Antara Fenomena Islamofobia dan Kajian Orientalisme


Penulis: Fatimah Az Zahra*

Islamofobia merupakan fenomena anti-Islam yang sering kali ditandai dengan prasangka buruk terhadap Islam. Beberapa prasangka tersebut mencakup pandangan bahwa Islam adalah agama ekstrem, penuh dengan peperangan (jihad), dan hal-hal negatif lainnya. 

Orang-orang yang menderita Islamofobia cenderung merasa takut atau khawatir berlebihan terhadap Islam atau umat Muslim. Dalam pengertian yang lebih sederhana, Islamofobia dapat didefinisikan sebagai rasa benci terhadap Islam.

Salah satu penyebab utama Islamofobia pada dasarnya ialah ekstremisme agama. ekstremisme agama itu ditunjukkan oleh perilaku berlebihan Muslim dalam menjalankan ajaran agama. Yang mana, ketika agama diekspresikan secara kaku dan keras melewati batas kemanusiaan, hal ini membuat masyarakat umum cenderung melihat Islam sebagai agama yang ekstrem, konyol, dan kasar.

Sikap radikal ini tentu membuat orang lain memandang Islam dengan sudut pandang yang bias dan menyimpulkan bahwa Islam adalah agama yang salah dan kasar. Dengan demikian, ekstremisme merupakan salah satu faktor yang paling memicu terjadinya Islamofobia di era sekarang ini. Namun, betapapun demikian, peran orientalisme juga tidak ketinggalan menjadi faktor yang membangun adanya Islamofobia.

Orientalisme adalah suatu pendekatan atau sudut pandang yang dimiliki oleh orang Barat terhadap dunia Timur, terutama terhadap budaya, agama, dan masyarakat di Timur. Pendekatan ini sering kali didasarkan pada pandangan superioritas budaya Barat dan sering kali menciptakan stereotipe, distorsi, dan penilaian yang tidak adil terhadap budaya Timur, termasuk Islam.

Dalam konteks kajian keIslaman, orientalisme memiliki peran yang signifikan. Orientalis Barat melakukan studi dan penelitian tentang Islam, tetapi pandangan mereka sering kali dipengaruhi oleh prasangka dan kepentingan kolonialisme. Mereka cenderung menggambarkan Islam sebagai agama yang primitif, kejam, atau terbelakang, tanpa memahami keragaman internal dalam agama tersebut.

Orientalisme juga menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan dalam produksi pengetahuan tentang Islam. Para orientalis Barat sering kali mendominasi narasi dan memegang kendali atas interpretasi dan pemahaman terhadap agama Islam, sementara suara dan perspektif Muslim sendiri sering kali diabaikan atau direduksi. Maka dari itu, orientalisme juga turut berkontribusi terhadap Islamofobia karena seringkali memberikan gambaran yang tidak adil terhadap Islam.

Dalam bukunya yang berjudul "Orientalisme", Edward W. Said menjelaskan bagaimana media Barat seringkali memberikan representasi yang tidak adil terhadap Islam. Misalnya, Islam digambarkan sebagai agama yang menyebarluaskan kekerasan dan menggunakan cara-cara kasar. 

Media Barat juga cenderung menyoroti hal-hal yang mengganggu ketentraman dan perdamaian yang ada dalam Islam. Dalam representasinya, Islam sering dianggap sebagai pihak yang tidak menyukai perdamaian dan memiliki prinsip-prinsip yang lemah.

Dalam pemberitaan, berbagai pernyataan yang tidak berimbang terus mengisi ruang publik, terutama di dunia Barat. Beberapa orientalis bahkan menyebutkan bahwa Nabi Muhammad mengajarkan kekerasan dan menderita gangguan jiwa. 

Ada juga yang menghubungkan Islam dengan sensualitas, bahkan menuduh Nabi Muhammad sebagai seorang pedofil karena menikahi Aisyah pada usia sembilan tahun. Semua pernyataan ini bertujuan untuk menjustifikasi bahwa Islam adalah agama yang merugikan dan menyalahgunakan kekuasaan terhadap kelompok lain.

Tokoh-tokoh orientalis seperti Franklin Graham, Pat Robertson, dan John Farwell juga terkenal dengan pernyataan-pernyataan yang memperkuat Islamofobia. Franklin Graham terkenal dengan hujatannya yang menyatakan Islam sebagai agama yang sangat jahat. Sementara Pat Robertson menggambarkan Muhammad sebagai seorang fanatik bermata liar jelalatan, seorang perampok dan seorang pembunuh. 

Sedangkan John Farwell menyebut Nabi orang Islam sebagai teroris pada sebuah acara di televisi nasional. Pernyataan-pernyataan ini disampaikan secara terbuka di acara televisi nasional, mempengaruhi persepsi orang Barat terhadap Islam secara negatif.

Islamofobia pun menjadi tegas dengan tumbuhnya gerakan radikal seperti ISIS, yang mengatasnamakan Islam dalam tindakan kekerasan dan terorisme. Aksi-aksi kejam yang dilakukan oleh kelompok-kelompok ini menciptakan persepsi negatif terhadap Islam secara umum. Selain itu, pengaruh kolonialisme Barat terhadap Timur juga memiliki peran dalam membentuk pola pikir dan pandangan negatif terhadap Islam.

Namun, penting untuk diingat bahwa Islamofobia bukanlah pandangan yang dipegang oleh seluruh masyarakat Barat. Terdapat juga ilmuwan Barat yang memandang Islam secara objektif dan menghindari sikap merendahkan terhadap budaya Timur. 

Orientalisme dan peristiwa-peristiwa negatif yang terjadi hanya memperkuat persepsi negatif terhadap Islam. Dalam era polarisasi antara pendukung dan penentang Islam, kajian orientalisme menjadi semakin penting untuk memahami fenomena Islamofobia secara lebih objektif.

Dalam hubungan antara orientalisme dan Islamofobia, orientalisme memiliki peran penting dalam memperkuat persepsi negatif terhadap Islam. Representasi yang tidak adil dan bias terhadap Islam dalam media Barat serta interpretasi sepihak terhadap ajaran agama telah memberikan sumbangsih terhadap munculnya islamofobia di masyarakat.

Mari kita bersama membuka mata dan hati kita terhadap isu Islamofobia. Kita perlu waspada terhadap sumber-sumber informasi yang sepihak dan tidak dapat dipertanggungjawabkan yang hanya memperkuat prasangka dan persepsi negatif terhadap Islam. 

Mari berusaha untuk memahami Islam secara lebih luas, mendengarkan berbagai perspektif, dan membina dialog yang inklusif. Dengan demikian, kita dapat membangun masyarakat yang lebih toleran, menghormati perbedaan, dan melawan Islamofobia dengan pengetahuan yang lebih akurat dan adil.

*) Mahasiswa AFI Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال