KATA KITA: Merenungkan Kembali Makna Toleransi dan Common Good

KULIAHALISLAM.COM - Yang kita ketahui, secara etimologis, toleransi (Inggris, tolerance) berasal dari kata Latin tolerare, lalu menjadi toleranlia, yang berarti “menahan“, “menanggung“, atau “memikul“. Ketahanan atau kemampuan seseorang untuk bertahan terhadap sesuatu yang tidak disukainya. Tolerance artinya menoleransi paham, pandangan, atau keyakinan orang lain yang berbeda. 

Sedangkan tolerate berarti mengizinkan (to allow), mengenali dan menaruh hormat kepada keyakinan, sikap-sikap, dan praktik paham (keagamaan atau apa pun) orang lain, yang sesungguhnya tetap tidak menyetujui atau bersimpati terhadap paham, keyakinan dan praktik-praktik orang lain yg berbeda itu.

Maka sebenarnya secara manusiawi, kita tidak suka dengan paham, agama, dan ideologi tetangga yang beda dengan kita. Namun pada akhirnya kita cenderung pada sikap toleransi. 

Syahdan, jika dilihat secara etimologis, toleransi itu negatif karena tetap harus “menahan rasa sakit” bertetangga dengan orang lain yang berbeda. Karena itu, pertama, mari kita ubah paradigma dan kesadaran kita dari sekedar toleransi menjadi “common good“. 

Artinya, kita mengakui bahwa masing-masing kita, kelompok-kelompok keyakinan-keyakinan kita, kebudayaan-kebudayaan kita pasti punya good, punya kebaikan. Namun good ini bukan partial good, bukan jumlah good dari masing-masing agama dan masing-masing kebudayaan, tapi semacam satu-kesatuan dari good masing-masing agama, satu-kesatuan dari berbagai good dari masing-masing kelompok. 

Falsafah negeri kita yang bernama Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi satu jua bisa jadi sumber itu semua. Common good juga bukan dipahami bahwa good yang populer mengalahkan yang tidak populer atau good yang mayoritas mengalahkan yang minoritas. Itu sebagai upaya melestarikan kehidupan yang majemuk ini produktif, maka kita harus memusuhi teori “live and let die“, dimana berpandangan kita hidup, namun  membiarkan orang lain mati. Apalagi sampai senang melihat orang lain mati, guna mempertahankan hidup kita.

Tapi itu semua juga tidak hanya cukup sekedar co-existence: selama anda tidak mengganggu saya, saya tidak akan mengganggu anda. Co-existence ini mirip dengan toleransi pasif: masing-masing saja, gak peduli dengan orang lain

Dalam masyarakat kita yang sangat majemuk dan menghendaki kemajuan, maka yang cocok adalah creative pro-existence: kalau saya hidup, anda juga harus hidup. Kalau saya senang anda juga harus senang. Kita sama-sama peduli, saling bekerja sama, bukan sama-sama bekerja. Bekerja sama dengan sama-sama bekerja jelas berbeda: yang pertama aktif, yang terakhir pasif.

Kalau pun harus memakai kata “toleransi”, maka kata lain untuk Creative pro-existence adalah “toleransi aktif” yang masih perlu diuji dalam penerapannya. Jika bisa dipraktikkan, alangkah Pelangi Indonesia akan tampak indah. Wallahu a'lam bisshawaab.

Salman Akif Faylasuf

Salman Akif Faylasuf. Alumni Ponpes Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang nyantri di Ponpes Nurul Jadid, sekaligus kader PMII Universitas Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال