Konflik Sunni-Syiah di Indonesia Perspektif Haidar Bagir

KULIAHALISLAM.COM - Konflik Sunni-Syiah merupakan konflik yang benihnya mulai tumbuh setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Konflik ini dimulai dengan kematian Nabi secara berturut-turut dalam kepemimpinan, ketika Abu Bakar diangkat menggantikannya, lalu menciptakan perpecahan kelompok antara pengikut setia Ali bin Abi Thalib dan kelompok yang melegitimasi kepemimpinan Abu Bakar.

Pada awalnya Syi'ah bukanlah sebuah sekte dalam konteks keagamaan, melainkan muncul sebagai kekuatan politik yang menganggap bahwa Ali bin Abi Thalib adalah orang yang dirampas kepemimpinanya oleh Abu Bakar, Umar dan Utsman. 

Namun kelompok tersebut dalam perkembangannya memiliki pandangan keagamaan dalam bidang akidah dan hukum, yang kemudian berkembang menjadi aliran besar dengan berbagai sekte.

Keyakinan paling ekstrem yang menyulut api permusuhan di hati kaum Syiah adalah keyakinan mereka bahwa kaum Sunni adalah musuh kaum Syiah, mereka membenci, memarahi, dan mencela kelompok Syi’ah. Sementara dalam pandangan kaum Sunni, Syi’ah adalah musuh, bahkan sebesar-besarnya musuh. 

Namun menurut Haidar Bagir kalangan Syiah sendiri amatlah kaya, karena Syiah bukan merupakan suatu entitas yang monolitis. Jika kita sebut mazhab Syiah yang paling besar diantaranya, yakni mazhab Syiah Imamiyah atau Itsna ‘Asyariyah atau Ja’fariyah, dari mazhab itupun masih dihadapkan pada berbagai pengelompokkan lagi. Jadi sulit menunjuk Syiah tanpa harus menyusuri dengan spesifikasi-spesifikasi lebih jauh. 

Dalam pandangan Haidar ketegangan Sunni-Syiah belakangan ini menguat. Menurutnya karena memang ada persoalan laten dalam hubungan Sunni-Syiah, tapi ketegangan yang ada saat ini lebih karena menguatnya ideologi takfiri yang menyertakan gerakan salafisme. 

Takfirisme ciri utamanya adalah menganggap hanya keyakinan atau mazhabnya yang benar dan yang lain salah. Seperti pada pada era sekarang yang banyak mengkafir-kafirkan cara pandang orang lain. 

Di misalkan oleh Haidar, menurutnya Wahabi itu mazhab yang sama sahnya dengan mazhab lain. Yang tidak benar itu adalah Wahabi takfiri dan juga Syiah takfiri. Jadi, seperti salah satu cara Saudi mendakwahkan ajaran Wahabi adalah dengan membangun masjid dan menempatkan lulusanya di masjid-masjid yang mereka bantu, hal-hal tersebut yang harus diperbolehkan. 

Salahnya adalah jika adanya mengkafir-kafirkan “Alqur’an kamu berbeda dengan saya, karena Alqur’an saya yang benar, berarti kamu sesat”, barulah itu harus ditolak.

Konflik Sunni-Syiah di Indonesia yang ada sekarang ini merupakan imbas ketegangan politik luar negeri, terutama negara-negara Arab. Namun juga terdapat faktor dari dalam negeri sendiri. 

Faktor imbas politik luar negeri ini dikarenakan perbedaan konsep imamah yang kemudian menjadi garis pemisah yang jelas, sehingga menjadi sumber ketegangan antara Sunni dan Syiah, yang pada akhirnya menimbulkan ketegangan politik. 

Selain itu, beberapa ulama garis keras, baik Sunni maupun Syiah menyerukan perlawanan sehingga melahirkan banyak organisasi Islam radikal dan revolusioner. Kekuatan radikal diperkuat oleh Revolusi Iran, yang menggantikan Iran sebagai negara Islam. Ketegangan politik antara Sunni dan Syiah sangat mempengaruhi situasi politik saat ini di Timur Tengah. Salah satu peristiwa terpenting adalah revolusi Islam yang dipimpin oleh Syiah di Iran.

Sejak revolusi Iran memang ada kelompok di dalam negeri Iran yang ingin mengekspor revolusi Iran ke negara-negara lain, dan mereka bersemangat untuk mendakwahkan Syiah. Namun hal tersebut sebenarnya dilarang oleh pemimpin dan ulama Syiah sendiri, salah satunya disampaikan oleh Ayatullah Ali Taskhiri “Berdakwah kok kepada sesama Muslim”. 

Jadi pada hal tersebut, pemimpin dan ulama Syiah tidak suka terhadap orang Syiah yang berusaha mengajak orang Sunni untuk menjadi Syiah. Namun memang selalu ada begitu di semua kelompok baik itu orang Muslim, Kristen, Katolik itu selalu ada saja kelompok yang ingin mendakwahkan keyakinannya.

Dalam faktor dalam negerinya, menurut Haidar ini terkait dengan dengan fenomena tumbuhnya salafisme takfiri di Indonesia. Setelah era reformasi, kelompok lslam garis keras yang dulu di tekan oleh rezim Soeharto mendapatkan momentum untuk bangkit. 

Mereka mendapatkan ruang untuk mengekspresikan keyakinannya. Pada saat bersamaan itu, negara-negara di Timur Tengah sedang menggelontorkan dana minyaknya untuk dakwah salafisme takfiri. 

Dari situ terjadilah perkawinan ideologis karena kepentingan kedua kelompok tersebut sama. Juga dengan dukungan dana tersebut mereka bertumbuh menjadi besar. Mereka mulai mengkafirkan orang lain yang berbeda paham dengan mereka, meskipun itu sesama muslim. Salah satu sasaranya adalah Muslim Syiah, dan konflik Suriah pada saat itu adalah salah satu isu yang mereka mainkan juga. 

Terakhir, Haidar mengatakan tidak mungkin terjadi revolusi Syiah di Indonesia. Karena dengan jumlah pengikut hanya ratusan ribu tersebut mana mungkin dapat melakukan revolusi. Dan justru menurut Haidar, yang selama ini memiliki aspirasi anti NKRI, anti Pancasila, dan seterusnya adalah orang-orang takfiri yang selama ini mengkafir-kafirkan Syiah.

Penulis: Septya Melani Dwi Rahmawati (Mahasiswa Akidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Ampel Surabaya)

Editor: Adis Setiawan

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال