Menjadi Kaum Muda Muslim Beradab Masa Kini

(Sumber Gambar: Redaksi Kuliah Al-Islam)


KULIAHLAISLAM.COM - Dunia saat ini benar-benar tanpa batas, lintas suku, budaya, bangsa dan agama. Peradaban global memberikan tantangan besar bagi dunia pendidikan yang utamanya pendidikan akhlak atau tingkah laku kehidupan manusia. Tantangan itu, tidak hanya timbul dalam kaitannya dengan pengembangan potensi dan aktualisasi diri sumberdaya manusia, dan bukan pula hanya sebagai pendukung globalisasi, tetapi juga sebagai pengendali arus globalisasi yang secara gencar mempengaruhi, bahkan terkadang merusak sendi-sendi kehidupan kita. Namun, globalisasi bukanlah momok dan tak perlu kita takuti, karena globalisasi merupakan kenyataan dunia kekinian. Tantangan masa depan, perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, informasi, komunikasi dan juga seni telah memberikan warna baru terhadap pembentukan generasi muda. Kondisi ini memang sangat memprihatinkan, dan menuntut perhatian bersama, khususnya bagi bangsa Indonesia berbagai aspek kehidupan.

Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa sisi negatif yang merupakan dampak dari kemajuan teknologi dan komunikasi, seperti dari media elektronika, informatika, dan media cetak, telah membuat kehidupan generasi muda menjadi kasus yang sering dipermasalahkan dan banyak mengundang perhatian, misalnya pemerkosaan, penggunaan obat-obat terlarang, serta hal-hal yang bertentangan dengan tatanan kehidupan yang sifatnya negatif. Dari kehadiran kemajuan ilmu dan teknologi itu cukup banyak membuat generasi muda berhasil untuk meniti jejak karir dan mampu memberikan yang terbaik untuk masyarakat, bangsa, dan agamanya. Namun kita menyadari karena banyak sekali produk-produk tersebut berasal dari Barat, maka pengaruh budaya mereka menjadi lebih dominan dan hampir dapat dikatakan merusak budaya secara Islam.

Harapan kita sesungguhnya generasi muda dapat mengambil yang baik-baik dan meniggalkan yang buruknya. Namun tidak menutup kemungkinan hal sebaliknya, seperti lebih banyak generasi muda yang tertarik dengan gaya serta cara yang kurang baik. Maka itu perlu dibatasi apa yang dilihatnya atau dibacanya yang bernada kekejaman atau pun kekerasan, apalagi tontonan atau bacaan itu disebarkan diseluruh wilayah, tak perduli di kota mau pun di desa-desa, karenanya hampir seluruh remaja banyak yang terpengaruh dan terbawa.

Didalam kehidupan sekarang ini, baik di kota maupun di desa banyak kita jumpai berbagai permasalahan yang dilakukan oleh generasi muda. Permasalahan ini timbul dikarenakan kurangnya nilai-nilai agama di kalangan kehidupan generasi muda, sehingga seringkali meresahkan lingkungan masyarakat sekitarnya. Generasi muda sekarang ini telah merosot moralnya, sehingga mereka seringkali melakukan perbuatan yang dapat mengganggu ketenangan masyarakat.

Gejala-gejala semacam ini mulai timbul akibat dari perubahan arus informasi dan arus globalisasi budaya yang datangnya dari luar yang diserap oleh generasi muda melalui berbagai media massa. Sebaliknya generasi muda ini belum punya filter untuk menangkal kedua arus tersebut, sehingga budaya-budaya yang menyesatkan mudah mempengaruhi jalan hidup mereka.

Pengembangan sumber daya manusia merupakan bagian dari ajaran Islam yang dari semula telah mengarahkan manusia untuk berupaya meningkatkan kualitas hidupnya yang dimulai dari perkembangan budaya kecerdasan. Ini berarti bahwa titik tolaknya adalah pendidikan yang akan mempersiapkan manusia menjadi makhluk individual yang bertanggungjawab dan makhluk sosial yang mempunyai rasa kebersamaan dalam mewujudkan kehidupan yang damai, tentram, tertib, maju dan kasih sayang lahir dan batin yang dapat dinikmati bersama secara merata dalam kehidupan ini.(PENDIDIKAN AKHLAK GENERASI MUDA. Oleh: Zainudin. STAIN Tulungagung. Ta’allum, Volume 01, Nomor 1, Juni 2013. Hlm, 92-94).

Dinamika Kaum Muda

Seiring dengan pertumbuhan anak dan perkembangan zaman, banyak remaja muslim sekarang yang akhlaq dan perilakunya menyalahi aturan agama Islam. Mereka banyak yang tidak memikirkan apakah dampak yang ia lakukan akan menimbulkan banyak kebaikan atau madharatnya. Di era globalisasi ini, dunia dipenuhi dengan berbagai macam teknologi yang canggih. Mulai dari teknologi yang menguntungkan sampai teknologi yang dapat menjerumuskan generasi muda ke dalam jurang kehinaan.

Disini salah satu contoh teknologi yang menjerumuskan generasi muda ke dalam jurang kehinaan adalah media sosial atau internet. Internet adalah salah satu faktor terbesar yang menyebabkan remaja muslim masuk ke jurang kehinaan. Remaja banyak yang mulai memiliki rasa ingin tahu yang berlebihan terhadap suatu hal yang baru. Dari media sosial pun banyak dari remaja yang mulai mengenal lawan jenis. Mulai dari berkenalan, hingga berpacaran. Apabila kita amati, di media sosial banyak remaja mem-posting foto-foto yang menampakkan auratnya sehingga mencuri pandangan dari lawan jenis. Hal tersebut banyak menimbulkan kerugian terhadap mental remaja. Banyak dari remaja yang ingin meniru hal tersebut atau bahkan yang dulunya berhijab sekarang memaparkan auratnya demi mengikuti trend remaja sekarang.

Adapun kelemahan etika pergaulan remaja saat ini dipicu oleh beberapa faktor diantaranya: kurangnya perhatian atau pengawasan orangtua, keluarga yang kurang teratur sehingga tidak memperdulikan anak-anakya, pergaulan bebas karena kurang kasih sayang orangtua, kurangnya pengetahuan agama. Dampak lain dari faktor tersebut diantaranya sikap remaja yang mulai tidak peduli dengan hal sekecil apapun dan tidak sopan terhadap hal-hal sepele contohnya tidak memberi salam atau kurang hormat terhadap orangtua, guru ataupun orang lain. Oleh karena itu perlu adanya pembatasan diri diawali dengan diri sendiri agar tidak terjerumus ke hal yang merugikan.

Berkali kali diungkapkan bahwa penyebab utama kerusakan moral para remaja adalah masalah-masalah pengangguran, pergaulan bebas, kerapuhan kepribadian, dan mental yang tak mampu memikul tanggung jawab. Ada yang menyebutkan pula tidak ada control dari pihak orang tua. Akibat dari semua ini mengakibatkan sering terjadi pertikaian, keributan, keonaran, dan pelanggaran-pelanggaran di berbagai tempat. Di kantor, di sekolah, di jalan, di gang-gang, para remaja tersebut sering bikin keributan.(PEMUDA DALAM AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH: PEMUDA ISLAM YANG BERKUALITAS TIDAK LEPAS DARI PENDIDIKAN ORANG TUA YANG TOTALITAS. Oleh: Misbahul Wani. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. AL-DZIKRA. Jurnal Studi Ilmu Al-Qur’an Dan Al-Hadits. Volume 13, No. 1, Juni Tahun 2019. Hlm, 72-73).

Kaum Muda Era Soeharto dan Pasca Reformasi

Kaum muda senantiasa memberikan warna tersendiri bagi kemajuan sebuah bangsa. Mereka memiliki peran yang sangat strategis terhadap setiap peristiwa yang terjadi. Sepak terjang kaum muda masa kini tidak bisa dilepaskan dari peran generasi sebelumnya. Dalam kosakata bahasa Indonesia, pemuda atau kaum muda dikenal memiliki beragam terminologi. Istilah young human resources (Hasibuan, 2008, hal. 7) seringkali digunakan untuk menggambarkan fungsi pemuda sebagai sumber pembangunan. Mereka ditempatkan sebagai generasi yang masih memiliki idealisme yang cukup baik dan bisa memberdayakan segala potensi yang dimiliki untuk kemajuan bangsa. Kaum muda sebagai objek pemberdayaan masih memerlukan dukungan untuk menumbuhkan potensi dan kemampuan yang lebih efektif supaya dapat bersikap lebih dewasa dan mandiri dalam mengatasi segala problematika yang menghadang.

WHO (World Health Organization) mendefinisikan pemuda adalah manusia yang berusia antara 10 hingga 24 tahun. Sedangkan Ensiklopedi Americana mengartikan pemuda sebagai masa transisi anak-anak ke dewasa yang disebut sebagai adolescence (mereka yang berusia 12-13 tahun hingga 21 -22 tahun). Di lain pihak, ada pula yang melihat batasan pemuda dikategorikan dengan melihat jenjang pendidikan mulai dari Sekolah Menengah Pertama hingga Perguruan Tinggi sampai pada tahap ia mulai bekerja (Hasibuan, 2008). Kajian mengenai kaum muda yang direpresentasikan mahasiswa telah memberikan warna tersendiri, para ilmuwan tertarik membahas mengenai pergerakan kaum muda Indonesia. Mereka telah melihat kiprah kaum muda Indonesia memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan suatu bangsa. Para ilmuwan tersebut seperti karya Takashi Shiraisi (1990) yang menulis An Age in Motion; Popular Radicalism in Java 1912-1926. Ben Anderson (1972) dengan karyanya Java in a Time of Revolution, Occupation and Resistence, 1944-1946 dan terakhir George Mc. T Kahin (2003) yang berjudul Nationalism and Revolution in Indonesia.

Tahun 1908 menjadi tonggak pergerakan nasional dengan terbentuknya Budi Utomo di Batavia (Nordholt, 2008, hal. 99). Organisasi tersebut melatarbelakangi lahirnya organisasi lain seperti Sarekat Islam, Indishe Partij, Perhimpunan Indonesia, Partai Nasional Indonesia, Perhimpunan Bangsa Indonesia, Partai Indonesia Raya (Parindra), Gabungan Politik Indonesia (GAPI). Selain organisasi yang bercorak politik, berkembang pula organisasi massa nonpolitik yang bergerak di bidang sosial, pendidikan, dan budaya. Organisasi massa ini ada yang bercorak agama, nasional dan daerah. Di sisi lain, para peneliti berbeda pendapat dalam melihat pergerakan organisasi di Indonesia. Seperti yang disampaikan Rambe (2008), bahwa Syarikat Islam organisasi pelopor gerakan nasionalis Indonesia sedangkan Budi Utomo masih bersifat "Java Sentris".

Cikal bakal didirikannya Budi Utomo berawal dari keinginan dr. Wahidin Sudirohusodo mendirikan yayasan beasiswa (studiesfonds). Ide awal yayasan ini adalah untuk memajukan pengajaran dan pendidikan para pemuda Indonesia agar dapat melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Keinginan dr. Wahidin tersebut disampaikan kepada mahasiswa STOVIA (sekolah dokter pribumi) di Jakarta, sehingga didirikanlah organisasi Budi Utomo sebagai ketua Sutomo. Para anggota yang direkrut waktu itu masih terbatas di daerah Jawa dan Madura. Pada kongres yang dilaksanakan pada 5 Oktober 1908, Budi Utomo semakin memantapkan tujuannya dalam bidang pendidikan dan pengajaran, ilmu pengetahuan, sosial dan seni budaya. Sehingga organisasi ini belum terjun dalam bidang politik. Kongres tersebut memilih Raden Tumenggung Tirtokusumo sebagai ketua, ia merupakan Bupati Karanganyar, Jawa Tengah. Sebenarnya dari kongres pertama inilah terlihat mulai tersingkirnya peran mahasiswa (Ilyas, 2004).

Era setelah perang Dunia II berakhir, dengan diserangnya Nagasaki dan Hiroshima oleh Sekutu mengakibatkan Jepang kehilangan arah. Hal ini mengakibatkan terjadinya tidak adanya kekuasaan (vacuum of power) sehingga para pemuda menuntut Soekarno dan Hatta untuk segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 17 Agustus 1945 diperingati sebagai hari kemerdekaan Indonesia, yang oleh Ben Anderson disebut sebagai revolusi pemuda (Anderson, 1972, hal. 34). Pada masa Soekarno berkuasa, para pemuda melihat kesewenang-wenangan, pemerintah cenderung melakukan keditaktoran absolut, dan mengabaikan kepentingan rakyat. Maka pemuda kembali bergerak untuk menyuarakan keadilan, mereka turun ke jalan membantu rakyat yang sedang ditindas. Hal ini yang melatarbelakangi Orde Baru berkuasa, mengambil alih kekuasaan Soekarno (Maxwell, 2005, hal. 152-223). Di jaman peralihan itu, Indonesia diliputi kecemasan luar biasa. Keadaan politik, ekonomi tidak menentu dikarenakan era Soekarno lebih mengakomodir nasionalis dan komunis (Stanley & Santoso, 2005, hal. 115-120). Pergantian kekuasaan era Soekarno ke Soeharto penuh dengan pergolakan, pada tahun 1966 para pemuda melihat kesempatan yang bagus dengan "menjatuhkan" rezim Orde Lama yang tidak lagi aspiratif terhadap rakyat. Para pemuda bergerak dengan mengatasnamakan rakyat, mayoritas dari mereka adalah mahasiswa yang melihat masa depan Indonesia akan lebih baik lagi jika negara dipimpin oleh penguasa yang pro dengan rakyat. Frustasi yang dirasakan oleh pemuda di masa akhir Orde Lama akhirnya terbayarkan dengan pergantian kekuasaan yang dipimpin Seoharto, sehingga dalam hal ini terjadi cultural conflict (Budiman, 2006, hal. 254-257) secara intens. Di berbagai wilayah mengalami euforia pergantian kekuasaan, selain ibukota Jakarta, Bandung dan Yogyakarta bahkan kota-kota lainnya terjadi hal yang sama.

Saat Soeharto berkuasa terjadi perubahan elite-sosial yang didominasi oleh kalangan kaum mahasiswa. Bahwa didapatkan fakta ketika Orde Baru berkuasa, militer berubah menjadi otoriterianisme dan depolitisasi partai politik dijadikan sebagai cara melanggengkan kekuasaan. Pada era 1970-an hingga 1980-an, kelas sosial masyarakat Indonesia mengalami kenaikan jumlah yang signifikan, yang oleh pengamat diistilahkan sebagai kelas atau golongan menengah dan civil society (Mahyudin & Alfan, 2009, hal. 31-33). Adopsi dikotomi kelas yang terjadi di era Orde Baru sesungguhnya sudah diawali dengan sintesa yang sudah dibuat oleh Geertz (1976), yang menyajikan tipikal muslim yang ada di pulau Jawa dengan sebutan santri, abangan, dan priyayi. Menurut analisa Emmerson (2015) menyebutkan dialektika politik yang terjadi di era Orde Baru merupakan hasil pergulatan politik kultural yang dilatarbelakangi dari tradisi kolonial yang memanfaatkan elite untuk mengisi jabatan-jabatan birokrasi.

Pengagungan stabilitas politik dan keamanan senantiasa digulirkan oleh Orde Baru (Dhakidae & Hadiz, 2006, hal. 45), di mana era ini menumbuhkan aspirasi bagi kalangan tertentu terutama kalangan menengah, yang kaum muda menjadi salah satu bagiannya. Sistem multipartai memberikan pengaruh pada perilaku elite, di mana masyarakat dibuat tidak aware terhadap dinamika demokrasi di Indonesia. Seiring reformasi bergulir, berbagai ragam pemikiran dimunculkan untuk menghantam otoriterianisme Orde Baru.

Tumbangnya Orde Baru pada tahun 1998 sudah dapat dilihat dua puluh tahun ke belakang yaitu pada pertengahan tahun 1980-an mahasiswa sudah melihat "ketidakberesan" Soeharto dalam mengemban amanah rakyat. Namun karena dukungan militer yang kuat, niat mahasiswa untuk melengserkan Soeharto tidak terlaksana. Mahasiswa menggulirkan reformasi pada tahun 1998 dengan alasan adanya kepentingan pribadi dan keluarga yang tidak dapat dibedakan serta krisis moneter yang menyebabkan jatuhnya nilai rupiah terhadap dolar sehingga mengakibatkan stabilitas ekonomi dan politik tidak stabil (Suparman, 2012, hal. 98-102).

Gerakan mahasiswa yang terjadi sebelum era 1998, mengilhami para ilmuwan sosial membuat berbagai pandangan mengenai pergerakan modern mahasiswa. Di satu sisi pergerakan mahasiswa dilihat sebagai konsensus radikalisme mahasiswa sebagai aktifis, sehingga seringkali dikaitkan dengan wacana moral dan idealisme, keberanian mengambil resiko dan ketajaman intelektual. Di sisi lain pergerakan mahasiswa dapat dilihat sebagai suatu fragmentasi dan inkonsistensi, di mana mereka tidak memiliki dukungan dan akses kebijakan, dan terisolasi dalam minoritas elit masyarakat Indonesia. Hal ini dirasakan oleh mahasiswa sebagai diskursus mengenai anak muda pasca 1998 ketika reformasi bergulir.

Diskursus anak muda (mahasiswa) memberikan kekuatan yang tidak pernah habis untuk dibahas. Kekuatan mahasiswa yang senantiasa secara simbolik-empirik dibentuk melalui "heroisme" yang bernegoisasi dengan perubahan politik di Indonesia semenjak Orde Baru berkuasa berakibat pada meluasnya jaringan yang didukung oleh media yang terkadang berpihak pada mahasiswa. Oleh karena itu, mahasiswa diposisikan sebagai guardian angel untuk melawan rezim yang otoriter.

Menjadi problem ketika mahasiswa dihadapkan pada legitimasi untuk mendukung rezim tertentu, otoriterisasi yang mulai berganti dengan otoriterisasi lain memberikan peluang untuk saling membenturkan kekuatan mahasiswa dengan kekuatan yang mendukung rezim yang sedang berkuasa. Tentu saja sejarah tidak akan berulang, bahwa ketika opini masyarakat digiring dalam tradisi naratif yang menyesuaikan jaman, seperti yang dikemukakan Heryanto (1996) dampak dari gerakan mahasiswa selalu memberikan narasi wacana yang dapat diadopsi ke dalam struktur masyarakat.

Narasi perjuangan (heroisme) yang pernah terjadi di masa lampau selalu mudah diingat masyarakat, sehingga dapat menjadi model bagi siapapun yang mendengarnya. Hal tersebut bersifat empirik karena situasi yang terjadi di masa lampau memberikan pola yang berelasi di era kekinian. Era reformasi sebagai tanda turunnya rezim yang tiga puluh dua tahun berkuasa, dilihat sebagai sebuah perlawanan bagi mahasiswa. Setelah reformasi bergulir, terjadi fenomena yang melanda tidak hanya Indonesia melainkan seluruh dunia. Terkikisnya kharisma Orde Baru memberikan peluang pada rezim setelahnya untuk membentuk jaringan yang lebih kuat, disadari atau tidak hal ini berakibat pada meluasnya legitimizing identities pada struktur ekonomi, politik dan teknologi informasi.

Modal kekuasan yang diusung rezim Orde Baru terkonsentrasi pada kooptasi presiden dan militer, sehingga menjadi rezim tunggal (pengontrol) bagi masyarakat. Upaya-upaya depolitisasi agama yang terjadi di masa awal rezim Soeharto berkuasa memberikan trauma yang luar bisa pada sebagian masyarakat, mahasiswa dijauhkan dari keterlibatan sosial serta pemaksaan regulasi yang cukup keras turut menjatuhkan moral struktur masyarakat karena digiring untuk mendukung rezim yang berkuasa. Namun, setelah reformasi dengan semakin melemahnya peran militer, hak-hak sipil semakin diakomodir di saat yang sama negara mengalami perubahan aturan politik, ekonomi yang mendorong ketidakstabilan regional dalam negeri.(Semangat dan Militansi Keislaman Kaum Muda di Ruang Publik. Oleh: Lukis Alam, dan Aminah Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta. Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan Volume 5 Nomor 2 2017. Hlm, 266-270).

Karakteristik Generasi Muda

Karakteristik diartikan sebagai ciri-ciri khusus. Ciri atau indikator berfungsi untuk menjelaskan secara detil tentang makna sesuatu. Sebagaimana telah kita pahami bahwa generasi muda adalah angkatan kaum muda yang hidup dalam masa tertentu, artinya generasi muda itu sangat luas cakupan maknanya dan tentu memiliki karakteristik tertentu yang perlu dijelaskan agar kita bener-benar memahami siapa generasi muda sesungguhnya. Generasi muda mempunyai karakteristik yang meliputi banyak hal, yaitu pada masa remaja generasi muda akan mengalami perkembangan fisik dan kejiwaan menuju kedewasaan seperti perkembangan tubuh, pemikiran, dan emosional. Pada karakter ini generasi muda perlu berhati-hati dalam menyikapi masa perubahan yang terjadi agar mereka dapat berkembang secara wajar dan terarah sesuai dengan tujuannya. Di samping itu generasi muda di masa dewasanya memiliki beban psikologis dan tanggung jawab dalam segala perilaku dan perbuatan mereka. Generasi muda akan selalu berusaha mandiri dalam mengatasi semua kebutuhan hidupnya.

Melihat karakteristik generasi muda di atas, secara psikologis beban yang diemban generasi muda tidak lain untuk memberdayakan potensi diri mereka dan masyarakat, walaupun usaha itu dalam pelaksanaannya belum berhasil, ciri-ciri yang demikian harus melekat dalam diri generasi muda, mereka harus mampu mengenal dan memahami hakikat dan kedudukan generasi muda sebagai wujud dari mengenal diri dan peran-perannya dalam kehidupan keluarga, bermasyarakat, dan beragama.

Pada karakteristik psikologis ini sesungguhnya generasi muda perlu memahami bahwa kematangan pikiran, pola sikap, dan tindakan semata-mata dikembangkan kemaslahatan ummat, yaitu suatu tugas yang diwajibkan oleh agama, sebagai pengabdian diri kepada Allah, dengan i’tiqad pengabdian yang telah dijelaskan dalam firman-Nya dalam surat Adz-Dzariyat ayat 56, yang artinya: “Tidak aku (Allah) ciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka mengabdi kepadaKu”. Dari ayat di atas juga dapat disimpulkan, bahwa generasi muda yang tergolong kelompok manusia yang beriman diharapkan memiliki ciri mutlak yang ditentukan oleh Allah, yaitu memiliki naluri sebagai hamba (pengabdi) kepada Allah dan mampu menjalankan perintah-perintah-Nya dalam kehidupan pribadinya, keluarga, masyarakat, negara, dan agama.

Perilaku Generasi Muda yang Menghancurkan Bangsa

a. Lemah iman dan kurangnya pemahaman ilmu agama (tidak semangat menjalani hidup dan menjalankan nilai mulia agama)

b. Mengonsumsi MIRAS, NAZA dan Berjudi

c. Perbuatan Pornografi, Pornoaksi & Seksual Menyimpang

d. Terlalu terlena dan berlebihan bermain internet, game online dan sebagainya 

Gaya hidup manusia modern yang cenderung ikut-ikutan, serba mewah sebagaimana disaksikan dikota-kota besar, bagi yang tidak kuat iman, tidak lepas dari mengkonsumsi MIRAS, mabu-mabukan, penyalahgunaan Naza (NARKOBA), pergaulan bebas, perilaku seks yang menyimpang dan lain-lain. Hal ini mengakibatkan kesengsaraan dan kehancuran. Perilaku tersebut pada umumnya dilakukan oleh para generasi muda.

Mengonsumsi MIRAS dan sejenisnya seperti NAZA, atau NARKOBA, berbuat zinah, perilaku seks yang menyimpang dan lain-lain yang serupa dengan itu, adalah dilarang oleh Allah dan Rasulnya, bahkan harus patuh terhadap larangan-larangannya itu tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Sunnah. Semua larangan Allah dan Rasulnya wajib ditinggalkan, karena semuanya itu pasti ada mudharatnya bagi orang yang melanggarnya, bahkan bagi masyarakat dimana dia berada. Jika demikian halnya, maka dapat pula membahayakan, bahkan menghancurkan bangsa, karena dapat mengancam ketertiban, ketentraman dan keamanan bangsa itu. 

Muslim Millennial

Era modern hadir generasi millenial (millennial generation) yang dikenal dengan sebutan generasi Y atau generation me atau echo boomers. Secara demografi, kelompok generasi ini tidak ada yang membedakan secara dratis, tetapi mereka memiliki karakteristik yang khusus dan dikelompokkan ke dalam generasi Y yang lahir pada 1980 -1990 atau awal 2000 dan seterusnya.

Berdasarkan Infografis Pusat Data Media Republika, ada sekitar delapan puluh juta kaum millennialis yang lahir pada 1976–2001 yang mengalihkan perhatiannya pada PC, smartphone, tablet, dan televisi. Generasi millennial memiliki ketertarikan kepada pekerjaan yang bermakna daripada sekadar bayaran besar, menghabiskan delapan belas jam perhari untuk melihat tontonan, bermain gim atau televisi konvensional, terikat dengan media dan internet, dan terbuka atas ide-ide orang lain. Di samping itu, ada karakter negatif yang perlu diwaspadai dimana generasi millennial lemah solidaritas sosialnya pada lingkungan sosial, gaya hidup bebas, individualistik, elitis, dan kurang bijak menggunakan media.

Sesuai dengan deskripsi Neil Howe dan William Strauss, generasi milenial adalah generasi yang lahir pada 1982 hingga dua puluh tahun berikutnya yang memiliki karakteristik, yakni Pertama, generasi yang memiliki budaya native digital, berkembang dalam budaya digital dan teknologi informasi. Kedua, generasi yang belajar lebih dominan menggunakan PowerPoint daripada buku-buku tebal dan merasa terbebani 2018. “Membaca Kecenderungan Pemikiran Islam Generasi Milenial Indonesia.” Syamsuhadi Irsyad. 2018. “Mendidik Muslim Millenial Berkemajuan.” umm.ac.id. 2018. Jika baca buku tebal. Jika mereka membaca buku tebal, umumnya yang membaca buku-buku novel, dan menghindari berpikir rumit dan panjang, lebih memilih kata-kata atau kutipan bijak yang memberikan motivasi dan dorongan moril. Ketiga, generasi milenial memiliki tipologi yang menampakkan diri sibuk walaupun belum tau apa yang menjadi kesibukannya, dan kalau mereka kerja, mobilitas kerjanya tinggi dari satu satu tempat ke tempat lain. Keempat, generasi milenial umumnya lebih banyak mengerjakan tugas-tugas dalam satu waktu (multitasking) walaupun pemahamannya kurang mendalam. Mereka terhubung dengan dunia luar serta memiliki budaya pragmatis.(Geneologi Islamisme di Kalangan Muslim Millenial Indonesia. Oleh: Moh Dahlan. Institut Agama Islam Negeri Bengkulu. El-Afkar Vol. 9 Nomor 1, Januari-Juni 2020. Hlm, 5-6).

Ciri Pemuda yang Diperlukan Menurut Hassan Al-Banna 

Menurut Imam Hassan Al-Banna dalam risalahnya Wahai Pemuda, perlu ada golongan yang boleh menjadi teras bagi pembangunan umat (core group).

Kata Imam Hassan Al-Banna “Sesungguhnya sesuatu fikrah itu hanya boleh berjaya bila mana terdapat pengikut-pengikut yang yakin penuh dengan ajarannya, yang benar-benar ikhlas dalam usaha menegakkannya, yang mempunyai semangat yang berkobar untuk mempertahankan kewujudannya, dan disamping itu ada kesediaan yang mendorong mereka ke arah berkorban serta terus bertindak menjayakannya. Keempat-empat rukun tersebut; keyakinan, kejujuran, semangat dan tindakan adalah merupakan ciri-ciri utama pemuda”.

Jadi inilah empat ciri yang perlu ada pada diri kita, para pemuda untuk menjayakan semula Islam.

Yang pertama adalah keyakinan pada kebenaran Islam, yakin bahwa Islam dapat memberikan penyelesaian terhadap masalah-masalah manusia. Jika umat Islam sendiri tidak yakin akan kebenaran Islam, tidak yakin akan kemampuan Islam, siapakah lagi yang boleh kita harap untuk membangunkan umat yang sedang dilanda kelemahan dan perpecahan pada hari ini? Oleh itu pemudalah yang harus mempersiapkan diri dalam menjadi barisan hadapan memperbaiki umat.

Ciri yang kedua adalah kejujuran dan keikhlasan. Hal ini yang membedakan pemuda Islam dengan pemuda-pemuda gerakan lain. Pemuda Islam seharusnya ikhlas berjuang tanpa dipesongkan matlamat perjuangan untuk meraih perkara-perkara lain. Gerakan lain mungkin matlamatnya terbatas kepada objektif material dan dunia, sedangkan gerakan Islam perlu mempunyai matlamat yang lebih besar dan suci. Sekiranya ini tidak ada, sekiranya masing-masing mempunyai niat-niat pribadi dalam perjuangan, barisan perjuangan akan mudah rapuh, mudah dipecahkan musuh dan tidak bernafas panjang. 

Yang ketiga, Selepas adanya niat yang ikhlas, pemuda harus mempunyai semangat yang tinggi. Semangat dan ketekalan ini merupakan bahan penting untuk mencapai kejayaan. Angela Duckworth, seorang ahli psikologi moden dalam kajiannya mendapati, keteladanan dan semangat itu lebih penting dari bakat dalam melahirkan sebuah kejayaan.

Oleh itu, pemuda Islam perlu mempunyai semangat, kecelakaan, dan ketekalan dalam memperjuangkan Islam. Perlu bersifat tahan lasak dan tidak mudah berputus asa. Perlu berani bangun semula setiap kali jatuh dari kegagalan. Semangat dan sifat tidak berputus asa ini akan membantu umat untuk bangkit semula dari keadaannya hari ini. Tiada perjuangan tanpa pengorbanan. Maka ini adalah ciri pemuda yang keempat yang digariskan oleh Imam Hassan Al-Banna.

Perjuangan menuntut dari kita masa, tenaga, dan harta. Jika pemuda-pemuda Islam tidak mampu mengorbankan semua ini, tinggallah perjuangan itu sebagai retorik-retorik kosong, hanya slogan yang tidak mempunyai apa-apa nilai. Apa yang kita yakini perlu diperjuangkan dengan amal dan tindakan.

Yang keempat, Seorang pemuda itu tidak boleh berdiam diri saat bangsanya dan umatnya berada dalam kelemahan. Sebaliknya dia akan mengetengahkan dirinya, dia akan memberikan dirinya untuk bekerja, bukan menunggu-nunggu orang lain untuk bekerja untuknya. Jika semua pemuda-pemuda Islam mempunyai sifat proaktif ini, senantiasa mau ke hadapan mengisi kekosongan barisan Islam, kita akan melihat umat ini dapat bangkit semula dari kelemahan-kelemahannya.(Pemuda & Islam Hari Ini. Oleh: Syed Ahmad Fathi bin Syed mohd Khair. Hlm, 2-3).

Peran Pemuda

Pemuda adalah aset suatu bangsa maupun Agama. Pemuda merupakan aset yang sangat mahal dan terpenting dalam kehidupan, selain memiliki kemampuan berpikir secara kritis dan progresif pemuda menjadi harapan masa depan. Peran pemuda dalam setiap episode sejarah kehidupan suatu bangsa telah terbukti nyata. Sejarah telah mencatat dengan tinta emasnya, bahwa peran pemuda sangat penting dalam proses perubahan suatu bangsa. Bukan hanya sejarah bangsa modern saja, namun bangsa-bangsa atau kaum terdahulu pun tidak terlepas dari kontribusi pemuda di dalamnya.

Yusuf Al-Qardhawi seorang ulama besar Mesir kontemporer berkata, "Apabila ingin melihat suatu negara di masa depan, maka lihatlah pemudanya hari ini". Hal ini menunjukkan bahwa generasi muda memiliki peranan besar dan penting bagi suatu bangsa. Terlebih di masa yang akan datang, kenapa? Karena generasi mudalah yang akan meneruskan estafet kepemimpinan di masa yang akan datang untuk menggantikan para pemimpin yang sekarang.

Dampak Positif Peran Pemuda

Berbicara dampak berarti kita berbicara konsekuensi atau akibat dari suatu sebab. Masa depan adalah akibat, maka ciptakanlah sebab yang baik. Jika di kontekstualisasikan dalam kehidupan pemuda sebagai agent of change in a relegiont and a state, maka yang perlu diperhatikan adalah bagaimana perkembangan dan pola kehidupan pemudanya. Karena pola kehidupan akan mempengaruhi sebuah kehidupan pribadi maupun social, lebih-lebih pada kehidupan pribadi-agama (man and relegion) maupun pribadi-negara (man and state).

Sebagai garis pembatas, sikap yang harus dilakukan oleh kaum muslimin terutama kaum muda,

Pertama, Islam, secara individu, menganjurkan kepada kita menangkal segala informasi atau data yang masih perlu dipertanyakan dengan bekal keimanan dan ketakwaan yang tangguh (klarifikasi). Yakni, dengan membentuk individu muslim dengan kepribadian yang islami semaksimal mungkin; misalnya, dengan mengadakan ruang dialektik atau pengajian secara intensif, yang akan mempengaruhi cara berfikir dan bersikap seseorang terhadap realitas kehidupan. Pemahaman Islam yang demikian harus benar-benar tertancap dalam benak generasi muslim atau kaum muda, agar mereka memiliki benteng yang kuat, untuk menyaring segala informasi yang diterimanya. Dengan cara ini, mereka akan mampu memilah dan memilih segala informasi.

Kedua, kehidupan pemuda tidak bisa lepas dari kehidupan masyarakat, tentu harus ada upaya yang harus dilakukan agar membawa kemaslahatan pada lingkungan, yaitu amar ma’ruf nahi munkar. Sikap tegas dan frontal diperlukan jika terjadi ada ketidakseimbangan yang terjadi dalam masyarakat. Pemuda harus memasang sikap dengan sigap mentutas habis informasi-informasi miring terkait isu yang menjelek-jelekkan Islam. Seperti yang sangat marak di media-media elektronik saat ini. Karena masyarakat hanya sebatas mengkonsumsi saja, maka perlu adanya peringatan dan kepedulian terkait informasi miring yang akan merusak ideologi bahkan keimanan masyarakat terhadap agamanya sendiri.

Ketiga, persatuan dan kesatuan kaum muslimin. Berbagai usaha kita akan sulit terwujudkan secara sempurna kalau tidak didukung oleh kekuasaan dan kekuatan yang besar. Jaringan komunikasi yang terorganisasi secara rapi, dan lobi-lobi politik Yahudi, tidak mungkin kita hadapi secara individu. Karena itu, kita sangat memerlukan adanya persatuan dan kesatuan kaum muslimin seluruh dunia. Itulah upaya ketiga yang mesti kita lakukan untuk menghapuskan media Barat tehadap dunia Muslim. Persatuan umat Muslim seluruh dunia dalam rangka menyelesaikan permasalahan-permasalahan tidak mungkin terealisasi tanpa suatu institusi.(PEMUDA DALAM AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH: PEMUDA ISLAM YANG BERKUALITAS TIDAK LEPAS DARI PENDIDIKAN ORANG TUA YANG TOTALITAS. Oleh: Misbahul Wani. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. AL-DZIKRA. Jurnal Studi Ilmu Al-Qur’an Dan Al-Hadits. Volume 13, No. 1, Juni Tahun 2019. Hlm, 80).

Kesimpulan 

Pemuda adalah titipan Tuhan kepada suatu bangsa dan agama. Karena pemuda yang akan melanjutkan segala tanggung jawab selanjutnya dimuka bumi terutama bumi Indonesia saat ini. Oleh sebab itu, orang tua harus benar-benar mengarahkan pada anak-anaknya sebagai generasi selanjutnya ke jalan yang baik. Seperti yang telah di lakukan oleh Luqman yang memberikan arahan secara intelektual dan emosional pada anaknya agar teguh dan patuh serta tidak menyekutukan Allah swt.

Kaum muda muslim yang beradab yakni, kaum muda yang selalu terus menerus belajar ilmu agama dan dunia, menghidupkan budaya literasi, menggali potensi diri, meraih visi tujuan hidup, berdialog dan diskusi mengembangkan ilmu pengetahuan serta merumuskan solusi dalam beragama dan bermasyarakat. Kaum muda yang dalam setiap kegiatannya selalu berinisiatif, edukatif kreatif, dan produktif untuk kemajuan diri, teman-teman dan masyarakat serta negara.

Referensi:

Geneologi Islamisme di Kalangan Muslim Millenial Indonesia. Oleh: Moh Dahlan. Institut Agama Islam Negeri Bengkulu. El-Afkar Vol. 9 Nomor 1, Januari-Juni 2020.

PEMUDA DALAM AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH: PEMUDA ISLAM YANG BERKUALITAS TIDAK LEPAS DARI PENDIDIKAN ORANG TUA YANG TOTALITAS. Oleh: Misbahul Wani. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. AL-DZIKRA. Jurnal Studi Ilmu Al-Qur’an Dan Al-Hadits. Volume 13, No. 1, Juni Tahun 2019.

GENERASI MUDA DAN KEHANCURAN BANGSA. Oleh: Huzaemah T. Yanggo1, Guru Besar FSH UIN Jakarta dan Direktur PPS IIQ Jakarta. al-Mizan, Vol. 2, No. 1, 2018.

Semangat dan Militansi Keislaman Kaum Muda di Ruang Publik. Oleh: Lukis Alam, dan Aminah Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta. Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan Volume 5 Nomor 2 2017.

PENDIDIKAN AKHLAK GENERASI MUDA. Oleh: Zainudin. STAIN Tulungagung. Ta’allum, Volume 01, Nomor 1, Juni 2013.

Fitratul Akbar

Penulis adalah Alumni Prodi Ekonomi Syariah, Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Malang

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال