Pemikiran Ibnu Sina tentang Keterkaitan Tubuh dan Jiwa


Penulis: A. Zaidan Dhiya’ulhaq Fulana*

Ibnu Sina, atau yang dikenal juga sebagai Avicenna mempunyai nama lengkap Abu Ali Al Huseyn bin Abdullah bin Hasan Ali bin Sina. adalah salah satu pemikir Muslim yang pemikirannya tetap relevan dan memberikan inspirasi dalam menghadapi tantangan zaman modern. 

Melalui kontribusinya dalam bidang filsafat, kedokteran, dan metodologi ilmiah, pemikiran Ibnu Sina memiliki implikasi yang signifikan dalam mengatasi permasalahan dan memahami kondisi kekinian. 

Artikel ini akan membahas relevansi pemikiran Ibnu Sina dengan permasalahan masa kini dan bagaimana pemikirannya dapat membantu kita menghadapinya.

Dalam konteks saat ini, salah satu konsep yang relevan dari pemikiran Ibnu Sina adalah pandangannya mengenai hubungan antara tubuh dan jiwa. Ibnu Sina menekankan bahwa keseimbangan antara tubuh dan jiwa memiliki peran krusial dalam mencapai kesejahteraan manusia. 

Di tengah kehidupan modern yang sering kali penuh dengan tekanan dan stres, pemahaman ini menjadi sangat penting. Pemikiran Ibnu Sina memberikan wawasan tentang pentingnya menjaga keseimbangan fisik, mental, dan emosional sebagai respons terhadap tuntutan kehidupan yang kompleks.

Ibnu Sina menyatakan bahwa jiwa, yang juga disebut sebagai ruh, merupakan kesempurnaan awal bagi jasad. Jasad berperan sebagai asisten jiwa yang sejati dalam manusia, dan dapat dianggap sebagai jiwa yang berada dalam tubuh manusia sebagai sarana untuk mengaktualisasikan potensi individu. 

Jiwa membantu seseorang dalam hidup dan berbakti sebagai hamba Allah dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya. Ibnu Sina secara cermat mempelajari konsep jiwa saat ia mempelajari dan menelaah Alqur'an dan As Sunnah. 

Ia berpendapat bahwa jiwa adalah abadi, tetap ada setelah kematian tubuh, dan tidak mati bersama dengan tubuh. Meskipun jasad mengalami kematian dan kehancuran, jiwa bersifat abadi. Namun, Tuhan memiliki sifat kekekalan. 

Terkait dengan keabadian jiwa, Ibnu Sina berpendapat bahwa jiwa memiliki awal tetapi tidak berakhir. Oleh karena itu, jiwa yang abadi berasal dari Tuhan.

Dalam perspektif Ibnu Sina, terdapat keterkaitan erat antara jasad dan jiwa. Jiwa tidak dapat mencapai eksistensi fenomenal tanpa adanya jasad. Ketika tahap eksistensi fenomenal tercapai, jiwa berfungsi sebagai pengatur kehidupan dalam jasad. 

Jasad menjadi manifestasi dari jiwa. Tanpa adanya jasad, maka jiwa tidak akan ada karena tidak ada sarana fisik yang dapat menerimanya. Kehadiran jasad merupakan prasyarat bagi keberadaan jiwa. Dalam tahap perkembangannya, jiwa membutuhkan dan diciptakan untuk berinteraksi dengan jasad. 

Jiwa menggunakan dan bergantung pada jasad. Sebagai contoh konkret, proses berpikir tidak akan optimal tanpa dukungan indera yang turut berkontribusi dengan efeknya.

Dalam karyanya Al Qanun fi Al Tibb, Ibnu Sina tidak secara khusus memberikan definisi kesehatan mental, karena hal tersebut sudah termasuk dalam definisi kesehatan secara umum. 

Namun, dalam ilmu jiwa kontemporer, kesehatan mental didefinisikan sebagai keadaan yang relatif stabil di mana seseorang memiliki keselarasan jiwa baik dengan dirinya sendiri maupun dengan lingkungannya. 

Seseorang yang memiliki kesehatan mental akan merasakan kebahagiaan dalam dirinya dan meningkatkan potensinya sebaik mungkin. Mereka juga mampu menghadapi berbagai tuntutan kehidupan, menjaga integritas kepribadian, dan menunjukkan perilaku yang normal. Dalam keadaan ini, seseorang dapat hidup dengan damai dan tentram.

Menurut Ibn Sina, secara mendasar, kondisi mental yang "sakit" tidak disebabkan oleh penyakit fisik, tetapi lebih karena ketidakstabilan atau ketidakharmonisan dalam keadaan emosi manusia. 

Ketidakstabilan atau ketidakharmonisan dalam kondisi panas atau dingin yang sejalan dengan sifat alami seseorang dapat menyebabkan munculnya gangguan mental. Dalam situasi seperti ini, hati menjadi lemah. 

Ketidakstabilan atau ketidakharmonisan dalam kondisi panas atau dingin tersebut dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti keadaan sedih atau putus asa.

Penyakit mental dapat dianggap sebagai manifestasi dari gangguan yang terjadi pada kepribadian seseorang, yang tercermin dalam aspek psikologis dan fisik mereka. 

Gangguan tersebut berdampak pada perilaku individu, sehingga keadaan jiwa mereka menolak untuk kembali ke keadaan semula atau kembali normal, yang menghambat mereka dalam menjalani kehidupan yang sejalan dengan masyarakat sekitar.

Ibnu Sina menyampaikan pandangan bahwa seseorang yang mengalami penyakit fisik sebenarnya dapat sembuh hanya dengan kekuatan dan keinginan. 

Demikian pula sebaliknya, seseorang yang sehat secara fisik dapat benar-benar menjadi sakit jika dipengaruhi oleh pikirannya sendiri yang terobsesi tentang keadaan sakit.

Keadaan mental seseorang dipengaruhi secara signifikan oleh tubuhnya. Kesehatan jiwa manusia dipengaruhi oleh kondisi fisik yang optimal. Oleh karena itu, pengaruh pikiran menjadi aspek utama dari interaksi antara jiwa dan tubuh. 

Konsep ini, yang ditekankan oleh Ibnu Sina, didasarkan pada pengetahuan dan filsafat yang luas yang terdokumentasikan dalam karyanya yang terkenal, "Al Qanun fi Al Tibb" (Kitab Hukum Kedokteran). 

Pandangan Ibnu Sina ini memberikan dasar penting dalam upaya penyembuhan, termasuk dalam bidang kesehatan secara keseluruhan.

Ibnu Sina menganggap bahwa keadaan tubuh dapat mempengaruhi keadaan jiwa, dan sebaliknya. 

Ketika tubuh mengalami ketidak seimbangan atau penyakit, hal ini dapat memengaruhi kesejahteraan jiwa. Sebaliknya, kondisi jiwa yang tidak seimbang, seperti stres atau kecemasan, dapat berdampak negatife pada tubuh dan kesehatan fisik.

Dalam konsep yang disampaikan oleh Ibnu Sina, Releveansinya dalam menjaga keseimbangan mental dan emosional, penting untuk memahami bahwa tujuan utama kehidupan manusia adalah mencapai kebahagiaan. 

Namun, tujuan akhir yang paling tinggi adalah mencapai kebahagiaan akhirat, di mana puncaknya adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT. Mencari kedekatan dengan Allah SWT menjadi tujuan hidup manusia. 

Konsep ini berakar pada pemahaman Ibnu Sina tentang manusia, bahwa inti sejati manusia terletak pada jiwanya, dan kekuatan yang paling penting dalam jiwa adalah pengetahuan tentang hakikat-hakikat, di mana hakikat yang paling mutlak adalah Allah SWT. 

Pengetahuan yang menyeluruh tentang Allah SWT dapat dicapai melalui penyempurnaan esensi manusia. 

Kesempurnaan manusia dapat dicapai ketika jiwa, ruh, hati, dan akal mendapatkan bimbingan dan berfungsi secara optimal dalam menjalankan peran masing-masing dan saling mendukung. Potensi intelektual, spiritual, dan emosional merupakan hal-hal yang melekat pada setiap individu.

*) Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال