Mengenal Kehidupan Ibnu Miskawaih Apa yang Hilang dari Kita ?


Penulis: Muhammad Luqmanul Hakim*

Siapa yang tidak tahu tentang sifat rendah hati? Sungguh beruntung ketika seseorang memiliki sikap tersebut. Sederhana sekali sifat tersebut kalau kita bisa menerapkannya bukan malah omong kosong belaka. 

Rendah hati ini juga disebut dengan tawadu dalam arti tidak angkuh dan tidak sombong. Ini adalah salah satu bentuk etika muslim pada zaman dulu. 

Karena dalam Islam kunci dari kita untuk berinteraksi dan bersosial adalah dengan akhlak itu sendiri. Selain itu, seiring dengan perkembangannya Ibnu Miskawaih hadir sebagai salah satu cendekiawan Islam yang terkenal. Ia menerapkan konsep akhlak yang berbeda dari filsuf sebelumnya. 

Kasus ini pun sering terjadi di kalangan kita umat Islam tentang bagaimana kita bisa ber-akhlakul karimah yang benar menurut etika agama ? Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa tujuan utama manasia adalah mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan melalui pengembangan diri dan kehidupan yang baik. 

Ia menekankan pentingnya keseimbangan dalam menjalani kehidupan menghindari ekstremisme: merujuk pada sikap atau tindakan yang melebihi batas-batas yang diterima secara umum baik masyarakat atau suatu kelompok tertentu.

Bernama lengkap Abu Ali Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Ya’qub Ibnu Miskawaih lahir di Iran pada 320 H (932M) seorang filsuf dan sejarawan Persia yang hidup pada abad ke-10 Masehi. 

Nama (Ibnu Miskawaih) itu diambil dari nama kakeknya yang semula beragama Majusi (Persia) kemudian masuk Islam, sedangkan nama gelarnya adalah Abu Ali yang diperoleh dari sahabat Ali karena bagi kaum Syi’ah sebagai yang berhak menggantikan nabi sebagai pemimpim umat Islam sepeninggalnya. 

Dari gelar tersebut tidak heran jika orang mengatakan bahwa Ibnu Miskawaih tergolong penganut Syi’ah. Termasuk gelar Al Khazin, yang berarti kebendarawan, sebab kekuasaan tersebut jatuh kepada Adid Al Daulah, sehingga ia memperoleh kepercayaan sebagai seorang pejabat atau petugas yang bertanggung jawab pengelola aministrasi keuangan. Itu seputar riwayat hidup singkatnya. 

Selain itu, Ibnu Miskawaih adalah salah satu tokoh yang mengadvokasi pentingnya mempelajari sejarah dan belajar dari masa lalu. Kehidupannya pun pasti menjadi sumber informasi utama tentang pemikirannya. 

Pemikiran-pemikiran, terutama dibidang etika dan filsafat moral. Ini juga menjadi sebuah kontribusi pada perkembangan dan pengayaan pemikiran muslim. Baik yang dulu sampai berlanjut hingga saat ini. 

Sebagai seorang yang berpandangan terbuka Ibnu Miskawaih memadukan ajaran-ajaran Yunani klasik dengan pemikiran Islam. Ia pun mengutip para filsuf Yunani Plato dan Aristoteles, tetapi tetap berpegang teguh kepada prinsip-prinsip Islam.

Menurutnya, “Tuhan dapat dikenal dengan proposisi negatif, dan tidak bisa dikenal dengan proposisi positif ” artinya zat yang jelas karena Tuhan adalah yang haq (benar) .

Dikatakan tidak jelas karena kelemahan akal yang menanganinya: banyak dinding yang menutupi hatinya. Ibaratnya seperti kita memilih surga dan neraka atau jalur kiri atau kanan yang menuntunnya untuk kembali, tapi disisi lain masih bingung. 

Setelah kita mengetahui tentang kehidupanya, lalu apa yang bisa kita ambil dari sosok Ibnu Miskawaih? Hikmahnya, yaitu kita akan diperlihatkan dengan filsafat moral: suatu sikap mental (halun al nafs) yang mengandung daya dorong berbuat tanpa berfikir tanpa mempertimbangkan. Konsep tersebut menunjukkan bahwa yang hilang dari kita adalah akhlak. 

Seiring dengan perkembangan zaman, ada perbedaan yang membuat moral kita jauh berbeda. Yang pertama, tidak ada rasa toleransi sesama manusia. Yang kedua tidak ada rasa kejujuran. Yang ketiga, tindak kekerasan anarki. Yang keempat, sikap perusakan diri. 

Dari semua masalah tersebut ketika kita bisa mencari solusi dalam imajinasi: 

  1. Toleransi; ada rasa kepedulian dan saling mendukung tidak ada kata atau kalimat yang menyakitkan.
  2. Kejujuran; ada kepercayaan penuh terhadap seseorang yang tidak gila materi, tetapi sikap dan amanah itu sendiri yang paling utama.
  3. Kekerasan; ada yang menghargai dan saling bantu antar sesama.
  4. Kepedulian; ketika ada suatu masalah hal yang diluar kontrol kita jangan dipaksa. Ini adalah gambaran dari solusi tersebut. 

Ini juga yang menjadi masalah besar jiwa kita terhadap perubahan tersebut. Menurut Ibnu Miskawaih tentang konsep jiwa diantaranya adalah; 

Pertama, jiwa yang berfikir; konsep tersebut sudah ada dalam pikiran atau akal kita sebelum kita melakukannya, jadi ada jeda sebelum bertindak. 

Kedua, jiwa amanah; konsep ini lebih mengarah kepada hati, yang mana ada rasa kepercayaan dan kejujuran dalam hati. 

Ketiga, jiwa binatang; konsep ini lebih kepada rasa keinginan yang mengharuskan kita untuk melakukannya dengan cara apapun itu (nafsu).  

Menjelaskan kehidupan Ibnu Miskawaih: apa yang hilang dari kita? Tentu sudah jelas disini adalah moral, karena moral sendiri sangat penting dalam hubungan antar individu dan antar budaya. 

Itu juga karena sifat toleransi itu sendiri yang menerima, dan menghargai perbedaan pandangan, keyakinan pada dirinya sendiri maupun orang lain. Menurut (KBBI) sifat toleran adalah integral, maksudnya mencakup keseluruhan yang perlu dijadikan lengkap; utuh; sempurna. 

Jadi ketika keburukan dan kebaikan berdasarkan ukuran tradisi yang berlaku dan berkembang pun akhlak menjadi ajaran yang berdasarkan ukuran keagamaan. Apa yang menjadi tradisi dan agama inilah yang sering menjadi kesenjangan sosial. Solusi yang hilang dari kita adalah sifat moral dan akhlak itu sendiri.  

*) Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.  

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال