Membangkitkan Kembali Falsafah Kalam dalam Konteks Sosial

KULIAHALISLAM.COM - Pertama-tama kita mulai dulu dengan pengertian ‘kalam’. Kalam sendiri juga sebagai sebuah disiplin keilmuan, ilmu kalam baru muncul setelah Islam yang pada awal kelahirannya lebih menekankan pada amal kebaikan dengan orientasi kemaslahatan umat tanpa teori dan konsep pemikiran yang rumit berhadapan secara langsung dengan tradisi dan adat kebiasaan tertentu yang membutuhkan penjelasan rasional untuk sebuah tindakan tertentu. 

Ilmu kalam ini, sebagai sebuah disiplin keilmuan muncul di masa Nabi dan Khulafaur Rasyidin, karena pada masa itu umat relatif terkendali dan alam pemikiran luar belum begitu nampak mempengaruhi sikap dan pemikiran kaum Muslimin. 

Disamping itu, Islam saat itu lebih mengutamakan amal praktis daripada teori. Ilmu kalam terbukti sebagai disiplin keilmuan pertama dalam Islam yang mengadopsi sistem pemikiran filsafat Yunani. 

Oleh karena itu, sebelum ingin mengetahui lebih jauh tentang filsafat, dalam konteks amal ubudiyah Islam, sebaiknya belajar lebih dulu ilmu kalam. Pendapat demikian ini setidaknya bisa dirujuk dari tahun kelahiran para filosof muslim semacam Al Kindi (260H), Al Farabi.

Ibnu Sina dan lainnya yang lebih dahulu ada jika dibanding dengan para tokoh ilmu kalam seperti Hasan Bashri (728 M) Washil bin Atho' (131 H), Amr bin Ubaid (w. 143 H), Abu Hudzail al Allaf (185 H), Ibrahim Al Nadham (221 H.) dan tokoh-tokoh lainnya.

Ilmu kalam dimaknai dengan istilah lain adalah tauhid atau akidah. Ia merupakan ilmu pokok dan dasar yang amat penting dalam beragama. Karena itu, ilmu kalam dinamakan juga ushuluddin. 

Pada buku-buku pelajaran tingkat madrasah tsanawiwah dan aliyah untuk materi yang berbicara tentang ketauhidan atau akidah ini biasanya tertulis akidah akhlak, akidah Islam atau akidah tasawuf. 

Dinamakan akidah karena ilmu ini adalah hukum yang mengikat pikiran dan hati pemeluk Islam agar terfokus dalam setiap aktivitasnya, baik duniawi maupun ukhrawi, pada satu tujuan yaitu ketuhanan, transendetalisme (Thabathaba'i, 1991 dan M. Iqbal, 1981: 5). 

Sementara dinamakan akhlak dan tasawuf karena pada dasarnya manusia hidup di dunia ini harus semaksimal mungkin menerapkan etika demi ketenangan dan ketertiban sosial. 

Belajar akidah adalah belajar untuk bisa berakhlak seperti akhlak Tuhan yang memiliki sifat adil, melindungi, konsisten dan juga demokratis. Semua orang berada dalam posisi yang amat dekat dengan Tuhan, dalam artian dilindungi dan disayangi tanpa pandang bulu selama ia tetap menjunjung etika dan berakhlak karimah (Al Sya'rani, Tt: 42).

Oleh karena itu, ilmu ini penting demi untuk terpeliharanya tatanan kehidupan sosial yang baik dan supaya terus bertambah baik. 

Disamping itu juga usaha untuk memperluas cakupannya hingga menyentuh aspek riil kehidupan sosial budaya masyarakat perlu terus diaktualkan, sehingga orang benar-benar beragama, dalam arti nilai agama menjadi ruh yang memberi spirit dalam setiap aktivitas keseharian menawarkan pemikiran keislaman yang demikian berarti memprioritaskan praksis daripada teori semata. 

Pemikiran ini tidak memiliki kepentingan atas ideology/mazhab tertentu, tetapi hanya memiliki kepentingan atas manusia itu sendiri yang tidak lain adalah alat untuk perubahan sosial budaya (Hanafi, 2005: 153-154).

Secara formal, obyek pembicaraan ilmu kalam adalah wujud Tuhan, sifat-sifat yang mesti (wajib), mungkin (jaiz), maupun yang mustahil ada padaNya. Membicarakan tentang Rasul-rasul Tuhan, sifat-sifat yang ada pada para rasul, baik yang wajib, mungkin, maupun yang mustahil ada pada mereka. 

Ada juga yang mengatakan bahwa ilmu kalam adalah ilmu yang membicarakan bagaimana menetapkan kepercayaan-kepercayaan keagamaan dengan bukti-bukti yang meyakinkan. 

Menurut Ibnu Khaldun, bapak sosiologi dunia, seperti yang dikutip Ahmad Hanafi dalam buku Theologi Islam, ilmu kalam adalah ilmu yang menguraikan alasan-alasan untuk mempertahankan kepercayaan-kepercayaan dengan menggunakan dalil-dalil pikiran dan berisi bantahan terhadap orang-orang yang menyimpang dari kepercayaan yang dianut para golongan Salaf dan Ahlussunnah. (Hanafi, 1974: 3).

Merujuk beberapa sumber yang memuat materi ketauhidan dan akhlak Islamiyah, meskipun tidak menyebutkan pengertian ilmu kalam secara definitif, dapat diambil pengertian bahwa ilmu ini berarti adalah ilmu yang pembahasannya berkisar pada persoalan kepercayaan-kepercayaan di atas, yaitu kepercayaan tentang Allah dan sifat-sifatNya, tentang para Rasul dan juga sifat-sifatnya. 

Demikian juga kepercayaan terhadap berita-berita (sam'iyat) yang dibawa kitab suci dan nabi seperti alam ghaib, hari akhir, kebangkitan, dan alam akhirat. Untuk menjelaskan secara rasional semua keyakinan keagamaan ini, para ahli kalam mengadopsi sistem pemikiran Yunani, dan sejak saat itu mereka menyebut ilmu tersebut sebagai ilmu kalam. 

Konsekuensinya, dengan cara dan sistem pemahaman yang berbeda, makna dan pengertian untuk halhal tertentu juga berbeda. 

Sementara itu, Imam Abu Hanifah untuk menyebut kitab anggitannya yang menjelaskan materi-materi kepercayaaan keagamaan di atas menyebutnya dengan al Fiqh al Akbar, sebagai imbangan dari al fiqh fi al ilm atau ilm al qanun (ilmu hukum) Ilmu tentang kepercayaan agama ini menurutnya lebih utama daripada ilm al Qanun (Hanafi, 1974: 4).

Para tokoh yang terjun di bidang ilmu ini disebut sebagai Mutkallimun, yaitu ahli ilmu kalam. Kelompok ini biasanya dianggap sebagai golongan yang berdiri sendiri yang menggunakan akal pemikiran rasional dalam memahami nash-nash Alquran maupun dalam mempertahankan kepercayaan-keparcayaannya. 

Mereka berbeda dengan para ulama salaf (ahlul hadis) yang terkesan tekstual dalam menerapkan teks-teks keagamaan. Begitu juga berbeda dengan para penganut tasawuf yang seringkali mendasarkan pengetahuan kassyaf (ma'rifah) atau pengalaman batin untuk menafsirkan teks-teks bahkan fenomena alam. 

Meskipun sebagai kelompok pertama yang mengadopsi pemikiran filsafat Yunani, para Mutakallimun berbeda dengan para filosof yang berguru sepenuhnya kepada para filosof Yunani. Meskipun demikian, dalam hemat penulis, tidak ada sebuah pendapat atau pemikiran yang murni hasil pemikiran rasional dan perenungan ilmiah saja. 

Demikian juga tidak ada yang murni hasil intuisi, buah dari kontemplasi yang berwujud wangsit atau wahyu. Semua doktrin dan ajaran sudah melalui jalur transmisi akal rasional, baik dari awal interpretasi terhadap sebuah teks atau fenomena maupun dalam metode penyampaian (rumusan) dari hasil tafsir tersebut.

Jadi, dalam upaya membangkitkan kembali Falsafah Kalam dalam konteks sosial, maka terlebih dahulu kita, ajarkan nilai-nilai ketauhidan pada umat Muslim, karena begitu pentingnya menanamkan iman pada diri seorang Muslim, agar ketika berhadapan dengan isu-isu yang menyerang akidah, mereka ada benteng yang cukup kokoh. 

Penulis: Mohammad Hayyi Syafwan Husna (Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya)

Editor: Adis Setiawan

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال