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال