KH Ilyas Ruchyiat Ulama Besar Nahdlatul Ulama

KULIAHALISLAM.COM - KH Ilyas Ruchiyat lahir di Tasikmalaya, 31 Januari 1934. Ia merupakan Ulama terkemuka di Jawa Barat, Rais Am Syuriah PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) tahun 1992-1999. KH Ilyas Ruchiyat berasal dari keluarga ulama yang mempunyai perhatian besar terhadap pendidikan pesantren.

Sumber Gambar : Tirto

Ayahnya, KH Ruchyiat (1911-19s77) dikenal sebagai ulama yang tawaduk dan sangat gigih menentang kolonial Belanda sehingga berulang kali harus meringkuk dalam penjara. KH Ruchyiat dikaruniai 19 orang Putra, seorang diantaranya adalah Ilyas. 

Pada tahun 1930, KH Ruchyiat mendirikan pondok pesantren Cipasung yang terletak di desa Cipasung, Kecamatan Singaparna, sekitar 13 KM dari kota Tasikmalaya, Jawa Barat. 

Cikal bakal pendirian pondok pesantren ini adalah kegiatan majelis taklim. Karena adanya perkembangan yang menggembirakan dari kegiatan itu, KH Ruchyiat kemudian membangun lembaga pendidikan bagi anak-anak di desa itu. Lembaga ini dikenal sebagai Pondok Pesantren Cipasung.

Dari tahun ke tahun Pondok ini mengalami kemajuan, terlihat dari sekian bertambahnya suasana pendidikan dalam lingkungan pesantren dan semakin banyaknya santri yang belajar di sana. 

Pada tahun 1950, Pondok ini mendirikan sekolah-sekolah yang memberikan pelajaran agama Islam dan juga pengetahuan umum. Sekolah yang didirikan ialah Madrasah Tsanawiyah dan Sekolah Menengah Pertama Islam (SMPI) yang kemudian disusul dengan pendirian fakultas Tarbiyah dari perguruan tinggi Cipasung pada tahun 1969.

Kyai Haji Ilyas memperoleh pendidikan awal dari ayahnya sendiri dalam bentuk mengaji Al-qur'an. Kemudian dia belajar di pesantren Cilenga, Tasikmalaya. Setelah menyelesaikan pendidikan di pesantren ini pada tahun 1951 Kyai Haji Ilyas kembali mengabdikan ilmunya di pesantren ayahnya. 

Sepeninggalan KH Ruchiyat pada tanggal 28 November 1977 urusan pengasuh pondok pesantren Cipasung diserahkan kepadanya. Kyai Haji Ilyas sebelumnya saling mendampingi ayahnya mengelola kegiatan pondok.

Selama belajar dalam kepemimpinan Kyai Haji Ilyas, Nama pondok pesantren Cipasung kian melambung. Pada tahun 1994 di pondok ini terdapat sekitar 6.000 orang santri dari seluruh pelosok nusantara serta 300 orang guru. Prestasi penting yang dicapai KH Ilyas selama 17 tahun masa kepemimpinannya di pondok ini antara lain sebagai berikut.

Pertama, pada tahun 1982 membentuk Biro Pengembangan dan Pengabdian Masyarakat (BP2M). Biro ini merupakan forum komunikasi, konsultasi dan kerjasama dalam realisasikan model pembangunan desa terpadu yang pengembangannya di titik beratkan pada pengembangan sumber daya manusia. 

Melalui biro ini, pondok pesantren bekerjasama dengan masyarakat setempat membangun masyarakat melalui berbagai kegiatan sosial, seperti pembinaan anak yatim piatu dan anak putus sekolah serta pendidikan latihan keterampilan.

Kedua, pada tahun 1983 mendirikan fakultas Syariah untuk melengkapi fakultas yang telah ada itu fakultas Tarbiyah. Ketiga, pada tahum 1983, ia membentuk Koperasi Pondok Pesantren Cipasung kegiatan ekonomi bagi warga pondok dan sekitarnya. 

Keempat, pada tahun 1987 mendirikan fakultas Ushuluddin sehingga tercatat ada tiga fakultas dalam lingkungan perguruan tinggi Cipasung yang sejak tahun 1992 berganti nama menjadi Institut Agama Islam Cipasung (IAIC). 

Kelima, pada tahun 1992 mendirikan madrasah aliyah untuk melengkapi Sekolah Menengah Atas Islam (SMAI) yang telah ada. Selain karena berbagai kemajuan yang dirahinya, nambah pondok pesantren Cipasung menjadi semakin terkenal karena terpilihnya Pondok ini menjadi lokasi Muktamar NU ke-29 pada tanggal 1-5 Desember 1994.

Selain mengurus pondok pesantren Cipasung, KH Ilyas juga aktif dalam organisasi Nahdlatul Ulama. Sejak kecil KH Ilyas sudah aktif di Lingkungan organisasi ini. Pada tahun 1954, ia dipilih menjadi Ketua Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) cabang Tasikmalaya. 

Setelah dewasa dia antara lain pernah terpilih sebagai wakil Rais Syuriah NU Cabang Tasikmalaya selama beberapa periode kemudian meningkat menjadi wakil Rais Syuriah NU Jawa Barat (1981-1985).

Dalam Konferensi wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Barat pada tahun 1985, dia dipercayakan sebagai Rais Nahdlatul Ulama Jawa Barat untuk periode 1985-1989. Pada muktamar Nahdlatul Ulama ke 28 di Yogyakarta dia terpilih sebagai salah seorang Rais Syuriah PBNU.

Nama KH Ilyas Ruchyiat menjadi sangat terkenal khususnya di kalangan warga Nahdlatul Ulama setelah wafatnya Kyai Haji Ahmad Siddiq yang menjabat Rais Am Syuriah PBNU untuk periode 1989- 1994, pada tahun 1991.

Berdasarkan pada urutan ketua dalam kepengurusan Syuriah PBNU, KH Alie Ya’fie ditetapkan sebagai pelaksana tugas sementara Rais Am. Dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Lampung pada tahun 1992, KH Ilyas ditetapkan sebagai Rais Am Syuriah PBNU menggantikan KH Ali Ya’fie.

Selama memimpin NU, KH Ilyas Ruchiyat dikenal sebagai tokoh yang lemah lembut dan tidak banyak mengeluarkan pernyataan. Sikapnya yang selalu sejuk memang sangat diidamkan oleh berbagai kalangan untuk memimpin Nahdlatul Ulama.

Dalam penampilannya ini dia kelihatan sangat kontras dengan Abdurrahman Wahid yang merupakan pasangannya dalam memimpin Nahdlatul Ulama. Walaupun demikian KH Ilyas juga mempunyai pendirian Teguh dan keras seperti saat mengutuk pembantaian muslim Palestina di Masjid Hebron oleh kaum Zionis Israel.

Selain itu, dia juga dinilai sukses dalam menjaga dan mempertahankan keputusan Nahdlatul Ulama kembali ke khittah 1926 yang dikenal sebagai landasan perjuangan Nahdlatul Ulama sehingga pada muktamar ke-29 di Cipasung ditetapkan upaya untuk merumuskan aktualisasinya seperti terlihat dalam tema Muktamar yaitu:

“Mengembangkan Prakarsa dan ikhtiar kolektif Sesuai Dengan Tuntutan Khittah Nahdlatul Ulama untuk Meningkatkan Kualitas Pembangunan.”

Karena kepemimpinannya di dalam organisasi Nahdlatul Ulama dinilai berhasil sekurang-kurangnya dapat menetralisasi berbagai Gejolak dalam tubuh Nahdlatul Ulama yang antara lain disebabkan oleh pernyataan-pernyataan kontroversial dari ketua umum Tanfiziyah PBNU maka Kyai Ilyas dipercaya memimpin Nahdlatul Ulama sekali lagi untuk masa bakti 1994 sampai 1999. Kepercayaan itu diberikan kepadanya secara aklamasi oleh peserta Muktamar Nahdlatul Ulama ke-29 di Cipasung.

Rabiul Rahman Purba, S.H

Rabiul Rahman Purba, S.H (Alumni Sekolah Tinggi Hukum Yayasan Nasional Indonesia, Pematangsiantar, Sumatera Utara dan penulis Artikel dan Kajian Pemikiran Islam, Filsafat, Ilmu Hukum, Sejarah, Sejarah Islam dan Pendidikan Islam, Politik )

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال