Piagam Madinah Sebagai Tolak Ukur Toleransi


Oleh: Mohammad Ibrahim Gymnastiar Fati*

Islam adalah agama komperhensif. Syari'atnya mampu mengatur kehidupan umat manusia dari berbagai aspek. Mulai dari aspek hubungan manusia dengan Tuhan, lingkungan, maupun dalam aspek hubungan manusia dengan sesamanya. 

Tidak ada satupun persoalan yang terlupa atau terlewatkan dalam nash Al-Qur'an dan Sunnah Nabi. Termasuk persoalan yang berkaitan dengan politik dan kepemimpinan.

Pemikiran mengenai politik dan kepemimpinan merupakan wacana yang tak pernah lepas dari pembicaraan para ahli. Topik pembicaraan biasanya senantiasa berkisar seputar masalah negara, sistem pemerintahan, sosok penguasa dan segala sesuatu yang berhubungan dengan kekuasaan. 

Dalam istilah yang lebih teknis politik adalah upaya untuk mencapai, menjalankan dan mempertahankan kekuasaan. Dalam politik juga dibicarakan berbagai unsur, seperti lembaga yang menjalankan aktivitas pemerintahan, masyarakat sebagai pihak yang berkepentingan, kebijaksanaan dan hukum-hukum yang menjadi sarana pengaturan masyarakat dan cita-cita yang hendak dicapai.

Perbincangan Politik dalam Islam selalu menarik sepanjang sejarah kenegaraan kaum muslimin. Isu antara Islam sebagai sistem ritual dan sistem kehidupan yang integrative selalu muncul ditengah-tengah kelangsungan suatu negara.

Masyarakat semakin banyak yang masuk agama Islam karena ajarannya mudah diterima dengan akal sehat dan merasa tenang dengan Islam sehingga Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk mengajak dengan terang-terangan kepada keluarga, kerabat dan kaum Quraisy dengan cara-cara yang baik dan santun.

"Berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang dekat dan rendahkan dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman. Jika mereka mendurhakaimu maka katakanlah: Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu kerjakan." (QS. Asy-Suara 26: 214-216). 

Latar Belakang Terbentuknya Piagam Madinah

Nabi Muhammad SAW dapat membaca strategi dan gerak-gerik kaum Yahudi yang bisa bersatu dengan kaum musyrikin Madinah dan Mekkah untuk memusuhi dan memerangi kaum muslimin. 

Sebelum terjadi hal itu, Nabi langsung mengadakan musyawarah dengan kaum muslimin dan kaum Yahudi serta kaum musyrikin untuk mengadakan perjanjian yang bisa disepaki oleh semua pihak untuk keamanan dan pertahanan kota Madinah. 

Bukan keamanan dan pertahanan saja melainkan persatuan dan persaudaraan, persamaan dan kebebasan beragama, hubungan antar pemeluk agama, perdamaian dan keadilan. Oleh karena itu, yang melatar belakangi terbentuknya Piagam Madinah, antara lain:

1. Adanya hijrah Nabi Muhammad SAW dan umatnya dari Mekkah ke Madinah atas perintah dan petunjuk Allah.

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah. Mereka itu mengharapkan rahmat Allah dan Allah Maha Pengampun lagi Maham Penyayang." (QS. Al-Baqarah 2: 218).

2. Adanya kaum Anshar yang menerima kehadiran orang-orang muslim Mekkah di Madinah, sedangkan kaum muhajirin adalah orang yang hijrah dari Mekkah ke Madinah. Keduanya dijadikan oleh Nabi bersaudara karena umat Islam adalah persaudara. 

"Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara karena itu damaikan antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat." (QS. Al-Hujurat 49 : 10).

3. Adanya kehidupan umat beragama yang ada di Madinah, baik kaum muslimin sebagai mayoritas dan kaum Yahudi, Kristen, Majusi dan Musyrikin sebagai minoritas, mereka bebas menjalankan agamanya di Madinah tanpa ada paksaan.

Piagam Madinah Mengenai Kebebasan Beragama

Piagam Madinah yang memuat 47 pasal sebagai dokumen yang ditetapkan oleh Nabi Muhammad SAW pada lima belas abad yang lalu dan merupakan bukti sejarah yang belum ada naskah seperti itu yang menghormati prinsip umat manusia, persamaan dan kebebasan, hubungan antar pemeluk agama, keamanan dan kedamaian, musyawarah dan keadilan.

Kebebasan beragama adalah mengakui eksistensi penganut agama, menjamin kemerdekaan dan kebebasan dalam menjalankan ajaran agamanya tanpa ada paksaan serta menghargai dan menghormatinya. 

Sebagaimana yang diungkapkan dalam Piagam Madinah pasal 25 yang menyatakan bahwa, "Sesungguhnya Yahudi Bani Auf adalah satu umat dengan orang-orang mukmin. Orang-orang Yahudi hendaknya berpegang pada agama mereka dan orang-orang Islam pun hendaknya berpegang pada agama mereka pula, termasuk sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali orang yang berlaku zalim dan berbuat dosa atau aniaya. Karena sesungguhnya orang yang demikian hanya akan mencelakakan dirinya dan keluarganya sendiri."

Kebebasan beragama adalah menghormati pribadatan umat beragama lain sebagai toleransi antar umat beragama karena setiap penganut agama pasti mempunyai tempat ibadah kepada Tuhannya dan tidak boleh diganggu, tidak boleh dihina dan tidak boleh dirusak melainkan dijaga keamanan dan dihormatinya serta dilarang dalam Islam tukar tempat ibadahnya.

"Katakanlah (Muhammad), wahai orang-orang kafir. Aku tidak menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah pula menjadi penyembah apa yang aku sembah, Intukmu agamu dan untukku agamaku." (QS. Al-Kafirun 109 : 1-6).

Sampai di sini, kita bisa menyimpulkan bahwa prinsip-prinsip demokrasi tersimpul dalam ajaran-ajaran Islam yang ditetapkan Nabi Muhammad SAW dalam menjalankan roda pemerintahan di Madinah sebagai pusat pemerintahan Islam.

 *) Mahasiswa Universitas Islam Negeri Surabaya

Editor: Adis Setiawan

 

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال