Orientalisme dan Politik Barat


Penulis: Fany Della Rafimia

Membandingkan Islam (Timur) dan Barat terasa kita akan terjebak dengan simplifikasi permasalahan. Islam adalah sebuah agama yang mempunyai ideologi, pemikiran dan paham, sementara barat adalah suatu tempat yang secara geografis berada di belahan barat dunia, yakni Eropa dan Amerika. 

Namun kita sadari bahwa penyebutan Islam dan barat dalam konteks ini mempunyai arti kontekstual bukan arti tekstual. Islam yang berkembang di Timur Tengah diidentikkan dengan Timur sedang Barat diidentikkan dengan non-Islam, meskipun dalam realita Islam juga berkembang di Eropa dan Amerika sejak masa klasik hingga sekarang ini.

Relasi Islam dan Barat kembali menyeruak pasca 11 September 2001, karena disinyalir peristiwa itu didalangi kelompok militan Islam. Relasi ini tidak hanya sekadar wacana tetapi menjadi realitas kehidupan yang menegangkan. 

Islam bagaikan monster bagi masyarakat barat karena akan mengancam setiap ruang dan waktu. Sementara bagi sebagian kalangan Islam, barat menjadi ancaman yang setiap saat akan menghantui kaum muslim di manapun berada.

Dalam berbagai analisa intelektual orientalis, barat menjadikan Islam begitu negatif dan buruk, sehingga pencitraan ini menjadikan public image Islam di mata masyarakat barat. Beberapa pencitraan itu di antaranya :

  1. Islam sebagai agama yang memutarbalikkan fakta kebenaran Yesus Kristus.
  2. Islam diajarkan dengan peperangan (ayat perang dan konsep dar al-harb).
  3. Islam lebih mengutamakan hawa nafsu seks.
  4. Muhammad adalah anti Kristus.

Menjelang abad 18 M ketika Turki Utsmani tidak lagi melakukan ekspanasi, orang barat mulai melakukan pendekatan ekonomi dengan melakukan perdagangan di pusat-pusat pelabuhan Islam. 

Pergaulan yang semakin intents dengan kaum muslimin mendorong untuk semakin mendalami tradisi keilmuan Islam. Kondisi ini menjadi cikal bakal tumbuhnya orientalisme yang sekarang kita kenal. 

Di penghujung abad ke 20 dimulai dengan embargo minyak Iran era Ayatullah Khumaeni, kebangkitan Islam mulai digemborkan. Dan barat mulai memandang Islam sebagai musuh baru pasca keruntuhan komunisme di dunia. 

Di kalangan ilmuan intelektual, tesis Samuel Huntington yang memposisikan Islam sebagai ancaman bagi peradaban barat di dunia modern, mendapatkan respon yang beragam baik di kalangan barat maupun Islam. 

Mestinya tesis tersebut hingga kini tidak terbukti. Konflik atau benturan antar kelompok manusia tidak disebabkan oleh peradaban yang berbeda, tetapi lebih didasarkan atas etnis dan golongan yang berbeda meski dalam satu peradaban. 

Perbedaan peradaban terutama yang berkaitan dengan agama, tidak sepenuhnya menimbulkan benturan atau konflik, justru perbedaan dalam agama-agama bisa dicari benang merah antar pemeluk agama itu. Kecenderaungan ini meguat ketika masing-masing peradaban atau agama dihadapkan pada isu-isu universal seperti kerusakan lingkungan hidup, aborsi atau euthanasia.

Orientalisme yang mulai digugat oleh Edward Said dalam magnum opusnya orientalism, sudah menjadi bacaan kita di lingkungan masyarakat muslim di Indonesia. Bahkan menurut Johan Hendrik Meuleman produk orientalisme telah memberikan wacana Islam progresif di sebagian kalangan umat Islam Indonesia. 

Namun kita perlu waspada sebagaimana diingatkan oleh Edward Said bahwa orientalisme mempunyai tujuan tertentu, mengikuti kecenderungan tertentu, konteks histories, intelektual, hingga tujuan ekonomi tertentu. 

Tentunya kebanyakan orientalis adalah orang barat dan non-muslim, sehingga wajar apabila mempunyai agenda berbeda dengan kaum muslim yang secara praktis melaksanakan ajaran-ajaran Islam. Konteks inilah yang kemudian disikapi secara ilmiah oleh Hasan Hanafi dengan bukunya Muqaddimah fi Ilm al-Istighrab, Oksidentalisme; Sikap Kita terhadap Tradisi Barat. 

Hanafi berkeyakinan bahwa orientalisme mempropagandakan Barat sebagai pusat “kebudayaan kosmopolit”. Bahkan pada akhirnya, menurut Hanafi, orientalisme dijadikan kedok belaka untuk melancarkan ekspansi kolonialisme Barat (Eropa) terhadap dunia Timur (Islam). Oleh karena itu tidak salah jika kalangan umat Islam mencurigai image orientalisme yang sangat ideologis.

Oksidentalisme ingin menuntut pembebasan diri dari cengkeraman kolonialisme orientalis. Oksidentalisme sebagaimana dikenalkan oleh Hanafi lebih bersih, objektif, dan netral dibandingkan dengan orientasi orientalisme. 

Oksidentalisme sekadar menuntut keseimbangan dalam kebudayaan, dalam kekuatan, yang selama ini memposisikan Barat sebagai pusat yang dominan. Oksidentalisme berharap mitos Barat yang dianggap sebagai satu-satunya representasi dunia dapat diakhiri dan sekaligus diruntuhkan. 

Selama ini kita dikungkung pemahaman semu bahwa barat adalah pusat kekuatan dunia, pusat ilmu pengetahuan, pusat gaya hidup, pusat ekonomi, pusat peradaban, dan karenanya menjadi sandaran peradaban lain.

Namun perlu dicatat bahwa kajian oksidentalisme harus independent dan obyektif sesuai denga tujuan semula. Tidak adanya independensi dan obyektifitas akan membawa oksidentalisme padanan dari orientalisme yang bias dan hegemonic.

Kesimpulan

Dalam mengkaji relasi Islam dan barat sekarang ini baik kajian orientalisme maupun oksidentalisme harus didasarkan pada obyektifitas dan idependensi. Menyamakan Islam dengan berbagai kegiatan kelompok radikal Islam yang identik dengan terorisme merupakan tindakan yang naif, karena generalisasi itu tidak tepat. 

Begitu juga menjeneralisir Barat dengan mengamati tindakan W Bush yang mengambil kebijakan ganda dalam menyelesaikan konflik dengan Iraq tidak dibenarkan.

Walhasil, dalam konteks relasi Islam dan Barat sekarang ini harus dijauhkan dari bias-bias ideologis, kultural, politik, dan agama. Adalah benar pernyataan Meuleman bahwa dalam melakukan kajian baik orientalisme maupun oksidentalisme agar terus dipelihara sikap empatik dan rendah hati kapan saja kita meneliti dan memberikan pendapat terhadap kelompok lain. 

*) Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال