Kajian dan Dinamika Gender dalam Perspektif Islam di Belahan Barat dan Timur


Penulis: Muchamad Rizki Syahroni*

Dalam konteks kajian gender, perbedaan antara belahan barat dan timur dunia menjadi penting untuk dipahami. Perspektif gender di kedua belahan ini dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial, budaya, dan agama, dengan Islam sebagai salah satu agama utama yang mempengaruhi pola pikir dan peran gender di wilayah timur.

Belahan barat, terutama negara-negara Eropa dan Amerika Utara, telah mengalami perubahan yang signifikan dalam dinamika gender dalam beberapa dekade terakhir. Gerakan feminis telah memainkan peran penting dalam mengadvokasi kesetaraan gender dan menantang peran gender yang tradisional. 

Pemerintah dan lembaga internasional juga berperan dalam mendorong kebijakan yang melindungi hak-hak perempuan dan memberikan kesempatan yang sama bagi laki-laki dan perempuan.

Di Eropa, gerakan feminis modern dimulai dengan karya Mary Wollstonecraft berjudul Vindication Rights Woman pada tahun 1792, yang muncul akibat kekacauan sosial dan politik yang disebabkan oleh Revolusi Prancis. 

Karya Wollstonecraft merupakan karya pertama yang secara terang-terangan berteriak kepada perempuan-perempuan kelas menengah, khususnya para ibu, sebagai kelas yang paling berpengaruh dalam masyarakat. la menekankan perlunya membuat perempuan berpikir rasional, hingga nalar perempuan menjadi lebih terdidik. 

Setelah karya Vindication, kemudian muncul karya-karya lain terkait dengan perjuangan gender dan feminis yang menunjukkan bagaimana kelahiran dan perkembangan gender dimulai dari pengalaman- pengalaman perempuan Eropa. 

Sedangkan di Amerika, aktivitas gerakan feminis dimulai menjelang konvensi di Seneca Falls di tahun 1948, sebuah pertemuan yang dihadiri 300 orang (termasuk di dalamnya 40 laki-laki) untuk menuntut penghentian seluruh diskriminasi berdasarkan jenis kelamin. 

Perjuangan anti diskri- minasi berdasarkan jenis kelamin ini merupakan kepanjangan dari perjuangan hak-hak budak kulit hitam di Amerika. Elizabeth Cady Stanton (1815-1902) bersama dengan Lucretia Mott, penggagas utama dalam Seneca Falls, menggunakan Declaration of Independence (Deklarasasi Kemerdekaan) tahun 1776 sebagai model untuk Declaration of Sentiment yang dihasilkan pada konvensi. 

Bekerja sama dengan Susan B. Anthony (1820-1906), seorang pejuang anti-kemewahan, Cady Stanton menjadi tokoh feminis Amerika paling berpengaruh dalam kampanye untuk perubahan hukum perceraian, hak-hak kekayaan perempuan yang sudah menikah, dan hak bersuara. 

Konvensi di Seneca Falls merupakan bentuk protes kaum perempuan terhadap pertemuan akbar konvensi penghapusan perbudakan sedunia pada tahun 1840, di mana perempuan tidak diberi kesempatan untukmengemukakan pendapatnya. Sedangkan sebagai teoretisi penting adalah Sarah Grimke (Letters on the Equality of the Sexes, 1845) dan Margaret Fuller (Women in the Nineteenth Century, 1845). 

Perjuangan feminis di Amerika dipermudah dengan adanya dewan legislatif undang-undang yang bisa membuat perubahan undang-undang tanpa campur tangan pemerintahan pusat, sehingga menjadikan perempuan Wyoming dan Utah mem- punyai hak pilih secara berturut-turut pada tahun 1869 dan 1870 (Sarah Gamble, 2010: 29).

Dalam perspektif Islam, terdapat berbagai pemahaman dan praktik terkait peran gender di belahan barat. Di beberapa negara, terjadi perubahan sosial yang signifikan, seperti partisipasi perempuan dalam dunia kerja dan pendidikan yang semakin meningkat. Namun, beberapa isu kontroversial muncul terkait norma dan nilai-nilai agama dalam masyarakat yang multikultural.

Kelahiran feminis di Eropa dan Amerika menandakan perkembangan kajian feminis pada negara maju atau negara dunia pertama, dengan berbagai isu utama yang diusung. Secara teori dan praksis negara dunia pertama menguasai wacana feminis hingga saat ini. 

Namun, bukan berarti negara-negara dunia lainnya seperti sebagian besar negara di Asia dan Afrika tidak memiliki wacana mengenai feminis dan perjuangan gender. 

Negara-negara dunia tersebut justru memiliki permasalahan perempuan yang lebih kompleks dibandingkan dengan negara maju, di mana gerakan feminis lahir dan tumbuh, terutama di negara-negara dengan mayoritas Muslim, Islam memainkan peran kunci dalam membentuk dinamika gender. 

Pemahaman tradisional tentang peran gender yang diambil dari interpretasi teks-teks agama telah lama menjadi landasan dalam masyarakat ini. Perempuan dan laki-laki memiliki peran yang ditentukan dan diatur dalam konteks budaya dan agama yang kuat.

Namun, dalam beberapa tahun terakhir, kajian dan diskusi tentang gender dalam Islam telah berkembang di belahan timur. Banyak pemikir dan aktivis Muslim telah memperjuangkan interpretasi yang lebih inklusif dan progresif terhadap ajaran agama. Mereka menyoroti prinsip-prinsip kesetaraan dan keadilan yang mendasari Islam, serta menantang praktik-praktik yang dianggap diskriminatif terhadap perempuan.

Beberapa isu yang menjadi fokus dalam kajian gender di belahan timur adalah perlindungan hak-hak perempuan, termasuk hak waris, hak dalam pernikahan, dan akses perempuan terhadap pendidikan dan pekerjaan. Diskusi juga melibatkan isu seperti kekerasan dalam rumah tangga, mutilasi genital perempuan, dan pemenuhan hak reproduksi.

Meskipun terdapat perbedaan signifikan antara belahan barat dan timur dalam dinamika gender, ada juga titik temu yang penting. Gerakan feminis, baik di belahan barat maupun timur, berjuang untuk mencapai kesetaraan gender dan melawan diskriminasi. Pemikiran dan ajaran Islam yang inklusif dan progresif juga menjadi bagian dari diskusi dalam kedua konteks ini.

*) Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال