Toleransi di Bulan Ramadan


Ketika menginjak bulan Ramadan kita selalu lupa tentang makna bulan Ramadan sebenarnya. Justru yang paling diingat adalah menahan lapar, amalan ibadah sehabis itu pergi ke masjid, menyiapkan taddarus entah tidak atau tidak bisa, pulang ke rumah selesai sampai menjelang magrhib. 

Padahal prinsip berpuasa bukan hanya menahan lapar dan ngelak saja, malahan kita dituntut untuk menahan hawa nafsu dari perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak disadari. Yang pada akhirnya selalu membanding-bandingkan agama lain, dengan berdalih mengkafir-kafirkan, tak peduli siapa orangnya, ataupun perbuatannya, tapi sibuk menyalahkan agama lain. 

Bahkan agamanya tidak pernah dibicarakan, hanya alasan Islam adalah agama paling benar. Secara konteks sejarahnya, memang sangat benar, namun balik lagi dengan konteks sejarah apakah agama non Islam juga berpikir hal sedemikian rupa? Bukan mereka masih menganggap Allah SWT adalah Tuhannya?

Dan dewa-dewa yang disembahnya, ataupun patung masih dianggap Tuhan? Tentu ini pemahaman dangkal salah kaprah melihat setiap agama memiliki pandangan berbeda-beda. Satu sisi, prinsip beragama adalah hak kewajiban masing-masing. Tidak semua pengikut Kristen menyalahkan Islam, masih ada orang yang masih mempercayainya dengan cara menghargai dan menghormati. 

Ada pula Yahudi yang masih dianggap musuh terbesar Islam, hanya melihat berita Palestina dijajah terus menerus, menyalahkannya. Padahal tidak semua warga Israel membelanya, justru mereka sebagian warganya merasa prihatin, tapi karena hak dan kewajibannya tidak didengar sama sekali. 

Masyarakat Israel memutuskan untuk tidak ikut campur. Masalah Israel pun sampai di piala dunia dimana Indonesia menjadi tuan rumah dan memusatkan berbagai tuan rumah, terutama di Bali. Sayangnya Gubernur Bali dan beberapa aliansi anti Israel lagi-lagi soal politik dan kemanusiaan. 

Tentu sebagai pemain sepak bola Israel merasa ditindas, dan diadu domba dengan negara lain. Sebenarnya masalah ini sudah mengakar beribu tahun yang lalu. Orang yang berani mendamaikanya tetapi sampai saat ini belum adalah KH Abdurahman Wahid atau biasa disapa Gus Dur. Ia pun diberi penghargaan oleh Israel atas gagasan, dan capainnya mempunyai pendekatan perekonomian. 

Parahnya lagi orang Eropa mayoritas Kristen ataupun Katolik masih dibanding-bandingkan oleh sekelompok orang-orang kanan (agamis) memojok-mojokkan dalam hal keimanan, dan mengkafir-kafirkannya, seolah-olah agama mereka salah kaprah dan agama Islam adalah agama paling benar. 

Sampai kapan pun berdebatan agama paling benar tidak akan pernah selesai dan berujung pembunuhan massal, dengan agama non Islam saja berperilaku seperti itu apalagi dengan orang Islam bukan? Islam yang punya banyak aliran sebanyak ini, dan tidak pernah habis regenerasinya hingga detik ini. 

Apakah kita tidak malu dengan Nabi Muhammad yang pernah menyusui orang Yahudi tua, buta mata. Dalam hatinya ia bahkan membenci kebiasaan Nabi Muhammad SAW, terus mencaci maki, tapi apa hasilnya? Nabi Muhammad meninggal, dan orang Yahudi tua masuk Islam dengan setiap harinya diasuh oleh Nabi Muhammad SAW dengan lembut. Bahkan ia menyesal selama kehidupannya, selalu membicarakan kejelekan Nabi Muhammad SAW, sampai akhirnya ia sadar atas apa yang ia perbuat. 

Sama sekali tidak ada untungnya. Khususnya di bulan Ramadan ini. Seharusnya kita diperintah menghormati, tapi seenak jidat tidak tahu diri dengan mengumbar-umbar ketakwaan berdalih Islam paling benar, dan membicarakan kita hidup berdampingan termasuk ajaran yang sia-sia. 

Boleh kita tidak setuju, asalkan dengan cara yang baik. Jangan pula gunakan nafsunya seenak mungkin, membicarakan yang tidak perlu juga termasuk dalam kategori puasa yang sia-sia, tetap sama saja. Maka disini penulis akan mengulik pemahaman dalam tentang toleransi khususnya bulan suci Ramadan. 

Toleransi Perbedaan Pendapat dalam Satu Keislaman 

Umat Islam di Indonesia sudah sangat biasa sekali melihat fenomena perbedaan pendapat dalam hal tata letak pendapat masing-masing. NU mempunyai 2 pendapat tentang peletakkan puasa Ramdan. Pertama, Rukyatul Hilal sebagai aspek ibadah. Dalam pandangan Nahdlatul Ulama, pelaksanaan rukyah hilal merupakan instrumen wajib guna memastikan kapan masuk tanggal 1 bulan kalender Hijriyah menurut ukuran syara'. 

Kedua, Rukyatul Hilal tetap dilakukan juga sebagai bentuk aspek kultural. Sebagaimana diketahui, Indonesia adalah negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia pada saat ini. Sementara kubu Muhammadiyah mempunyai dasar pada surat Ar-Rahman ayat 5 berbunyi “Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan”. 

Dan digabung dengan surat Yunus ayat 5 berbunyi “ Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan Dialah yang menetapkan tempat-tempat orbitnya, agar kamu mengetahui bilangan tahun, dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan demikian itu melainkan dengan benar. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui."

Dan kita harus mengakui hal itu, dan tak perlu diperdebatkan. Mereka punya landasan kuat untuk memahami konsep beragama. Dan tentunya tugas kita sesama umat Islam adalah saling menghargai satu sama lain dalam kemanusiaan dan keagamaan pada surat Al-Hujurat ayat 10 “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara. Karena itu, damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat”. 

Toleransi Kepada Umat Non Islam 

Sudah sewajibnya kita sebagai umat Islam untuk terus mengupayakan toleransi di berbagai non muslim, terlebih dalam hal sedekah yang sangat diharapkan dan dianjurkan di bulan Ramadan. Hal ini sudah sangat jelas beberapa hadis yang saya cari dibanyak refrensi sebagai berikut : Diriwayatkan dari Asma’ binti Abu Bakar radhiyallâhu ‘anhuma, ia berkata: ‘ Pada masa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam Ibuku datang kepadaku sementara ia masih musyrik. Aku lalu meminta fatwa kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam: ‘Ibuku datang kepadaku dan ia menginginkan suatu pemberian. Apakah Aku boleh memberinya?’ Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam pun menjawab: ‘Ya, berilah ibumu’.” ( Muttaqun ‘Alaih). 

Sangat jelas bukan kawan-kawan yang merasa Islami? Berkaca pada pada hadis diatas, adalah salah satu bentuk wujud cinta Nabi Muhammad saw kepada siapa sahabat non Islam. Nabi Muhammad SAW terus memberikan kebaikan kepada umatnya, mencotohkan, tanpa menyuruh sahabat satu pun. 

Dan sifat Nubuwah (sifat kenabian) harus kita miliki bersama, walaupun tidak sesempurna beliau, karena kapasitasnya jauh diatas kita. Dan diperkuat rasa kemanusiaan umat Islam surat Al-Mumtahanah ayat 9 dengan sesama manusia non Islam; 

“Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan siapa pun yang menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”. 

Ayat ini mengisyaratkan sesungguhnya sebagai orang bertakwa harus pula menghargai, menghormati, dan mengasihi satu sama lain. Bukan pula membenci satu sama lain. Karena Islam adalah agama Rahmatan lil ‘alamin, selalu memberi satu sama lain, dan tak lupa mendoakan. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa kita di bulan Ramadan. Amin

Ahmad Zuhdy Alkhariri

Pegiat Literasi, essais, Kontributor NU Online. Beberapa karyanya bisa dijumpai di :Islamsantun.org, Kuliah Al-Islam, Alif.id, Semilir.co., kalimahsawa.id, dan masih banyak lagi

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال