Kritik Nalar Islam dan Dekonstruksi Nalar Muhammad Arkoun

Penulis : Fany Della Rafimia*

Salah satu tokoh pembaharuan dalam Islam yakni Muhammad Arkoun. Ia merupakan filosof dan sarjana Muslim yang telah memberikan kontribusi yang signifikan dalam bidang pemikiran Islam kontemporer. 

Muhammad Arkoun merupakan seorang tokoh pembaharu Islam berkebangsaan Aljazair. Ia lahir pada tanggal 28 Februari 1928 di daerah Berber di kaki gunung Taourirt Mimoun, Kalibia, yang terletak di sebelah timur Aljazair. 

Dalam perkembangan pemikirannya, Arkoun berusaha untuk menyatukan warisan intelektual Islam dengan kontribusi ilmiah dan budaya Barat, menciptakan pemahaman yang lebih holistik dan kontekstual tentang agama dan kebudayaan. Ia bertujuan untuk mencapai pemahaman yang dalam dan inklusif tentang Islam yang relevan dengan zaman modern. 

Pemikirannya berfokus pada isu-isu kritis dalam tradisi Islam dan upaya untuk mereformasi interpretasi dan pemahaman keagamaan yang dianggap telah mapan. Pemikiran Arkoun ini didasarkan atas asumsinya bahwa tradisi keagamaan harus ditinjau kembali secara kritis dan dipahami dalam konteks budaya dan sosial yang selalu dinamis. 

Melalui pendekatan dekonstruktifnya itu bertujuan untuk mengungkapkan dimensi-dimensi pluralistik dan kontekstual dalam teks-teks keagamaan serta merangsang diskusi dan pembaharuan pemikiran dalam Islam. 

Teori Kritik Nalar Islam 

Secara garis besar pemikiran Arkoun berpusat pada “kritik nalar Islam” yang mana pemahaman serta makna kritik nalar dalam bangunan pemikiran Arkoun lebih terasa hangat dan pedas. Karena kritiknya terkait dengan epistemologi atau nalar ditunjukkan kepada konsep “keilmuan” berbagai bidang ilmu keagamaan, baik secara umum maupun secara keseluruhan. 

Menurutnya, baik struktur maupun bangunan keilmuan agama Islam itu adalah hasil dari produk sejarah. Dan biasanya hal itu juga hanya berlangsung pada kurun waktu dan ruang tertentu. 

Dalam kritik nalar Islam yang digagas olehnya, ia menyatakan bahwa pemahaman sebagian besar umat Islam pada masa itu masih terpaku pada epistemologi pemikiran model Barat abad pertengahan dan aban pencerahan yang kental dengan ortodoksisme dan dogmatisme. 

Kendati demikian, tidak semua pemikiran model Barat pada abad pertengahan itu memiliki konotasi negatif. Menurut Arkoun, jika model pemikiran Islam masih terus-menerus seperti itu, maka umat Islam akan mengalami kesulitan dalam menghadapi problem-problem yang terjadi karena perkembangan zaman. 

Seperti bagaimana menggabungkan sikap yang berorientasi ke masa lalu dengan yang berorientasi ke peradaban modern yang sifatnya material. Selain itu, tentu jika membahas tentang modernitas pasti akan menyangkut tentang masalah politik, ekonomi, sosial, budaya, yang diakibatkan oleh hegemoni Barat atas dunia Islam, dan hal ini merupakan persoalan yang sangat serius menurut Arkoun. 

Kritik nalar Islam dibangun lantaran produk pemikiran tokoh terdahulu langsung diterima begitu saja tanpa adanya klarifikasi lebih lanjut bagaimana sebenarnya situasi historis ikut andil dalam membangun pemikiran tersebut, dan bahkan hal tersebut ikut menentukan corak sistematika keilmuan Islam saat ini. 

Berdasarkan hal tersebut, maka pemikiran Islam dianggap udah begitu baku, sehingga generasi berikutnya hanya mewarisi dan melanjutkan saja. 

Padahal dengan cara yang seperti itu, akhirnya akan membawakan ketidakberanian pada pemikir-pemikir atau penulis yang datang belakangan dalam rangka melakukan kritik terhadap pemikir atau penulis sebelumnya. sehingga dengan mental yang demikian, maka karya para intelektual muslim selanjutnya sifatnya hanya mengulang-ulang tanpa ada kreativitas dan inovasi lebih lanjut.

Oleh karena itu, Arkoun memberikan sebuah solusi baik kepada kalangan intelektual maupun seluruh umat Islam supaya memberikan perhatian yang lebih terhadap pengajaran dan ilmu sejarah sebagai antropologi masa lalu serta dapat memberikan pemaparan naratif terhadap fakta yang terjadi dalam realitas yang ada. 

Dengan demikian, boleh dikatakan bahwa ia memberikan suatu pendekatan historis, sosiologis, maupun antropologis yang dilakukan tidak hanya untuk tujuan agar menghilangkan pentingnya pendekatan teologis atau filosofis. 

Akan tetapi, tujuannya lebih kepada supaya memperkaya metodologi yang dipakai dengan memasukkan pendekatan historis dan sosial yang selalu dipraktikkan dalam bidang Keislaman.

Metode yang digunakannya tersebut dikenal dengan istilah dekonstruksi. Metode dekonstruksi ini hanya mungkin bisa dilakukan untuk epistemologi modern kritis. maka dari itu, bagi Arkoun untuk memakai metode ini nalar harus dibebaskan dari ontologi, transendentalisme dan subtansionalisme yang mengekangnya.

Metode Dekonstruksi

Arkoun fokus pada isu-isu pembacaan sejarah atau historisisme serta masalah interpretasi atau hermeneutika. Dia berniat untuk melihat semua aspek sosial dan budaya dari perspektif sejarah, di mana dalam pandangannya, masa lalu harus dipahami dalam konteks sejarahnya. 

Penelitian sejarah harus terbatas pada urutan kronologis dan fakta yang ada. Ini berarti bahwa metode sejarah berfungsi sebagai cara untuk merekonstruksi makna dengan menghapus relevansi antara teks dan konteks. Jika metode ini diterapkan pada berbagai teks agama, maka yang dibutuhkan adalah penemuan makna baru yang potensial tersembunyi di dalamnya.

Metode sejarah yang digunakan Arkoun merupakan gabungan dari beberapa kelompok ilmu sosial Barat modern yang direkayasa oleh para pemikir post-strukturalisme Prancis, dengan rujukan utama Saussure (linguistik), Levi-Strauss (antropologi), Lacan (psikologi), Barthes (semiologi), Foucault (epistemologi), Deridda (tata bahasa). 

Dari semua unsur tersebut, Arkoun kemudian mengolahnya sedemikian rupa sehingga menjadi “kritik nalar Islam”. Penelitian yang dilakukannya terhadap teks-teks klasik adalah untuk mencari makna lain yang tersembunyi di dalamnya, sehingga untuk menuju rekonstruksi (konteks), diperlukan dekonstruksi (teks). 

Kajiannya tidak berhenti pada teks klasik peninggalan ilmuwan dan cendekiawan muslim, melainkan merambah pada teks kitab suci. 

Jika merujuk pada penelitian Arkoun tentang "nalar Islam", ia meminggirkan terlebih dahulu jenis yang pertama tradisi tersebut. Baginya, tradisi semacam itu berada di luar pemahaman dan kemampuan akal manusia. Oleh karena itu, fokus dan subjek penelitiannya adalah jenis tradisi kedua, yaitu yang terbentuk oleh konteks sejarah.

Membaca tradisi adalah membaca teks, semua jenis teks, karena terbentuk dan dikodifikasikan dalam konteks sejarah. Untuk memahami tradisi tersebut, diperlukan pembacaan melalui kerangka sejarah. 

Bagi Arkoun, salah satu tujuan membaca teks, terutama teks suci, adalah untuk menghargai nilai-nilai di tengah perubahan yang terus berlangsung. Artinya, ajaran agama yang terdapat dalam teks suci harus selalu relevan dan tidak bertentangan dengan kondisi saat ini. Dalam hal ini, Arkoun berusaha mencapai harmonisasi antara tradisi dan modernitas melalui pendekatan baru. 

Untuk mengatasi situasi tersebut, Arkoun menggunakan metode "dekonstruksi" atau "pembongkaran" yang dikembangkan oleh Deridda, serta menerapkan analisis arkeologi yang digunakan dalam ilmu benda purbakala. Melalui analisis arkeologis ini, Arkoun berusaha untuk memberikan klarifikasi historis terhadap teks hermeneutis dan tradisi tertentu. 

Tujuannya adalah untuk membersihkan dan mengklarifikasi "debu" ruang dan waktu yang menyelimuti teks tersebut. Dengan demikian, akan terlihat hubungan antara teks dari fase sejarah tertentu dan konteks sosial, generasi, serta berbagai aliran pemikiran yang ada dalam waktu yang sama.

Selain menunjukkan hubungan antara pemikiran dan sejarah, Arkoun juga menggambarkan hubungan yang tak terpisahkan antara pemikiran dan bahasa. Setiap pemikiran dalam konteks Islam, selain mencerminkan dinamika perjuangan sosial-historis pada titik tertentu dalam sejarah, juga dirumuskan, dikonseptualisasikan, dan diungkapkan melalui bahasa khusus. 

Dengan jelas terlihat bahwa Arkoun menggunakan hermeneutika sebagai alat untuk "mengolah" Alquran. Hermeneutika ini berfokus pada tiga aspek, yaitu teks, konteks, dan kontekstualisasi, yang membentuk suatu lingkaran yang tak terpisah. Ini berarti bahwa saat seseorang melakukan penafsiran dan reproduksi makna, ketiga aspek tersebut harus dilibatkan secara terus-menerus dan tidak terputus.

Proyek Arkoun memiliki nilai penting dalam hal penelitian dan pembelajaran karena ia menghadirkan sebuah metodologi kritis. Untuk memahami karyanya, penting untuk memahami aspek dekonstruksi dalam analisis terhadap teks Islam. 

Dengan pendekatan kritisnya, Arkoun berhasil menjelaskan bahwa sejarah pemikiran Islam dipengaruhi oleh dua kecenderungan. Pertama, kecenderungan untuk menganggap teks dan tradisi sebagai sesuatu yang sakral. Kedua, kecenderungan untuk membongkar pemahaman yang bersifat sakral tersebut. 

Dekonstruksi bukanlah sekumpulan pernyataan atau aturan formal, melainkan sebuah strategi untuk mengungkapkan ketidakjelasan dalam suatu pandangan atau pemahaman. Dalam dekonstruksi, kita mencoba menemukan gerakan paradoksal yang tersembunyi dalam pemikiran atau bahasa yang digunakan. 

Tujuannya adalah untuk meruntuhkan asumsi-asumsi dasar yang dianggap pasti dalam pandangan tersebut. Dengan kata lain, dekonstruksi membantu kita melihat sisi-sisi yang ambigu dan menantang dari suatu pemikiran atau pendekatan, yang mungkin tidak terlihat pada pandangan yang dominan.

*) Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. 


Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال