Pentingnya Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih di Tengah Era Globalisasi


Penulis: Faiz Moh. Rahman*

Ibnu Miskawaih (932-1030 M), seorang filsuf dan cendekiawan Persia yang terkenal, dianggap sebagai salah satu tokoh yang penting dalam tradisi pemikiran Islam. Salah satu karya terkenalnya adalah Tahdhib al-Akhlaq atau Penyempurnaan Akhlak. 

Dalam karyanya, Ibnu Miskawaih menguraikan pentingnya pendidikan akhlak dalam kehidupan individu dan masyarakat. Akhlak menurut Ibnu Miskawaih adalah kondisi sebuah jiwa yang mendorong terjadinya perilaku dengan tanpa difikirkan dan dipertimbangkan sebelumnya.

Berarti bisa dikatakan bahwa akhlak adalah segala tindakan atau perilaku yang keluar secara otomatis dari diri. Dari penjelasan tersebut kita bisa dikatakan bahwasanya secara tidak langsung kita dapat mengetahui akhlak seseorang dengan melihat bagaimana cara dia berperilaku. 

Di era Globalisasi seperti sekarang ini juga kita telah banyak di suguhkan arus informasi yang begitu banyak dan beragam. Dan arus informasi tersebut tidak hanya berupa pengetahuan tetapi juga berbagai nilai, dan nilai-nilai yang sepintas lalu terasa baru dan asing. 

Apakah nilai-nilai itu bersifat positif atau negatif dengan beragai macam fenomena tentang tingkah laku manusia, entahkah melalui sosial media ataupun terjadi secara langsung di lingkungan kita, yang jika ditelaah lebih dalam maka yang lebih banyak kita temukan ialah sesuatu yang bersifat negatif terutama di dalam lingkup perilaku manusia yang makin menjadi jadi. 

Hal ini menurut penulis tidak terlepas dari rusaknya akhlak yang telah terjadi di dalam diri manusia itu sendiri. Oleh karena itu disini kita bisa melihat bahwa begitu pentingnya pendidikan akhlak dalam kehidupan kita yang dimana hal ini telah masuk dalam kategori sesuatu yang urgensi dalam kehidupan universal manusia. 

Dalam berkehidupan tentu kita telah biasa menemukan berbagai perbedaan-perbedaan sifat atau akhlak dalam setiap individu manusia terlebih lagi dalam era globalisasi ini. 

Ada yang baik, ada yang jahat bahkan ada yang berada di tengah-tengah keduanya kadang baik kadang juga jahat. Namun, pernahkah kita berfikir dan mempertanyakan mengapa hal tersebut dapat terjadi. 

Menurut Ibnu Miskawaih sendiri ada beberapa faktor yang menyebabkan manusia memiliki perbedaan tersebut. Pertama, karena watak alamiah yaitu watak bawaaan dari lahir yang disebakan oleh keturunan misalnya. 

Kedua, karena kebiasaan atau tradisi. Ketiga, karena tingkat pengetahuan/ilmu. Dan keempat, karena tingkat kesungguhan. Menurut Ibnu Miskawaih keempat faktor inilah yang menyebabkan perbedaan sifat dan akhlak seseorang. 

Tetapi ia juga mengatakan bahwa semua hal tersebut bukanlah sesuatu hal yang permanen dengan kata lain semuanya dapat diubah melalui jalan pendidikan akhlak.

Seperti yang ditelah bahas sebelumnya pendidikan akhlak memiliki peranan penting terhadap seluruh individu yang mana ini dapat menjadi bekal kita untuk tetap menjadi manusia yang memiliki budi pekerti dan akhlak yang mulia di tengah-tengah gempuran era globalisasi. 

Dalam konsep pendidikan akhlak Ibnu Miskawaih di terangkan bahwa kita manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang istimewa diantara semua makhluk ciptaannya yang dimana kita diberi oleh Tuhan anugerah daya berpikir. 

Berdasarkan daya pikir inilah yang menjadikan manusia dapat membedakan segala suatu hal seperti, yang baik dan buruk, benar dan salah dan lain sebagainya. 

Manusia dikatakan sempurna apabila ia dapat berpikir secara benar serta paling mulia usaha dan perbuatannya maka dari itu hal ini perlu usaha dalam mewujudkannya. 

Sebelum kita membahas lebih lanjut tentang usaha dalam mewujudkan akhlak mulia, mungkin ada baiknya kita perlu tahu dulu apa sih tujuan dari pendidikan akhlak itu? 

Tujuan dari pendidikan akhlak itu sendiri ialah melatih jiwa ataupun membiasakan jiwa untuk terlatih dalam kebaikan yang dimana hal ini adalah salah satu jalan yang akan membawa kita dalam kebahagiaan yang paripurna. 

Kebahagiaan itu dapat terjadi apabila kita dapat melakukan kebaikan yang utuh baik dari aspek lahir maupun batin. Perlu dicatat bahwa makna kebahagiaan tidaklah sama dengan kenikmatan, kebahagiaan memiliki makna yang lebih dalam dibandingkan sekadar kenikmatan sahaja. 

Bisa dikatakan bahwa apabila kita merasakan kebahagiaan maka sudah tentu rasa kenikmatan telah ikut di dalamnya tetapi beda halnya dengan kenikmatan apabila kita merasakan kenikmatan maka belum tentu kita merasakan kebahagiaan.

Nah, setelah tadi kita telah mengetahui tujuan dari pendidikan akhlak maka sampailah kita di pembahasan mengenai usaha-usaha dalam mewujudkan akhlak mulia. 

Menurut Ibnu Miskawaih untuk mencapai akhlak yang mulia manusia dapat melakukan beberapa latihan sehingga mencapai hal tersebut. 

Pertama ialah dengan melakukan Al Adat wal Jihad yaitu membiasakan diri dan bersungguh sungguh dalam menaklukkan nafsu-rendah rendah seperti keserakahan yang tak terbatas, kesombongan dan nafsu-nafsu buruk lainnya. 

Kedua, menjadikan semua pengetahuan dan pengalaman orang lain sebagai cermin diri. Ketiga, introspeksi/mawas diri yaitu banyak-banyak mengoreksi diri sehingga kita jiwa ini terus menerus dalam keadaan yang baik sehingga tidak keluar melampaui fitrahnya. 

Dan yang keempat, kalau bahasanya Dr. Fahrudin Faiz ialah metode oposisi, yaitu metode muhasabah diri yang mana apabila kita menemukan kejelekan didalam sifat kita maka kita juga harus mengetahui sebabnya kenapa dan menghadirkan lawan atau obat dari kejelekan tersebut.

Setelah kita melakukan upaya dalam mewujudkan akhlak mulia dan mencapainya tentu kita tidak bisa begitu saja langsung berpuas diri. Hal, ini karena kita juga perlu untuk menjaga apa yang telah kita usahakan sehingga akhlak atau sifat ini bisa terus menerus hadir bersemayam dalam jiwa kita. 

Ibnu Miskawaih menambahkan dalam kitabnya Tahdhib al-Akhlaq kiat-kiat menjaga atau menguatkan akhlak yaitu, jangan bergaul dengan orang keji yang suka pada kenikmatan-kenikmatan keji yang suka dan bangga berbuat dosa, melakukan aktifitas yang berhibungan dengan penegetahuan dan prateknya, sehingga dapat melayani jiwa. 

Karena bila jiwa tidak berpikir dan tidak lagi mencari makna, ia akan tumpul dan bodoh, serta kehilangan subtansi kebaikan, sejak kecil melatih diri dengan berpikir dan belajar ilmu, tidak hidup berlebihan, sebab kenikmatan eksternal tidak ada batasnya.

Wallahu ‘alam bissawab

*) Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Prodi Akidah dan Filsafat Islam.

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال