Perjalanan Hidup Sayidah Aminah dan Abdullah dari Kecil Hingga Dewasa

KULIAHALISLAM.COM - Abdullah bin Abdul Muthalib merupakan ayah paling mulia dalam sejarah karena menjadi ayahanda Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam dan Aminah menjadi ibu termulia selain Maryam binti Imran sepanjang sejarah umat manusia. Pada saat itu di kota Mekah terkenal seorang pemuda tampan dan menarik. Menarik perhatian gadis-gadis di Mekah. Sedangkan Aminah merupakan gadis tercantik di Mekah yang tekenal dengan kecantikannya dan ahlaknya yang mulia. 



Aminah dikenal sebagai anak yang sangat memikat, membuat siapapun jatuh hati kepadanya. Orang-orang hampir tidak mengerti rahasia dibalik pesona Aminah. Aminah adalah seorang anak yatim yang hidup dalam asuhan pamannya bernama Wuhaib bin Abdi Manaf bin Zuhrah. Pamannya berasal dari Bani Zaharah yang merupakan kabilah (suku) yang sangat dihormati kaum Quraisy Mekah. Halah adalah putri Wuhaib bin Abdi Manaf bin Zuhrah. Halah menjadi orang paling dekat dan paling sayang kepada Aminah.

Keduanya menjadi sepasang kupu-kupu dalam taman yang menghijau, terbang bersama,turun bersama juga melewati masa kanak-kanak bersama. Halah telah berusia 14 tahun dan Aminah berusia 12 tahun. Halah dan Aminah merupakan dua gadis yang berasal dari keluarga terhormat dan memiliki kedudukan tinggi di Mekah. Halah menikah dengan Abdul Muthalib bin Hasyim, seorang pembesar kota Mekah.

Kehidupan yang beru ini memisahkan Aminah dan Halah karena Halah harus tinggal bersama suaminya. Jika Halah mempunyai waktu luang maka ia akan mengunjungi ayahnya dan Aminah dan berbicara masalah penduduk kota Mekah. Walaupun Halah telah menikah namun Halah dan Aminah semakin dekat.

Kecantikan Aminah semakin sempurna. Aminah menjadi permata kota Mekah dan dambaan para pemuda dan pembesar kota Mekah. Aminah menjadi buah bibir penduduk kota Mekah, kecentikan, kesopanan, kecerdasan dan kesederhannya dibicarakan dimana-mana.Pada saat yang sama kota Mekah juga ramai membicarakan seorang pemuda cerdas, dermawan dan pemberani. Tuhan juga menganugerahkan karunia ketampanan yang memikat semua gadis-gadis penduduk Mekah. Semua ayah berharap menjadi mertuanya dan semua ibu berharap menjadikannya suami dari putrinya. Pemuda tampan itu adalah Abdullah bin Abdul Muthalib.

Halah merasa yang tepat bagi Abdullah adalah Aminah. Keinginan Halah menjodohkan Abdullah dengan Aminah, langsung dibicarakannya dengan suaminya yaitu Abdul Muthalib. Dan ternyata Abdul Muthalib juga menginginkan agar putranya Abdulah menikah dengan Aminah. Mendengar respon suaminya, Halah sangat gembira. Halah juga membicarakan perihal pernikhan Abdullah dan Aminah dengan ayahnya, Wuhaib.

Walau Wuhaib dan Abdul Muthalib setuju untuk menikahkan Abdullah dengan Aminah tetapi rencana pernikahan itu terunda dan Aminah ataupun Abdullah belum mengetahui bahwa mereka akan dijodohkan. Abdul Muthalib menginginkan putranya itu segera menikah dengan Aminah tetapi ia masih memiliki janji dengan Tuhan (Nazar) yang harus ia tunaikan. Ia sempat bernazar kepada Allah, jika ia berhasil menemukan sumur Zamzam maka ia akan menyembelih  anaknya untuk dikorbankan kepada Tuhan.

Gunung-gunung kota Mekah mengeluarkan nafas panasnya saat tengah hari. Di tengah terik matahari yang menyengat, Abdul Muthalib menemui Wuhaib bin Zurah. Ia mengutarakan akan memenuhi janjinya kepada Tuhan untuk menyembelih anaknya. Wuhaib berkata : “ Masihkah engkau memikirkan hal itu wahai Abdul Muthalib ?”.

Abdul Muthalib berkata : “ Benar, wahai sahabatku. Akan kusembelih salah seorang dari putraku sebagai kurbanku kepada Tuhanku. Apakah engkau menduga bahwa nazarku hanya sendagurau semata ? Engkau tahu bahwa situasi saat itu sulit dan menegangkan. Ingatkah engkau Wuhaib ketika orang-orang  Quraisy mengerumuniku ? saat itu, aku sedang mengangkat cangkul dan memukulnya di tanah untuk mencari sumber air zamzam sebagaimana yang diisyaratkan oleh Tuhanku. Mereka semua memusuhiku padahal aku tidak berbuat jahat kepada mereka dan tidak pernah kucelakai seorangpun. Hanya putraku Al-Harits satu-satunya orang yang ada dibelakangku. Hatiku hancur berkeping-keping. Hanya satu putra yang kumiliki saat itu. Sedangkan di sekitar masyarkat Quraisy terdapat anak-anak mereka yang banyak, ikut memusuhiku dan turut menzalimiku”.

Emosi Abdul Muthalib mulai memuncak, suaranya gemetar terputus-putus. Air mata mata berlinang membasahi pipinya. Ia terdiam. Setelah kembali tenang, ia pun melanjutkan ceritanya. : “ Saat itu, aku benar-benar membutuhkan banyak anak laki-laki, wahai Wuhaib, anak laki-laki yang menjadi tumpuan kebanggaan dan kesombongan orang-orang Quraisy. Aku pun bernazar kepada Tuhan, jika Dia menganugerahiku 10 anak laki-laki, maka akan kusembelih salah satu diantara mereka sebagai kurban kepada-Nya. Dan sekarang Tuhan mengabulkan doaku dan mewujudkan harapanku. Pantaskan jika kemudian aku bersikap kikir dan mengorbankan satu putraku demi Dia ?”.

Aminah berada dekat dengan kedua orangtua tersebut dan mendengar semua percakapan mereka. Hatinya terasa sesak, merasa ngeri membayangkan Abdul Muthalib akan melaksanakan nazarnya menyembelih putranya. Aminah diam dalam sedih. Ia takut Abdul Muthalib benar-benar menyembelih salah satu putranya.

   Malam yang panjang, rumah Abdul Muthalib dipenuhi orang-orang Quraisy dan non Quraisy. Mereka datang untuk meyakinkan Abdul Muthalib agar membatalkan nazarnya. Bangsa Arab kawatir akan lahirnya tradisi yang menakutkan. Putra-putra Abdul Muthalib berkerumun di sekeliling Abdul Muthalib dan berkata : “ Wahai ayahanda, laksanakanlah kehendakmu dan gapai rida Tuhan-mu. Jangan kau langgar janji yang telah kau ucapkan. Engkau adalah orang yang bertakwa dan memenuhi janji. Jiwaku tunduk kepada kehendakmu dan kepalaku ditanganmu”.

Orang-orang merasa kagum menyaksikan putra-putra Abdul Muthalib yang berani dan sanggup tersenyum menghadapi kematian di depan mata. Air mata para ibu bercucuran dan mencela para suami mereka yang tidak mampu membatalkan nazar Abdul Muthalib. Kelopak  mata gadis Mekah pun tidak mampu terpejam, mereka mendambakan Abdullah sepanjang malam. Masing-masing berharap Tuhan memilih orang lain dan menyelamatkan Abdullah dari tragedi ini. Aminah terus berdoa dan mengharapkan kasih sayang Allah serta rahmat-Nya yang luas. Ia percaya bahwa Tuhan tidak akan meminta seorang ayah memotong leher anaknya. Aminah teringat pada kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail.

Jalan Keluar

Hari berhanti, matahari pun terbit menyapa rombongan kafilah para pembesar Quraisy yang sedang menempuh perjalanan ke arah utara. Mereka menuju Khaibar, sebuah desa dekat Yatsrib (Madinah) tempat tinggal seorang Dukun perempuan Hijaz yang dipercaya oleh bangsa Arab. Dalam kondisi-kondisi tertentu ketika sebuah masalah menjadi runyam dan jalan-jalan kebenaran seakan tertutup, orang-orang Arab akan mendatangi sang dukun. Mereka berunding meminta pendapatnya, kemudian menjalankan apa yang telah disepakati bersama. Keahlian sang dukun dalam menyingkap tabir persoalan serta pengetahuannya telah banyak hal yang tidak dapat diketahui oleh orang banyak tersohor dimana-mana.

Dua puluh hari lamanya rombongan ini melakukan perjalanan pulang dan pergi. Kini, rombongan kafilah telah kembali ke kota Mekah membawa sebuah solusi dari sang dukun untuk menyelamatkan Abdullah dari keputusan yang telah menentukan kematiannya. Hati Bani Muthalib berdebar-debar. Harapan bercampur ketakutan. Keputusan sang dukun perempuan ternyata tidak secara langsung menjauhkan pisau besar Abdul Mutahlib dari leher putranya. Ia justru menggantungkan hidup Abdullah kepada tempurung undian.

Ia bertanya kepada rombongan kafilah yang mendatanginya tentang tebusan orang yang dibunuh dalam tradisi mereka. Ketika mereka menjawab tebusannya adalah 10 ekor unta, sang dukun mengeluarkan perintah untuk kembali kepada Tuhan, lalu mengundi 10 ekor unta dengan Abdullah. Jika Tuhan memilih dan merestui 10 ekor unta maka permasalahan berakhir dan sang pemuda pun selamat. Jika tidak, maka mereka harus menambah 10 ekor unta lagi dan mengulang undian. Penambahan 10 ekor unta akan terus dilakukan hingga Tuhan merestui dan memafkan Abdullah dan memilih tebusan unta.

Diselimuti oleh rasa takut serta khawatir, orang-orang Quraisy dan Bani Abdul Muthalib bertekad akan menghentikan tangan Abdul Muthalib dan menghalanginya menyembelih putranya, baik Tuhan merestui maupun tidak. Hari berganti, siang datang menebarkan hawa panas. Orang-orang berangkat menuju Ka’bah dan melihat sekumpulan unta yang gemuk. Mereka berharap Tuhan akan membuka mata-Nya lebar-lebar dan melihat jamuan besar ini, memilih jumlah unta yang dikehendaki-Nya, lalu memafkan Abdullah.

Air liur fakir miskin dan orang-orang lapar menetes tak terbendung. Mereka membayangkan betapa lezat daging-daging unta dengan bongkolnya yang padat. Mereka menatap berhala-berhala, berharap Tuhan akan memilih hewan  yang penuh daging dan lemak daripada menyetujui penyembelihan manusia yang hanya akan mendatangkan kesengsaraan serta kepedihan. Mereka menyaksikan Abdul Muthalib datang dengan piasu besar dan unta-unta berada disebelahnya.

Abdul Muthalib mengangkat kedua tangannya ke langit dan berdoa agar Tuhan menerima tebusan unta dan membebaskan Abdullah. Undian pun dimulai, dan keluar nama ‘Abdullah’. Orang-orang berteriak “ mengapa engkau diam saja, tambahkanlah 10 ekor unta !”. Tempurung pun kembali diaduk dan keluar nama ‘Abdullah’ lagi. Undian terus dilanjutkan hingga jumlah unta tebusan yang harus diberikan Abdul Muthalib berjumlah 90 unta. Orang-orang Quraisy memandang Abdullah yang malang dengan penuh rasa iba yang mendalam.

Para fakir miskin dan orang-orang yang lapar gembira setiap kali jumlah unta ditambahkan. Abdul Muthalib selalu memberi isyarat menambahkan unta setiap kali nama ‘Abdullah’ yang keluar dari tempurung undian. Aminah tidak berada disana untuk menyaksikan semua itu. Sejak pagi, ia sebetulnya ingin ikut bersama orang-orang namun ia kehilangan kekuatannya karena keseduhan yang mendalam. Aminah tetap tidak hilang harapannya akan kasih sayang Tuhan.

Di hadapan Ka’bah peroses pengundian terus berlangsung hingga unta berjumlah 100 ekor unta. Pada akhirnya yang keluar dari tempurung undian adalah nama ‘unta’ bukan ‘Abdullah’. Orang-orang merasa gembira akhirnya Abdullah tidak jadi disembelih Abdul Muthalib dan mereka juga akan segera menyembelih 100 ekor unta hasil undian sebelumnya. Daging-daging unta itu disembelih atas nama Tuhan dan seluruh dagingnya dibagikan bahkan hewan-hewan pun dipersilahkan menikmatinya. Wajah fakir dan miskin sangat gembira menikmati hidangan daging unta yang melimpah ruah.Setelah peristiwa itu, Abdul Muthalib dan Wuhaib mengumumkan akan menikahkan Abdullah dan Aminah. Pernikahan Aminah dan Abdullah mungkin insyAllah akan diulas pada waktu selanjutnya.

Sumber : Aminah The Greates Love karya Abdul Salam Al-Asyri, Pena.

 

 

 

 

 

Rabiul Rahman Purba, S.H

Rabiul Rahman Purba, S.H (Alumni Sekolah Tinggi Hukum Yayasan Nasional Indonesia, Pematangsiantar, Sumatera Utara dan penulis Artikel dan Kajian Pemikiran Islam, Filsafat, Ilmu Hukum, Sejarah, Sejarah Islam dan Pendidikan Islam, Politik )

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال