Seni Hidup Bahagia Perspektif Islam

(Sumber Gambar: Redaksi Kuliah Al-Islam)

KULIAHALISLAM.COM - Dalam menghadapi dan menjalani hidup, manusia selalu mengharapkan kebahagiaan. Berbagai cara dilakukan untuk meraih kebahagiaan. Bagi mereka yang terjun dalam dunia politik, berupaya mencari kedudukan yang tertinggi, dengan penuh keyakinan bahwa kebahagiaan itu terdapat pada kedudukan bergengsi. Sementara bagi yang menekuni bidang ekonomi, terus bekerja keras untuk mendapatkan penghasilan yang memadai, mereka juga yakin bahwa kebahagiaan itu akan dirasakan ketika telah mengumpulkan kekayaan melimpah. Demikian halnya bagi mereka yang berada dalam lingkungan hukum, sosial, pendidikan, pertanian, perdagangan, perikanan, teknologi dan lain sebagainya.

Masing-masing bekerja keras untuk meraih kebahagiaan dengan jalannya sendiri-sendiri, sesuai dengan tradisi, ilmu dan keyakinan yang dimilikinya. Masalahnya, tidak jarang yang menempuh jalan kebahagiaan dengan cara yang tidak terpuji. Meskipun sejatinya jalan untuk menempuh kebahagiaan itu telah dijelaskan Allah dalam kitab suciNya.

Definisi Bahagia

Arti bahagia dalam al-Qur’an bisa dirujuk dari berbagai istilah di antaranya; pemberian taufik ke jalan yang mudah, tempat yang disenangi, negeri akhirat, darussalam, hasil yang baik, dan masih banyak lagi beberapa istilah dalam ayat al-Qur’an yang memberikan petunjuk cara meraih kebahagiaan. Berbagai istilah dan rujukan tersebut memberikan inspirasi dan ilham bagi pencari kebahagiaan yang sesungguhnya sesuai dengan pemahaman masing-masing.

Dalam pandangan Abu Hamid al-Ghazali, bahagia atau kebahagiaan merujuk pada istilah sa’adah, yang berhubungan dengan dua dimensi eksistensi; dunia saat ini dan akhirat. Menurutnya kebahagiaan merupakan suatu kondisi jiwa yang tenang, damai tanpa suatu kekurangan apapun. Puncak kebahagiaan tersebut bisa diraih oleh seseorang ketika telah sampai pada makrifat Allah.

Kebahagiaan makrifat Allah itu bisa dilukiskan dengan bahagianya mata ketika melihat sesuatu yang baik, ketika telinga mendengarkan hal-hal yang indah, begitu juga seterusnya.

Hal yang senada juga di sampaikan oleh Ibnu Tufail, yang menyatakan bahwa kebahagiaan merupakan sampainya seseorang kepada Wajib al-Wujud. Yaitu pencipta segala yang ada, yakni Allah SWT.

Pengertian yang sama juga ditegaskan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas. Dalam pandanganya, kebahagiaan adalah tidak menunjuk pada entitas jasmani manusia, bukan pada jiwa hewani dan tubuh manusia. Bukan pula suatu keadaan akal pikiran manusia yang akali belaka. Melainkan ia menunjuk pada keyakinan diri akan hakikat terakhir yang Mutlak. Yakni keyakinan akan hak Allah dan menunaikan amalan yang dikerjakan oleh diri berdasarkan keyakinan itu.

Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa apa yang disampaikan oleh Abu Hamid al-Ghazali, Ibnu Tufail dan Syed Muhammad Naquib al-Attas tersebut mengandung makna yang sama. Kebahagiaan yang diperoleh oleh seseorang ketika sampai pada tingkatan makrifat Allah. Kebahagiaan tersebut tidak merujuk pada kenikmatan jasmani atau inderawi, melainkan kebahagiaan abadi diatas segala kenikmatan duniawi. Untuk mencapai kebahagiaan itu disyaratkan adanya beberapa strategi dan langkah-langkah kongkrit.

Kebahagiaan menurut Al-Ghazali

1). Fitrah sebagai Fondasi Bahagia

Dalam QS. al-Rum [30]: 30, manusia menurut fitrahnya adalah bertauhid. Yakni mengakui keesaan Allah sebagai pencipta dan yang berhak untuk disembah. Manusia yang mengakui Allah sebagai pencipta dan tunduk atas segala perintahNya adalah manusia yang sesuai dengan fitrahnya. Tetapi jika manusia tidak lagi mengakui dan ingkar untuk mengabdi kepadaNya, berarti ia telah keluar dari fitrahnya. Jenis manusia yang selalu ingkar ini sejatinya adalah manusia yang tidak mengetahui hakikat tujuan dirinya diciptakan.

Padahal dalam QS. al-Dzariyat [51]: 56 sejatinya manusia dan jin diciptakan untuk mengabdi kepadaNya. Pengabdian manusia kepada Allah disini mengisyaratkan adanya kesediaan untuk mentaati perintah dan menjauhi larangan. Bukan semata sesuai dengan kemauan sendiri.

2). Takwa sebagai Syarat Bahagia

Takwa merupakan tingkatan yang sangat mulia di hadapan Allah. Karena itu tidak semua orang mendapatkannya, kecuali bagi mereka yang bekerja keras dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangNya. Adapun tingkat takwa ini diberikan Allah kepada siapapun di antara hambanya yang beriman agar mereka merasakan kebahagiaan. Dalam salah satu ayatNya, Allah menyeru kepada orang-orang beriman untuk bersabar, menguatkan kesabarannya dan menyuruh selalu bertakwa agar menjadi orang yang beruntung.

Al-Quran menyuruh kepada seluruh orang beriman untuk berpuasa, bersusah payah beribadah, pagi, siang dan malam, supaya menjadi orang bertakwa. Seruan ini memang khusus bagi orang yang beriman. Orang kafir, materialis, sekularis, liberalis jelas tidak terkena seruan ini. Sebab, pikiran mereka hanya terhenti pada aspek materi dan dunia ini saja. Mereka merasa hebat dan merasa berhak mengatur Tuhan, sehingga hukum dan aturan Tuhan disampingkan. 

Kebahagiaan perspektif Syekh Naquib Alatas

1). Agama Sebagai Landasan Bahagia

Manusia adalah makhluk yang terdiri dari dua entitas yakni jasad dan ruh, artinya manusia ini adalah makhluk jasadiah dan ruhaniah. Dalam hubungan kebahagiaan antara jasadiah dan ruhaniah ini memerlukan usaha dan perlakukan yang berbeda. Misalnya untuk mencapai kebahagiaan jasadiah manusia menginginkan kesuksesan hidup berupa kekayaan, kesejahteraan, kehormatan dalain-lain. Berbeda dengan pemenuhan kebahagiaan ruhaniah, untuk mencapai kebahagiaan manusia memerlukan ketenangan, kedamaian, serta kelapangan hati dalam menjalani kehidupan.

Kebahagiaan ruhaniah akan di dapatkan dari ketundukan manusia kepada Tuhan. Namun, dalam era globalisasi saat ini dan semakin banyaknya kebutuhan hidup manusia, menjadikan nilai kebahagiaan yang di cari manusia saat ini adalah kebahagiaan yang bersifat materi. Hal ini dibuktikan dari penelitian empiris yang menyatakan bahwa kebahagiaan merupakan hal yang terdiri dari kesenangan, dan kepuasan hidup.

2). Worldview sebagai Basis Kebahagiaan

Worldview dalam Islam itu bukan hanya berorientasi pada keyakinan aqidah, namun merupakan cara pandang sesuatu tentang realitas dan keyakinan terhadap sesuatu yang memiliki wujud dan bersifat metafisik, itu semua memiliki kaitannya dengan Tuhan. Maka worldview dalam Islam memiliki kaitan yang erat antara dunia dan akhirat, sebab dunia merupakan investasi dalam mempersiapkan akhirat. Kemudian pandangan hidup Islam bercirikan pada metode berfikir yang tawhidi, serta pandangan hidup yang bersumber kepada wahyu, diperkuat oleh agama didukung oleh akal dan intuisi, dan akhirnya akan memberikan konsepsi dasar bahwa pandangan hidup manusia itu tidak hanya berupa kehidupan dunia tapi juga berorientasi pada kehidupan akhirat.

Dinamika Makna Kebahagiaan

Kebahagiaan sudah menjadi topik yang sudah sejaklama  di perbincangkan oleh kalangan ilmuwan dan akademisi. Pengertian pertama bersumber dari pendapat Bradburn (Awaningrum, 2007) yang mendefinisikan psychological well being menjadi happiness (kebahagiaan) yang merupakan tujuan tertinggi yang ingin dicapai oleh manusia. Lebih lanjut dijelaskan bahwa kebahagiaan berarti adanya keseimbangan afek (perasaan) positif dan afek negatif. Pengertian kedua berasal dari pembuatan alat ukur Life Satisfaction Index untuk membedakan kesuksesan individu lanjut usia yang mengalami kesuksesan hidup dan yang tidak oleh Neugarten, Havighrust dan Tobin. Pada pengukuran ini kesejahteraan psikologis diartikan sebagai kepuasaan hidup (life satisfaction). Kedua pengertian kesejahteraan psikologis seperti dikemukakan di atas secara umum dinamakan dengan subjective well being (biasa disingkat SWB) yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan kesejahteraan subyektif.

Kebahagiaan Dalam Diri Manusia

Kebahagiaan merupakan gambaran dari manusia yang dapat mengidentifikasi keutamaan dirinya dan dapat menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari. Karena sifatnya subjektif, maka kebahagiaan setiap manusia memiliki ukuran yang berbeda-beda. Seligman (2005) mengidentifikasi beberapa faktor yang mendatangkan kebahagiaan, diantaranya adalah uang, status pernikahan, kehidupan sosial, usia, kesehatan, emosi negatif, pendidikan, iklim, ras, dan jenis kelamin, serta agama atau tingkat religiusitas seseorang; optimis, namun tetap realistis. 

Secara umum, faktor kebahagiaan menurut Seligman dipengaruhi oleh kehidupan sosial seseorang.Seligman (2005) menjelaskan bahwa orang yang paling bahagia senantiasa memiliki hubungan yang romantis. Sementara faktor agama juga turut mempengaruhi, karena orang yang religious lebih bahagia daripada orang yang tidak religious.

Faktor-faktor lain yang mendatangkan kebahagian adalah faktor budaya. Menurut Carr (2004), budaya dengan kesamaan sosial memiliki tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi. Artinya mereka yang hidup di lingkungan majemuk lebih sulit menemukan kebahagiaan daripada mereka yang hidup di masyarakat yang homogeny. Faktor budaya ini dapat dikaitkan dengan faktor politik. Carr (2004) menjelaskan bahwa kebahagiaan lebih tinggi dirasakan di negara yang sejahtera. Hal itu dikarenakan institusi berjalan lebih efisien daripada di negara yang belum sejahtera.

Hasil penelitian lintas budaya menjelaskan bahwa hidup dalam suasana demokrasi yang sehat dan stabil lebih bahagia daripada suasana pemerintahan yang penuh dengan konflik militer (Carr, 2004). Carr (2004), mengatakan bahwa budaya dengan kesamaan sosial memiliki tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi. Kebahagiaan juga lebih tinggi pada kebudayaan individualitas dibandingkan dengan kebudayaan kolektivitas (Carr, 2004). Carr (2004) juga menambahkan kebahagiaan lebih tinggi dirasakan di negara yang sejahtera di mana institusi umum berjalan dengan efisien dan terdapat hubungan yang memuaskan antara warga dengan anggota birokrasi pemerintahan.

Sumber kebahagiaan yang sejati, menurut Seligman (2005), ada lima aspek utama yaitu: menjalin hubungan positif dengan orang lain; keterlibatan penuh; menemukan makna dalam keseharian; dan menjadi pribadi yang gembira. Menjalin hubungan positif dengan orang lain berarti membina kekerabatan baik kepada saudara, tetangga ataupun teman sehingga seseorang memiliki banyak perhatian. Keterlibatan penuh adalah keterlibatan sepenuhnya pada aktivitas dan pekerjaan yang dijalani. Aktivitas dapat berupa menjalankan hobi yang dijalankan secara tekun.

Menemukan makna dalam keseharian merupakan upaya memeroleh sesuatu yang bernilai. Sementara aspek optimis namun tetap realistis artinya tetap menjalani hidup dengan penuh harapan namun tetap berbaik sangka dengan apa yang diperoleh, sedangkan menjadi pribadi yang gembira artinya menjadi pribadi yang senantiasa bangkit ketika tertimpa persoalan. Tidak ada orang yang tidak pernah menderita, namun ketabahan mereka dalam menghadapi penderitaan akan membuat mereka senantiasa hidup diliputi sikap yang optimis dan rasa bahagia.

Sementara itu karakteristik orang yang bahagia adalah orang yang selalu menghargai diri sendiri; orang yang memiliki sifat optimis, memiliki sifat terbuka dan mampu mengendalikan diri (Myers, 1994). Karakter itu menunjukkan bahwa ciri-ciri orang yang bahagia dapat diketahui, sehingga mereka yang bersifat sebaliknya menunjukkan orang yang kurang mendapat kebahagiaan.

Faktor Bahagia dalam Islam

Terdapat beberapa kaedah yang telah diajarkan di dalam Islam untuk meningkatkan kebahagiaan dalam diri seseorang. Antaranya ialah;

1. Muhasabah dan Mendekatkan Diri dengan Allah.

2. Menanamkan Sifat Syukur dalam Diri

3. Memelihara Diri dan Akal yang Baik

4. Memupuk sifat sabar dalam diri

5. Redha melalui Konsep Tawakkal kepada Allah.

Kesimpulan

Kebahagiaan merupakan dambaan setiap manusia dari dulu hingga sekarang. Berbagai cara dan usaha dilakukan untuk memperoleh kebahagiaan. Tak terkecuali cara tidak terpuji pun dilakukan demi kebahagiaan. 

Adapun kebahagiaan akhirat bisa dirasakan jika seseorang telah sampai pada kesempurnaan jiwa rasionalnya. Kesempurnaan jiwa rasional tergantung pada upaya menjaga keseimbangan dan kontinuitas amal baik di dunia. Jika upaya itu bisa lakukan maka akan memperoleh kebahagiaan. Meskipun jiwa telah terpisah dari jasad, tetapi jiwa masih bisa melengkapi kekurangannya untuk kesempurnaan.

Ciri-ciri kebahagiaan di akhirat dapat dilukiskan; bahagia yang berkelanjutan, bahagia tanpa dukacita, memiliki pengetahuan tanpa kebodohan, kecukupan tanpa kekurangan. Jadi dalam pandangan al-Ghazali, kebahagian sejati merupakan suatu perasaan yang tumbuh dari dalam jiwa secara natural melalui berbagai mujahadah, bukan kebahagiaan yang berbentuk dari materi seperti yang dikonsepsikan Barat.

Makna bahagia yang selama ini dipahami oleh kebanyakan ahli terkhusus yang sering disampaikan para psikolog modern lebih bermakna pada bahagia duniawi semata. Bahagia yang bersifat temporal dan selalu berubah, bukan bahagia yang Imaterial atau sesuatu kondisi yang tidak bisa dilukiskan. Berbeda dalam pandangan Islam. Dalam Islam bahagia itu adalah suatu kondisi batin yang sulit untuk dijelaskan tetapi hanya bisa dirasakan. Kondisi yang seperti itu hanya bisa diperoleh dan diperuntukan khusus bagi orang-orang yang tunduk dan taat kepada Allah.

Bahagia merupakan keadaan yang dapat merasa perasaan senang dan tentram, serta bebas dari segala yang menyusahkan terhadap hidup sendiri serta mempunyai objektif pembinaan kepribadian kesehatan mental yang keterlibatan perilaku positif dalam keseharian.

Individu yang sehat mentalnya individu yang mampu merasakan kenikmatan kebahagian dalam hidup, karena tipe-tipe individu seperti inilah yang dapat merasa bahwa dirinya berguna, berharga dan mampu menggunakan segala potensi dan bakat semaksimal mungkin, pada tujuan akhirnya membawa kebahagian bagi dirinya sendiri dan orang lain.

Elemen kebahagiaan dalam Islam sebagai penyatuan antara ilmu dan amal, rohani jasmani, serta sosial yang tinggi akan membawa ketentraman, ketenangan, dan kebahagiaan hidup bagi setiap insan. Kemudian di dalam al-Qur’an sebagai dasar dan sumber ajaran Islam banyak ditemui ayat-ayat yang berhubungan dengan ketenangan dan kebahagiaan jiwa sebagai hal yang prinsip dalam kesehatan mental diantara yaitu Ayat tentang kebahagiaan yaitu QS. Al-Qashash: 77, dan QS. Ali Imran: 104 dan ayat tentang ketenangan Jiwa/nafs yaitu QS. Al-Ra’d: 28), QS Al-Fath: 4.

Referensi:

KONSEP DAN PERSPEKTIF TAUHIDIK DALAM MENINGKATKAN KEBAHAGIAAN KENDIRI. Oleh: 1Abdul Rashid Abdul Aziz, dkk. Pusat Sains Kemanusiaan, Universiti Malaysia Pahang. International Journal of Humanities Technology and Civilization (IJHTC). Universiti Malaysia Pahang, Vol 1 March 2021.

INTEGRASI KONSEP KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF PSYCHOLOGICAL WELL BEING DAN SA’ADAH (Studi Komparasi Antara Konsep Barat dan Islam). Oleh: M. Ahim Sulthan Nuruddaroini1, dkk. Universitas Islam Negeri Antasari Bajarmasin, Indonesia. Kalimantan Selatan, Indonesia. PROSIDING KONFERENSI INTEGRASI INTERKONEKSI ISLAM DAN SAINS. Volume 3 – Februari 2021.

Kesehatan dan Mental dan Kebahagiaan: Tinjauan Psikologi Islam. Oleh: Zulkarnain, IAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung, Indonesia. Siti Fatimah, IAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung, Indonesia. Mawa'izh: Jurnal Dakwah dan Pengembangan Sosial Kemanusiaan. Vol. 10, no. 1 (2019).

Bahagia dalam Perspektif al-Ghazali. Oleh: Jarman Arroisi*, Universitas Darussalam Gontor. Kalimah: Jurnal Studi Agama-Agama dan Pemikiran Islam. Vol. 17 No. 1, Maret 2019

KEBAHAGIAAN DALAM PERSPEKTIF KAJIAN PSIKOLOGI RAOS. Oleh: Alimul Muniroh, Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah Kranji Paciran Lamongan. Madinah: Jurnal Studi Islam, Volume 4 Nomor 1 Juni 2017.

RELIGIUSITAS ISLAM DAN KEBAHAGIAAN (Sebuah Telaah dengan Perspektif Psikologi). Oleh: Ros Mayasari. Al-Munzir Vol. 7, No. 2, November 2014.

BAHAGIA PERSPEKTIF SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS. Oleh: Jarman Arroisi1, Novita Sari2*1Universitas Darussalam Gontor, INDONESIA, 2Universitas Darussalam Gontor, INDONESIA. Fikri: Jurnal Kajian Agama,Sosial dan Budaya.

Fitratul Akbar

Penulis adalah Alumni Prodi Ekonomi Syariah, Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Malang

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال