Memanusiakan Manusia

Bisa dikatakan bahwa, memanusiakan manusia adalah memperlakukan manusia atau orang lain sesuai harkat dan martabatnya yang baik atau dengan nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Karena nilai merupakan keyakinan yang membuat seseorang bertindak atas dasar pilihannya.

Dalam kenyataannya, bahwa manusia tidak hidup di dalam alam hampa. Manusia hidup sebagai manusia yang bermasyarakat, tidak mungkin tanpa kerja sama dengan orang lain. Secara lahiriah dan batiniah, maka manusia merupakan makhluk Tuhan yang paling sempurna dibanding dengan makhluk lain. Karena pada manusia, selain kehidupan, ia juga mempunyai kemampuan untuk berpikir dan berkarya.

Pikiran mempunyai kekuatan yang luar biasa bagi kehidupan manusia. Sehingga menjadikannya makhluk berderajat lebih tinggi dari pada makhluk lainnya. Pikiran menjadi energi yang dapat mengubah suasana, menaklukkan lingkungan sekitarnya, dan membuat hidup manusia lebih baik dan nyaman.

Pikiran memiliki energi yang mampu mendatangkan banyak kemudahan dalam bentuk apapun, sesuai dengan kebutuhan hidup manusia. Oleh karena itu, bisa membantu anda untuk mencapai kehidupan yang lebih tentram dan damai. Ketika pikiran sedang berfungsi, maka kesadaran akan larut dalam fungsi pikiran, dan kesadaran akan larut dengan hati. Pikiran adalah hal yang membedakan antara manusia dengan makhluk (hewan, tumbuhan, malaikat dan jin).

Dengan pikiran, manusia mampu melakukan berbagai hal yang tidak mampu dilakukan oleh makhluk lain untuk menjalankan semua aktivitas sehari-harinya. Itulah keistimewaan dan kehebatan manusia, dengan kekuatan pikiran mampu melaksanakan berbagai hal untuk keperluan hidupnya agar lebih bermutu.

Walaupun, sering kali juga banyak persoalan-persoalan dan masalah-masalah yang harus dihadapi dalam kehidupannya, yang terkadang membuat pikiran manusia menjadi buntu dan tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Inilah faktor utama yang membuat manusia menjadi stress. Allah SWT berfirman dalam surah Al-Imran [3]: 190-191:

اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَاٰيٰتٍ لِّاُولِى الْاَلْبَابِ. الَّذِيْنَ يَذْكُرُوْنَ اللّٰهَ قِيَامًا وَّقُعُوْدًا وَّعَلٰى جُنُوْبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُوْنَ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ ۚ رَبَّنَامَاخَلَقْتَ هٰذَا بَاطِلًا ۚ سُبْحٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

Artinya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.” (QS. Ali Imran (3): 190-191).

Penting dicatat bahwa, sebagian ulama membagi akal menjadi dua jenis yaitu akan insting dan akal tambahan. Akal insting adalah kemampuan dasar manusia untuk berpikir dan memahami sesuatu yang dibawa sejak lahir. Sedangkan akal tambahan adalah kemampuan berpikir dan memahami yang dibentuk oleh pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang.

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Jika dua akal ini berkumpul pada seorang hamba, maka itu merupakan anugerah besar yang diberikan oleh Allah kepada hamba yang dikehendaki-Nya, urusan hidupnya akan menjadi baik dan pasukan kebahagiaan akan mendatanginya dari segala arah.”

Tentunya, adanya pembedaan dua jenis akal di atas, tidak berarti adanya pemisah antara akal insting dengan akal tambahan. Karena akal tambahan pada dasarnya adalah akal insting yang telah berkembang seiring bertambahnya ilmu dan pengalaman yang diperoleh seseorang. Bisa dikatakan, bahwa akal tambahan melazimkan adanya akal insting yang tidak berkembang seiring berjalannya waktu.

Maka dari itu, dapatlah dipahami bahwa jika sesorang ingin akalnya berkembang dengan baik, indikatornya tergantung ilmu dan pengalaman. Otak manusia ibarat kebun, sedangkan akal ibarat bibit, ilmu dan pengalaman ibarat air dan pupuknya, buahnya adalah akhlak.

Jika akhlak seseorang itu buruk berarti ilmu dan pengalamannya tidak baik. Sebaliknya, jika akhlak seseorang itu baik berarti ilmu dan pengalamnnya baik. Penulis berkesimpulan bahwa ilmu pendidikan dan pengalaman adalah penentu arah hidup manusia di dunia dan akhirat. Oleh sebab itu, marilah kita bersama-sama mencari ilmu yang berkualitas dan bergaul dengan orang-orang yang baik, saleh dan saleha. Allah SWT telah berfirman dalam surah Al-Anbiya’:

وَلَـقَدْ كَتَبْنَا فِى الزَّبُوْرِ مِنْۢ بَعْدِ الذِّكْرِ اَنَّ الْاَرْضَ يَرِثُهَا عِبَادِيَ الصّٰلِحُوْنَ

Artinya: “Dan sungguh, telah Kami tulis di dalam Zabur setelah (tertulis) di dalam Az-Zikr (Lauh Mahfuz), bahwa bumi ini akan diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang saleh.” (QS. Al-Anbiya [21]: 105).

Ayat di atas memberikan pernyataan dengan tegas bahwa, bumi dan seisinya hanya pantas diwariskan kepada orang-orang saleh. Sebab merekalah yang dianggap mampu untuk menerima tugas dan amanat ini untuk mengelola dan merawatnya. Namun kenyataannya, sebagian besar penguasa bumi adalah orang-orang fasik dan munafiq yang suka membuat kerusakan, termasuk bumi Indonesia.

Itu artinya, jika orang fasik dan orang munafiq terus menerus mengelola bumi Indonesia, maka akan selalu terjadi kerusuhan dimana-mana. Selain itu, umat Islam akan selalu dipojokkan bahkan dipandang sebagai musuh utama dan penghalang besar terhadap program-programnya. 

Wallahu a’lam bisshawaab.

Salman Akif Faylasuf

Salman Akif Faylasuf. Alumni Ponpes Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang nyantri di Ponpes Nurul Jadid, sekaligus kader PMII Universitas Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال